TAGAR.id – Kelambanan dunia dalam mengatasi krisis iklim akan menyebabkan peningkatan empat kali lipat kematian terkait cuaca panas, kata sebuah studi baru.
Studi baru itu diterbitkan dalam sebuah laporan di jurnal medis Lancet edisi pertengahan November 2023 dan melibatkan lebih dari 100 ilmuwan dari berbagai penjuru dunia.
Berjudul “Countdown on Climate and Health”, studi itu pada intinya mengevaluasi dampak panas terhadap kelangsungan hidup manusia.
Menurut laporan tersebut, 1.337 ton karbon dioksida masih dihasilkan setiap detiknya dan dunia tidak mengurangi emisi dengan cukup cepat “untuk menjaga bahaya iklim pada tingkat yang dapat diatasi oleh sistem kesehatan.”
Meskipun melibatkan organisasi-organisasi meteorologi dan kesehatan dunia, laporan tersebut menyimpulkan belum ada cukup informasi untuk menunjukkan secara pasti apakah memburuknya bahaya cuaca menyebabkan peningkatan rawat inap.
Namun, penulis utama Dr Marina Romanello dari Universty College London mengatakan peningkatan kematian yang disebabkan oleh gizi buruk, peningkatan infeksi parasit dan penyakit pernafasan terkait langsung dengan iklim yang memanas.
“Kematian akibat panas pada orang dewasa berusia di atas 65 tahun, kelompok usia yang sangat rentan, telah meningkat sebesar 85% sejak tahun sembilan puluhan," kata Romanello.
"Dan kita sekarang tahu bahwa lebih dari separuh peningkatan tersebut tidak akan terjadi jika suhu tidak meningkat sehingga kita tahu bahwa perubahan iklimlah yang menyebabkan semua ini terjadi saat ini. Kita juga melihat kerawanan pangan sedang meningkat. Kekurangan gizi memiliki dampak permanen terutama pada anak-anak," lanjutnya.
Konferensi iklim (COP), yang akan berlangsung pada akhir November akan mendedikasikan satu hari untuk membahas upaya-upaya mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Spanyol merupakan salah satu negara di Eropa Selatan yang paling terkena dampak gelombang panas tahun ini.
Para peneliti Spanyol mengatakan sudah waktunya untuk mengembangkan solusi praktis.
Mereka mengatakan meningkatnya kerusakan akibat cuaca ekstrem membahayakan keamanan air dan produksi pangan.
Menurut Jaime Martínez-Urtaza, profesor di Departemen Genetika dan Mikrobiologi di Universitas Otonom Barcelona, ada kekhawatiran serius bahwa ini akan menyebabkan semakin banyak infeksi.
“Pemanasan berhubungan dengan rendahnya salinitas karena seringnya curah hujan ekstrem menyebabkan air hujan mengalir ke laut dan salinitas menurun. Kondisi ini menguntungkan bakteri patogen manusia dari genus Vibrio. Vibrio-kolera, contohnya, menyebabkan kolera, sementara Vibrio-parahaemolyticus menyebabkan gastroenteritis," paparnya.
Laporan Lancet mencatat bahwa ancaman ini sangat tinggi di Eropa, di mana perairan pesisir yang cocok untuk Vibrio telah meningkat 142 km setiap tahunnya.
Studi Lancet mengatakan bahwa dunia saat ini berada pada jalur kenaikan suhu sebesar 2,7°C pada 2100, sehingga kehidupan generasi sekarang dan masa depan berada dalam bahaya.
Laporan Lancet juga menunjukkan bahwa peralihan ke pola makan yang lebih sehat dan rendah karbon dapat mencegah hingga 12 juta kematian akibat pola makan yang buruk setiap tahunnya, sekaligus mengurangi 57% emisi pertanian dari produksi susu dan daging merah. (ab/ka)/Associated Press/voaindonesia.com. []