Sembilan Penjaga Pintu Perlintasan Kereta Jatinegara

Sembilan penjaga pintu perlintasan kereta Jatinegara. "Senang ada yang jagain, jadi merasa aman."
Siang di Pintu Perlintasan Kereta Jatinegara | Pejalan kaki sedang menyeberangi rel perlintasan kereta api di kawasan Kebon Sereh, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat 13/7/2018. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Jakarta, (Tagar 14/7/2018) - Seorang pria tinggi besar dengan perut agak berlebih, namanya Olin (53) berdiri di antara rel di pintu perlintasan kereta api di Kebon Sereh, Jakarta Timur. Ia menoleh ke kanan kiri, memastikan tak ada kereta, memperhatikan orang-orang yang menyeberang.

Pada ruang agak lebar di antara bentangan rel terdapat kursi kayu dengan kaleng bekas dipaku pada kanan kiri sandaran kursi. Pada punggung sandaran kursi terdapat tulisan ‘AWAS KERETA’. Dua wadah kaleng tersebut dipersiapkan untuk para penyeberang yang ingin menyumbang bagi penjaga.

Seorang ibu memasukkan uang recehan ke dalam kaleng, namun lebih banyak yang tidak melakukan hal tersebut. Kebanyakan orang menyeberang dan seperti tidak melihat keberadaan dua kaleng pada kursi tersebut.

"Aman, Pak?" kata seorang ibu tua berkerudung biru.

"Aman, Bu. Ayo hati-hati," kata Olin.

Beberapa saat kemudian Olin memberi isyarat dengan tangan agar orang-orang menahan diri, karena akan ada kereta yang lewat. Saat kereta sudah lewat, ia dengan isyarat tangan dan tersenyum mempersilakan orang-orang menyeberang.

Pintu perlintasan kereta api itu posisinya paling dekat Stasiun Jatinegara. Pintu itu sebenarnya sudah ditutup sejak 26 Mei 2017 untuk mengurai kemacetan. Sebelum ditutup, terdapat palang dan tanda khusus semacam bunyi sirine saat ada kereta api yang akan melintas. Setelah ditutup, palang dibongkar, diganti pagar besi, namun masih terdapat ruang yang bisa dilalui pejalan kaki.

Olin seorang tukang ojek yang mangkal dekat pintu perlintasan itu. Ia merasa khawatir melihat orang-orang menyeberang tanpa penjagaan.

Perasaan khawatir pada keselamatan penyeberang jalan itu kemudian membuat Olin dan teman-temannya sesama tukang ojek berinisiatif untuk melakukan penjagaan secara bergiliran.

Olin bercerita, ada sembilan orang yang bergiliran berjaga di situ, yaitu dirinya, Tejo, Alex, Sugiri, Dian, Gembol, Yongky, Angky, dan Bobby.

"Tejo yang berjaga paling pagi, jam lima subuh. Kalau paling malam, Bobby yang berjaga," cerita Olin pada Tagar News, Jumat (13/7).

Setiap orang berjaga selama dua jam dalam sehari. Olin sendiri mendapat giliran jaga pada pukul 08.00 sampai 10.00 Wib.

Namun, biasanya pada pukul 22.00 Wib hingga pukul 05.00 Wib tidak ada penjagaan.

Pekerjaan menjaga pintu perlintasan kereta, lebih tepatnya menjaga keselamatan orang-orang yang menyeberang itu mereka lakukan secara sukarela, tak ada yang memerintah dan menggajinya.

Olin mengatakan, tak ada paksaan bagi penyeberang harus mengisi kaleng dengan sejumlah uang. Ia mengaku tidak menentu pendapatannya dari berjaga selama dua jam, kadang sehari ia mendapat Rp 30 ribu.

Ia bekerja sebagai tukang ojek sudah lebih dari 30 tahun. Sebelum dan sesudah menjaga pintu perlintasan kereta, biasanya ia berkutat dengan pekerjaannya itu.

Pintu Kereta JatinegaraSeorang penyeberang menaruh uang di kaleng yang tergantung pada sandaran kursi tempat istirahat para penjaga pintu perlintasan kereta api di Jatinegara. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Saat musim ojek online tiba, Olin mengalami rasanya sepinya pelanggan, kehilangan pelanggan.

"Orang-orang beralih ke ojek online karena lebih murah, tidak perlu tawar-menawar, dijemput," kata Olin tanpa terlihat raut wajah mengeluh.

Ada yang menawarinya untuk bergabung ojek online, tapi ia tidak berminat.

"Sudah ketuaan," katanya.

Siapa menyangka, dari bekerja sebagai tukang ojek, Olin bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, istri dan tiga anaknya. Dari mengojek ia bisa membiayai kuliah anak sulungnya menempuh studi D3 Politeknik di Universitas Indonesia.

"Setelah lulus, dia bekerja kemudian melanjutkan S1 Perbanas. Sekarang dia bekerja sebagai customer service di bank BCA," cerita Olin sembari mengulas senyum.

Anak keduanya sudah lulus sekolah menengah atas, sedang mencari pekerjaan. Anak ketiganya juga sudah lulus sekolah menengah atas, bekerja sebagai tukang ojek online. Olin mengaku orang Jakarta asli. Ia dan keluarganya menempati rumah mertua, tak terlalu jauh dari tempat mangkalnya.

Olin menyebut aktivitas menjaga pintu perlintasan sebagai pengisi waktu senggang.

"Selagi menunggu antrian ojek," katanya.

Olin mengatakan selama ini tidak menemukan hal-hal aneh di pintu perlintasan ini.

"Di sini jarang makan korban. Beda dengan sana," ia mengarahkan telunjuk ke arah pintu perlintasan berikutnya dekat Pasar Enjo.

Pandangan Olin berkeliling. Di depannya terhampar lintasan-lintasan rel kereta. Sejak 2017 telah ada penambahan dua rel di Stasiun Jatinegara.

"Sudah berfungsi, terutama kalau subuh," kata Olin tentang dua rel baru itu.

Bersamaan penutupan pintu perlintasan kereta api di kawasan Kebon Sereh pada 2017, sedang dilakukan pembenahan di Stasiun Jatinegara. Stasiun direvitalisasi agar dapat menampung penumpang lebih banyak.

Bangunan kios yang berdiri di atas tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) sudah ditertibkan. Kios-kios yang dimaksudkan, terletak dekat perkantoran Stasiun Jatinegara, Jalan Bekasi Barat Raya, Jakarta Timur, dengan luas tanah 1.008 meter persegi atau luas bangunan 2.016 m2. Tepatnya, terdapat 43 bangunan kios yang ditertibkan.

Stasiun Jatinegara melayani penumpang kereta rel listrik (KRL) atau Commuter Line berkisar antara 8 ribu hingga 9 ribu per harinya. Angka itu merupakan penumpang yang naik maupun yang turun di stasiun itu.

Sementara bagi penumpang yang turun di Stasiun Jatinegara untuk kereta api jarak jauh atau menengah sejumlah antara tiga ribu sampai empat ribu orang per hari.

Jalur kereta lintas Jatinegara-Bekasi akan tersambung rel dwi ganda atau double-double track (DDT) pada akhir tahun 2018. Artinya, jalur lintas Jatinegara-Bekasi akan memiliki empat rel. Jalur rel tersebut merupakan bagian dari proyek jalur dwi ganda Manggarai-Cikarang.

Dengan adanya jalur rel dwiganda, perjalanan kereta rel listrik (KRL) tidak terganggu oleh kereta jarak jauh. Sehingga, perjalanan KRL bisa tepat waktu.

Pembangunan proyek DDT Manggarai-Cikarang ini dikerjakan sepanjang 30 kilometer mulai dari Stasiun Manggarai melewati Stasiun Jatinegara, Berkasi, Cibitung, dan stasiun akhir Cikarang. Pembangunan dimulai sejak tahun 2013. Pengerjaan proyek ini dibagi menjadi tiga paket, yakni paket A, B1, B21.

Untuk paket A pengerjaannya dari Manggarai-Jatinegara dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 2,4 triliun-Rp 2,5 triliun. Paket A ini dibiayai oleh APBN lewat Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. Kemudian paket B1 itu antara Bekasi-Cikarang dengan nilai proyek sebear Rp 2,6 triliun-Rp 3 triliun. Paket ini dibiayai oleh pinjaman luar negeri tadi dari Jepang.  Sementara untuk Paket B21 Jatinegara-Bekasi nilainya Rp 1 triliun yang dibiayai oleh APBN.

Pintu Kereta JatinegaraSugiri (pojok kanan) duduk di kursi dan payungan saat para pejalan menyeberangi rel. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Lelaki Berpayung

Sugiri (67) duduk di kursi sambil memagang payung untuk menghalau terik matahari yang panasnya menyengat. Kulitnya tampak gelap karena terbakar matahari.

Ia mengaku menjaga perlintasan ini sejak pintu ditutup.

"Nggak ada yang ngajakin. Mau sendiri. Untuk membantu orang yang lewat supaya tidak terjadi kecelakaan," kata Sugiri.

Menurutnya sepanjang pengetahuannya belum pernah terjadi kecelakaan di pintu perlintasan ini.

"Dijaga jangan sampai terjadi," katanya.

Seorang ibu mendekati Sugiri, "Ada kereta nggak, Pak?" katanya sembari menyodorkan uang kertas ke tangan Sugiri.

"Nggak ada," kata Sugiri.

Sugiri seperti mengingat sesuatu yang sudah terjadi lama. “Dulu pernah ada kejadian (kecelakaan), waktu itu belum dijagain, pernah ada, masih ada palang,” katanya.

"Ayo, Dik," katanya mempersilakan seorang anak muda untuk menyeberang.

"Tunggu, tunggu, ada kereta," katanya terlihat kereta di kejauhan.

Dekat pintu pagar besi terdapat papan bertuliskan ‘Dahulukan perjalanan kereta api demi keselamatan kita bersama.

Sugiri sempat berdiri saat kereta akan lewat. Setelah kereta lewat, orang-orang sudah menyeberang, suasana kembali sepi, ia kembali duduk sambil terus memegang payung.

Beberapa bantalan kereta yang tampak masih baru, berjejer di dekatnya.

Sugiri bercerita, macam-macam tabiat orang menyeberang.

"Sambil melamun, jalan ya jalan aja, nggak ngeh ada kereta datang, kalau nggak dicegah… saya tarik mundur aja," katanya. "Ada yang lemah jalannya, nenek-nenek, bapak-bapak, saya tuntun, jangan sampai tersandung. Ada kereta, kadang tersandung, nggak bisa bangun."

Saat orang-orang datang mau menyeberang, aman tak ada tanda kereta datang, Sugiri berkata:

"Ayo jalan."

"Pelan-pelan."

"Ayo terus."

"Ayo, Bu. Pelan-pelan, Bu."

Seorang ibu menjawab Sugiri, "Iya, Pak."

Saat kereta terlihat dari kejauhan, Sugiri berkata:

"Tunggu, Pak."

Sugiri bercerita, kalau siang memang relatif sepi. Waktu paling ramai penyeberang adalah saat jam berangkat kerja. Sekarang lagi musim libur sekolah. Nanti kalau sudah selesai liburan, akan sangat banyak anak menyeberang untuk mengejar waktu masuk kelas pukul 06.30 Wib.

"Pada jam-jam itu ngeri kalau tidak dijaga. Orang kadang menyeberang, main selonong aja,nggak lihat kanan kiri, buru-buru aja menyeberangnya, nggak tahu ada kereta," ujar Sugiri.

Sugiri mendapat giliran jaga setiap hari pukul 12.00 sampai 14.00 Wib.

Senang Ada Penjaga

Tejo mengaku berusia 70 tahun tiga bulan, tapi perawakannya tampak lebih muda dari usianya. Badannya kurus, jalannya gesit. Ia tidak punya rumah di Jakarta, tiap malam tidur di masjid.

"Habis salat Subuh saya jagain (pintu kereta) sampai jam tujuh," kata Tejo. Ia duduk di emperan toko dekat pangkalan ojek.

Ia menceritakan awal mula orang-orang tergerak menjaga pintu perlintasan kereta secara bergantian.

"Inisiatif bersama, menjaga keselamatan penyeberang," katanya.

Pintu Kereta JatinegaraDian (berdiri, berkaos ungu) mengarahkan para penyeberang, memastikan bahwa sedang tidak ada kereta akan datang. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Selama menjaga pintu perlintasan di sini, Tejo belum pernah melihat kejadian aneh, kecuali adanya copet, itupun ia dengar dari teman-temannya.

"Alhamdulillah saya yang jaga, nggak ada kecopetan," katanya.

"Bosan dengar orang kehilangan dompet, Hp. Biasanya kejadiannya sore, magrib. Kapan itu lima copet di situ ditangkap polisi," Tejo menunjuk pagar pintu perlintasan.

Tejo bercerita, ia biasanya kalau sedang bertugas membiasakan diri dalam posisi tegak berdiri, mondar-mandir mengecek kedatangan kereta. Ia mengomentari koleganya, Sugiri, yang terlihat banyak duduk dengan payungan sebagai cara kerja yang tidak tepat atau istilahnya bandel. 

Karena posisi duduk menurutnya tidak akan bisa tahu akan kedatangan kereta.

Ia juga bercerita, ia siap membantu orang yang jalannya seperti menderita penyakit stroke. Ia akan menuntunnya melompati rel.

"Ada juga penjual air mineral, seorang janda, tiap hari pasti lewat sini, menyeberang dengan sepedanya. Saya bantuin. Ia jualan di pinggir jalan itu," kata Tejo.

Tejo pernah mendapati perempuan-perempuan tersandung karena memakai sepatu berhak tinggi.

"Menginjak rel, keseleo, jatuh. Menginjak rel itu salah. Yang benar adalah melompati rel," katanya.

Lalu ia cerita bahwa kemarin lurah setempat datang. "Katanya nanti di sini dibangun tangga penyeberangan yang terhubung dengan tangga penyeberangan busway, cuma belum tahu detailnya seperti apa, dan kapan dibangunnya," lanjut Tejo.

Karena pada akhirnya nanti pintu perlintasan kereta itu akan ditutup rapat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Menjaga keselamatan semuanya.

Tejo cerita, dua jam menjaga pintu perlintasan, kadang ia dapat dua puluh ribu, dua puluh dua ribu, enam ribu, sembilan ribu, tidak tentu.

"Bulan Puasa, lumayan. Banyak amplop," katanya.

Ia kemudian menyebut nama seorang temannya yang dua jam menjaga pada siang hari bisa dapat Rp 50 ribu lebih.

"Beda-beda memang rezeki tiap orang," katanya. "Kadang orang kasih Rp 100 ribu. Kalau uang gede biasanya nggak ditaruh di kaleng, dikasih langsung ke kita. Saya mengalaminya dua kali."

Tejo mengaku pendapatan dari menjaga pintu perlintasan kereta itu lumayan membantu, sembari menunggu pelanggan ojek.

Menurutnya pada musim liburan sekolah sekarang ini, sehari sekitar 500 orang menyeberang bolak-balik. Pada hari-hari biasa, biasanya sekitar seribu orang menyeberang bolak-balik.

Saat pandangannya ke arah Sugiri yang payungan, ia mengomentari cuaca. "Sekarang mending, nggak panas. Saya pernah mengalami panas banget."

Tejo lalu menceritakan situasinya. "Bahaya kalau pagi. Tiga kereta datang nyaris berbarengan. Itu bikin bahaya. Kita harus waspada. Kadang orang, setelah satu kereta lewat, sudah merasa aman, nggak tahunya masih ada kereta dari arah berlawanan, setelah itu masih ada satu lagi."

Ia kadang geleng-geleng kepala melihat ulah penyeberang yang seperti tidak peduli dengan keselamatannya.

"Ada yang jalan sambil main handphone. Ada yang jalan sambil menunduk. Saya teriak, ‘Hai awas, ada kereta’."

"Saya tiup peluit kalau kereta datang," lanjutnya.

"Kalau siang begini agak kurang kereta. Yang banyak itu pagi dan sore," katanya lagi.

Tejo bercerita, dirinya pernah punya istri tapi sudah berpisah. Saat ini ia membuat dirinya berarti dengan berbagi rezeki pada empat anak angkatnya, atau ia menyebut empat cucunya.

Mengenai fenomena ojek online, Tejo tidak bisa jadi tukang ojek online karena terbentur usia.

"Pengendara ojek online dibatasi, maksimal 55 tahun," katanya.

Selama ini ia bekerja serabutan, menjadi tukang ojek baru setahun terakhir. Ia menyebut menjaga pintu perlintasan, lumayan menambah pemasukan.

"Kalau ojek lagi sepi, terbantu dari sana," katanya.

Pukul 14.00 Wib penjaga pintu perlintasan kereta sudah berubah wajah. Kali ini Dian (34). Ia menggantikan Sugiri yang sudah selesai dengan dua jamnya.

Dian mengaku baru tiga bulan menjaga pintu perlintasan, sambil menunggu antrian ojek. Ia juga tukang ojek.

Ia berkata Alhamdulillah saat ditanya keamanan di sini.

"Yo Mbak-mbak, cepat-cepat, ayo-ayo," katanya dengan menggerakkan tangannya, mengawasi orang-orang yang menyeberangi rel.

Dian mempunyai seorang anak berusia 6 tahun. Istrinya berjualan es di seberang pangkalan ojeknya.

Ia mengaku senang dengan pekerjaannya. Cuma, katanya, ia menyayangkan sikap orang yang keberatan ditahan ketika kereta sudah terlihat datang.

"Pengin buru-buru, nggak sabar," katanya.

Nia (34) seorang penyeberang, menggendong anak perempuan balitanya, di sampingnya anak perempuan sulungnya kira-kira berusia 9 tahun.

Setelah menyeberang, Nia berdiri di trotoar yang lebar, menunggu angkutan kota jurusan Pulo Gadung.

"Senang ada yang jagain, jadi merasa aman," kata Nia mengenai keberadaan penjaga pintu perlintasan kereta api. (af)

Berita terkait