Untuk Indonesia

Selamat Pagi Keluarga Cendana

Ketimbang Jokowi yang koppig susah diajak kompromi, iparnya ini masih bisa cincailah. - Tulisan Eko Kuntadhi
Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto (kedua kiri), Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso (kedua kanan), kader baru Partai Berkarya Titiek Soeharto (tengah), dan sejumlah kader partai berfoto bersama saat jumpa pers di Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/6/2018). Dalam jumpa pers tersebut, kader senior Partai Golkar Siti Hediyati Hariyadi atau Titiek Soeharto mendeklarasikan diri pindah menjadi kader Partai Berkarya. (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Harta yang paling berharga
Adalah berkuasa

Istana yang paling indah
Adalah berkuasa

Selamat pagi rakyat
Selamat pagi bangsat...

(Theme song 'Keluarga Cendana')

Lagu ini dinyanyikan oleh sebuah kekuarga selepas 1998, ketika Abah yang berkuasa selama 32 tahun terjengkang dari kursi kekuasaan. Rakyat berontak karena muak dengan gaya Abah yang kejam sekaligus serakah.

Mahasiswa menduduki gedung DPR-RI di Jakarta. Di seluruh Indonesia ketidakpuasan itu terungkap dalam kerusuhan yang memakan ratusan korban jiwa. Kebencian rasial tersulut. Saudara-saudara kita etnis Tionghoa merasakan pedihnya api kebencian.

Bayangkan. Selama 32 tahun Abah mengangkangi Indonesia. Di awal kekuasaanya dulu pada 1966, anak-anak Abah masih kecil-kecil. Tapi waktu terus berjalan. Anak-anak Abah tumbuh besar dengan nafsu makan yang juga besar. Semua mau dimakan mereka. Tidak ada yang disisakan buat rakyat. Sementara kekuasaan Abah semakin menggurita.

Rakyat dibiarkan terlunta-lunta. Jika mereka membuka mulut sedikit, Abah langsung membungkamnya. Kadang dengan penjara. Kadang dengan popor senapan. Kadang juga dengan menggencet kehidupan ekonomi. DPR dan MPR di bawah ketiak Abah, hanya berfungsi sebagai tukang stempel. Mandul dan gabuk.

Keluarga Abah hidup bermewah-mewah. Semua anaknya punya kapling besar menguasai kekayaan Indonesia. Bisnisnya tinggal injak kaki atau menunggu setoran.

Mau konsesi jalan tol, tinggal panggil Menteri. Mau menguasai cengkeh dan jeruk, tinggal minta surat bimsalabim. Mau bikin mobil nasional, tinggal stempel mobil dari Korea dengan merk Indonesia.

Anak-anqk Abah adalah drakula haus darah yang dimanjakan kekuasaan. Semua bawahan Abah tunduk patuh pada kemauan anak-anak Abah. Pernah sekali waktu seorang Jenderal mengingatkan Abah mengenai perilaku anak-anak Abah yang keterlakuan. Abah sepertinya tersinggung. Tidak lama berselang jenderal itu masuk kotak.

Sebagai kepala keluarga, Abah adalah nomor satu buat anak-anaknya. Jika anaknya minta gunung, Abah akan menyerahkan gunung. Jika anaknya minta laut, Abah akan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan laut. Jika anaknya minta tanah, Abah tinggal mengusir rakyat yang tinggal di atas tanah itu.

Bukan hanya anak-anaknya. Emak, istri Abah juga gak kalah serakah. Ia minta dibuatkan lokasi jalan-jalan. Maka, cling! jadilah lokasi hiburan Taman Mini Indonesia Indah di atas tanah rakyat yang dirampas. Bagi keluarga itu, gak ada yang gak mungkin. Gak ada yang bisa menghalangi jika mereka sudah punya kemauan.

Bukan hanya keluarganya yang rakus duit. Tangan Abah juga belepotan darah. Di awal kekuasaannya jutaan orang yang dituduh PKI mati mengenaskan tanpa pengadilan. Mereka dibantai dengan keji.

Saat berkuasa, jejak Abah juga menempel di teriakan pedih puluhan ribu rakyat Aceh. Ratusan orang Papua yang miskin. Jejak itu juga memberkas di Tanjung Priok, Haur Koneng, Lampung.

Mongngomong, dulu Abah punya menantu. Orangnya ambisius bukan kepalang. Bekerja sebagai tentara. Mentang-mentang menantu penguasa, lagaknya gak mau menghormati atasannya. Dia main hantam kromo. Maklumnya, semua orang takut karena dia mantunya Abah.

Di akhir masa kekuasaan Abah, menantunya ngaco. Dia menculik para aktivis dan mahasiswa. Atas inisiatifnya sendiri menggerakkan organ tentara. Akibat ulahnya dia dipecat dari tentara. Jabatannya dicopot. Lalu dia kabur ke Yordania.

Seperti dalam sinetron, 1998 kekuasaan Abah tumbang. Abah yang dulunya berkuasa dituntut untuk diadili. Pasalnya menurut Transparansi Internasional, Abah termasuk penguasa terkorup. Jika dijumlahkan seluruh duit anak-anaknya, mungkin mesin hitung akan kekurangan digit untuk menjumlahnya.

Tapi sampai Abah meninggal, dia gak pernah datang ke pengadilan.

Pemerintahan yang sekarang tahu, duit hasil ngentit selama Abah berkuasa sangat besar. Tersimpan di bank-bank luar negeri. Jokowi mengejar dengan membuat perjanjian dengan Swiss dan Singapura untuk bertukar data nasabah.

Ini membuat anak-anak Abah resah. Juga kroni-kroni Abah yang lain yang juga sama rakusnya. Harta hasil jarahan mereka mau dilacak dan dikembalikan ke Indonesia. Mereka marah pada Jokowi.

Mereka kini memilih menjadi bandar Parpol untuk mengadu peruntungan. Anehnya, mereka masih tega menjual wajah Abahnya dengan slogan, 'Penak jamanku, tho?'

Kebetulan bekas ipar mereka, yang dikenal ambisius dan galak, mencalonkan diri jadi Capres. Nah, ini kesempatan. Ketimbang Jokowi yang koppig susah diajak kompromi, iparnya ini masih bisa cincailah. Maka anak-anak Abah berkumpul di belakang mantan iparnya untuk mendorong melawan Jokowi. Kalau iparnya jadi Presiden, mereka akan bersorak kegirangan.

Salah satu anak Abah, bekas istri Capres, rela bermain sandiwara pura-pura mesra. Mengelabui rakyat bahwa Capres dukungan mereka gak jomblo-jomblo amat.

Itulah sepenggal kisah perjuangan sebuah keluarga di Indonesia. Keluarga almarhum Abah, yang kini berniat hendak membangun kekuasaan dengan partai barunya dan mendompleng popularitas iparnya yang kelotokan.

Selamat pagi Abah
Selamat pagi emak

Anak-mantumu kini ngarep berkuasa (lagi)...

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait