Berita Tak Sedap yang Nodai Perayaan Kemerdekaan

Ilustrasi. (Gambar: Ist)

Jakarta, (Tagar 14/8) - Setiap Agustus, Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tahun 2017 mencapai 72 tahun. Biasanya hari kemerdekaan disambut penuh rasa suka cita dan kegembiraan rakyat. Namun suasana gembira itu kini dinodai oleh berita yang sama sekali tak sedap.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, Jawa Timur Mochammad Arief Wicaksono pada Kamis 10 Agustus menyampaikan kabar "memprihatinkan".

"Untuk mengikuti proses hukum, saya akan mempertanggungjawabkan secara pribadi atas yang disangkakan kepada saya. Hari ini saya saya mundur dari jabatan Ketua DPRD Malang periode 2014-2019," kata Arief yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Tindakan "jantan" kader PDIP itu terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (9/8) menggeledah kantor Pemerintah Kota Malang. Penggeladahan penyidik komisi antirasuah dilakukan setelah terkuak kasus penyalahgunaan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015.

Kasus ini juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Malang Djarot Eddy Sulistioni sebagai tersangka. Para tokoh daerah itu diduga keras atau istilah kerennya disangkakan terlibat beberapa proyek pembangunan yang nilainya miliaran rupiah seperti pembangunan gedung, gorong-gorong serta pusat kegiatan agama Islam atau Islamic Center.

Beberapa bulan lalu, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang disertai istrinya Lily Marfiani juga ditangkap KPK dengan disangkakan menerima gratifikasi.

Sebelumnya Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho telah "lebih unggul" dari Ridwan Mukti dalam upaya memainkan dana APBD di wilayahnya.

Masyarakat sambil menyiapkan diri merayakan HUT RI ke-72 pasti akan merenungkan atau berpikir ulang mengenai ulah kotor para pejabat negara itu, mulai dari tingkat pusat atau Jakarta hingga ke daerah-daerah yang tega-teganya merampok uang rakyat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Tengok saja kasus mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman yang terpaksa harus jatuh dari kursi "emas"-nya karena menerima uang sekitar Rp 100 juta dari seorang pengusaha yang berusaha menyogok agar bisa menjadi importir produk pertanian.

Kemudian, ada juga kasus korupsi yang melibatkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam proses pengadaan peralatan canggih pemantau atau monitoring yang nilainya miliaran rupiah.

Bahkan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) seorang marsekal diduga terlibat korupsi pembelian sebuah pesawat udara yang semula disiapkan sebagai pesawat kepresidenan yang ternyata sudah ditolak tegas oleh Presiden Joko Widodo.

Sang Kepala Negara telah menegaskan, pesawat kepresidenan yang ada sekarang masih memadai untuk mengantarnya ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

Namun yang luar biasa adalah sekalipun sekalipun Presiden sudah menolak ternyata sang marsekal itu tetap mendaratkan pesawat itu di Tanah Air yang tentu saja harganya miliaran rupiah.

Jika kembali persoalan utama yang menyangkut ulah para pejabat negara terutama para gubernur, bupati dan wali kota yang tega-teganya memakan uang rakyat, maka pendapat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo patut direnungkan.

"Ternyata dari tahun ke tahun tidak berkurang kasus korupsinya, tapi malah meningkat," kata Tjahjo yang merupakan mantan anggota DPR beberapa periode dan juga anggota sebuah partai politik.

"Ternyata sampai hari ini di daerah baik DPRD maupun pemerintah belum waspada menghindari area rawan korupsi. Semua masih berkaitan dengan perencanaan anggaran yang 'di mark up'," imbuh Mendagri sambil menunjuk kasus dana hibah, bantuan sosial, retribusi pajak, pembelian barang dan jasa hingga "jual beli" jabatan.

Jika Kemendagri saja masih harus berkutat dengan kasus korupsi, gratifikasi atau apa pun istilahnya yang dilakukan terutama oleh pejabat-pejabat di wilayah, maka rakyat Indonesia sampai detik ini masih fokus perhatiannya pada kasus pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) yang melibatkan mulai dari pejabat Kemendagri, belasan bahkan puluhan anggota DPR-RI hingga pengusaha.

Ketua KPK Agus Rahardjo baru-baru ini mengumumkan nama Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka proyek bernilai Rp 5,9 triliun namun telah "dimakan" banyak pihak sekitar Rp 2,3 triliun.

Novanto menjadi tersangka karena pada sekitar 2010 --saat Proyek E-KTP ini mulai dilaksanakan-- dia sebagai ketua Fraksi Golkar DPR ikut "menerjunkan diri" ke dalam proyek trliunan rupiah itu, bahkan diduga keras mengajak salah seorang kemenakannya untuk ikut "menikmati" uang rakyat itu.

HUT RI

Lebih dari 250 juta rakyat Indonesia saat ini sedang dalam suasana gembira karena merayakan ulang tahun negara tercintanya yang ke-72. Berbagai acara diselenggarakan mulai dari upacara resmi hingga acara yang bersifat menghibur seperti lomba balap karung hingga membawa kelereng di dalam sendok.

Tapi di lain pihak, salahkah rakyat jika menghujat atau bahkan mengutuk para pejabat baik di pusat maupun daerah yang secara nyata-nyata melakukan korupsi terhadap uang negara yang pada dasarnya merupakan uang rakyat? Salahkah jika masyarakat menuntut agar para koruptor itu dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya mulai dari hukuman mati seperti ditembak hingga nyawanya langsung melayang atau kalau perlu mati di kursi listrik?

Lupakah "oknum-oknum" pejabat itu bahwa ketika mengucapkan sumpah jabatan sudah berikrar bahwa mereka akan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara dan mengesampingkan kepentingan pribadi, kelompok dan golongannya? Lupakah para abdi rakyat itu bahwa mereka sudah digaji yang nilainya jauh di atas upah minimum regional atau kebutuhan fisik minimum?

Para pejabat itu mendapat rumah dinas yang dilengkapi mobil kantor, uang tunjangan yang ratusan hingga jutaan rupiah tiap bulannya. Bahkan jika ada yang pergi ke daerah, maka tak sedikit warga yang mencium tangan mereka sebagai tanda penghormatan kepada "tuannya".

Apakah mereka sudah tak mau ingat lagi kepada rakyat yang memilihnya atau menaruh kepercayaan penuh kepada para aparatur sipil negara itu --istilah keren masa kini untuk mengganti sebutan pegawai negeri sipil?

Pada tahun 2018 akan berlangsung lagi pemilihan kepala daerah di lebih 100 provinsi, kota dan kabupaten yang kemudian pada tahun 2019 akan dilakukan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD hingga presiden dan wakil presiden.

Selama ini, yang dibayangkan banyak orang adalah jika ingin menjadi wakil rakyat maka dibutuhkan dana puluhan, jutaan bahkan miliaran rupiah agar mereka bisa terpilih menjadi wakil-wakil rakyat dan juga menjadi pejabat negara. Akan tetapi pada kenyataanya, juga ada "biaya politik" untuk menyogok, memberi upeti kepada para atasan di partai-partai politik agar namanya tercantum dalam daftar wakil rakyat dengan "nomor jadi".

Pada pemilu 2014, ada seorang anggota DPR yang bisa sukses masuk Senayan dengan mengocek-ngocek kantongnya hingga miliaran rupiah sehinga bisa menjadi wakil rakyat yang "terhormat".

Yang patut direnungkan adalah apakah uang menjadi satu-satunya daya tarik untuk menjadi wakil rakyat ataupun pejabat negara baik di pusat maupun daerah?

Belum lagi ada pikiran bahwa karena sudah mengeluarkan uang yang tak terhingga jumlahnya, maka perlu dicari "kelebihan atau sisanya" agar bisa hidup tenang setelah pensiun atau tuanya.

HUT RI yang ke-72 ini sangat patut dijadikan bahan renungan bagi semua orang yang berambisi ataupun ambisius untuk menjadi pejabat negara ataupun wakil rakyat bahwa mereka ini menjadi tokoh karena benar-benar ingin mengabdi kepada rakyat dan bangsa Indonesia ataukah cuma ingin" mencari uang" dari APBN dan APBN yang setiap tahun jumlahnya meningkat tajam hingga ribuan triliun rupiah untuk APBN dan ratusan triliun hingga puluhan triliun rupiah bagi APBD provinsi, kota serta kabupaten.

Sementara itu, rakyat harus mau membuka mata dan hatinya jika ingin memilih wakilnya di lembaga legislatif dengan memperhatikan kinerja mereka yang selama ini sudah duduk menjadi anggota DPR, DPRD ataupun DPD. (yps/ant)

Berita terkait