Seberapa Besar Penasaran Anda Akan Dilan 1991?

Saya yakin apa yang saya rasakan usai menonton film Dilan 1991 akan sama dengan apa yang teman-teman kritikus film rasakan jika sudah menonton film Dilan 1991
Foto: Max Pictures

Oleh: *Luthfi Matho’

Fenomena Film Dilan 1991 yang memecahkan rekor “Avengers: Infinity War” dari jumlah penonton di hari pertama serta aksi penolakan “mendadak” sejumlah orang mengatasnamakan mahasiswa di Makassar, ternyata menurut saya tidak sepadan dengan kualitas filmnya. Kehebohannya ini patut dipertanyakan.

Apa yang menjadi diskusi hangat teman-teman kritikus film menanggapi dan menyikapi aksi demo dengan berbagai analisis dan buah pemikiran “menduga-duga” semua hanya menghabiskan energi setelah menyaksikan film dilan 1991. Rasa penasaran saya terjawab sudah usai menonton film ini kemarin malam, hari kedua sejak dirilis 28 Februari 2019 lalu.

Saya sengaja mengambil jam penayangan terakhir di XXI Mall Panakukan, Makassar, pukul 21.00 Wita. Untuk mengamati usia berapa yang mayoritas pada jam tayang tersebut. Harus diakui animo penikmat film di Makassar sangat antusias terhadap film ini.

Filmnya terasa garing, kata-katanya sudah basi tidak seperti Dilan pertama, banyak adegan cerita dibuat-buat untuk menambah durasi.

Gedung bioskop berkapasitas kurang lebih 135 orang, full bahkan ada sebagian yang tidak kebagian seat. Dan fantastisnya hampir 90% adalah ABG atau anak muda milenial. Sudah jam tayang terakhir mereka masih setia menanti untuk menyaksikan film ini, luar biasa bukan? Padahal harga tiketnya 50.000 per orang.

Kembali teringat saat prekuelnya, Dilan 1990 dirilis tahun lalu, yang membuat salah satu film mahal versi film Makassar, kebanggaan hasil sineas kita serta film lainnya saat itu terkena imbas gelombang Dilanisme. Dari situ saya mendapatkan gambaran, mungkin pengalaman pahit tahun lalu membuat sebagian sineas menghindari filmnya tayang bersamaan dengan jadwal tayangnya film Dilan 1991 ini.

Saya yakin apa yang saya rasakan usai menonton film Dilan 1991 akan sama dengan apa yang teman-teman kritikus film rasakan jika sudah menonton film Dilan 1991. “Mengecewakan” tidak sesuai ekspektasi, di samping, jujur ada rasa gemes dikit, kok bisanya film dengan cerita membosankan seperti ini mendapat tempat dan prestise luar biasa di negeri ini.

Tapi itulah industri film, reality that must be accepted after the show. Sekali lagi mau dibilang apa pun, film ini sudah sukses dari sisi komersialnya. Sisi yang sangat didamba mayoritas sineas perfilman.

Berkaitan soal aksi demo-demoan, adegan apa dan mananya  yang mau diprotes? Coba nonton filmnya. Semua biasa saja, bahkan alur cerita yang lambat membuat rasa ngantuk mendominasi daripada keterbawaan emosi ceritanya. Repetite pengadeganan dengan dialog tumpang tindih terjadi semakin membuat kita tidak betah berlama-lama menghabiskan film ini hingga menunggu endingnya.

Beruntunglah ada sedikit frame-frame komedi penghias kejenuhan, meskipun sebagian besarnya terasa garing. Penggambaran sosok Dilan sebagai anak remaja tahun 90-an pun benar-benar nampak dibuat-buat kali ini, tidak seperti saat di Dilan 1990.

Terus, apanya Dilan yang mau ditakutkan untuk diikuti anak jaman now? Justru sikap pemberaninya membela hak dan keadilan, rasa hormat pada orang tua serta ucapan salam yang setiap saat meluncur dari kepribadian Dilan yang mewarnai durasi  2 jam film ini lebih menonjol ketimbang apa yang dijadikan alasan penolakan sejumlah pihak di luar sana, belum lagi ditambah aksi Milea yang total tidak mendukung Dilan menjadi anak geng motor.

Soal pacaran? Dikhawatirkan jangan sampai anak-anak kita mencontohi gayanya Dilan, sebaliknya mungkin Dilan-lah yang akan mencontoh model pacaran anak hari ini, andaikan dia tahu sebegini bebasnya kehidupan remaja era milenial ini.

Kesimpulan saya, kalau hanya ingin memenuhi rasa penasaran tentang film ini, silahkan ditonton. Termasuk ketika ingin melihat reaksi dan betapa antusiasnya generasi milenial menantikan lanjutan kisah Dilan 1990.

Tetapi kalau ingin mendapatkan hiburan serta menikmati cerita sebuah film berkualitas, sebaiknya cari film lain saja. Lumayan, saya nonton film ini mengajak serta istri dan anak milenialku yang masih SMA kelas 2, sebagai output komentar orang yang telah menonton film ini.

Kata istriku, filmnya terasa garing, kata-katanya sudah basi tidak seperti Dilan pertama, banyak adegan cerita dibuat-buat untuk menambah durasi. Dia tidak menangkap pesan apa yang sebenarnya mau disampaikan film ini. Anak milenialku lebih tajam lagi celotehnya, dia malah merasa rugi menonton film ini.

Tapi apapun yang saya rasakan sebagai hasil nonton film Dilan 1991 ini, itu saya. Siapa tahu berbeda dengan anda,  semua itu kembali berpulang kepada diri kita masing-masing.

Harapan saya, kita usaikan juga pertikaian dan polemik soal film Dilan ini, yang justru akan menjadikannya daya tarik dan penasaran orang. Mari kembali merapatkan barisan, berkreatifitas dan bersinergi potensial sesama sineas lokal untuk bisa meraih prestasi sensasional seperti apa yang telah ditoreh oleh edisi Dilan ini jauh lebih baik ketimbang menguras energi mempermasalahkannya. Jangan mau jadi marketing gratisan untuk sesuatu yang “mengecewakan”. Jayalah terus film lokal Makassar.

Penulis: *Luthfi Matho’ (Kritikus Film, tinggal di Makassar)

Berita terkait