#SanggeSangge, Menjajal Cinta Tanpa Hati dan Ketulusan

Jadilah orang menjajal cinta tanpa hati, tanpa pengorbanan dan tanpa ketulusan. Itulah yang terjadi pada boru Regar dan calon mertuanya.
Daun sangge-sangge atau daun serai

Viralnya sangge-sangge (daun serai/bahasa ilmiahnya cymbopogon citratus)  di media sosial diawali dengan postingan Tika Romauli Siregar yang gagal kawin dengan tunangannya akibat emas setipis daun #SanggeSangge.

Pernikahan di-suspend (batal) karena boru Regar, calon mempelai wanita, relatif miskin, hanya punya emas setipis daun serei. Pihak mempelai pria, yang diwakili calon mertua, tak ikhlas punya menantu kere.

Tak bisa dipungkiri, kita amat suka dengan melo drama dan sinetron ala Siti Nurbaya. Drama miskin dengan si kaya, si jelata dengan penguasa.

Dukungan publikpun terpecah, antara pro boru Regar dan pro calon mertua. Itu juga indikasi publik sosial politik nasional yang terpecah. Publik mempunyai rasionalitas sendiri. Berdiri dan berpihak pada posisi paling dekat pada dirinya, keegoan atau keakuannya.

Pro boru Regar, mempunyai irisan "keakuan" dengan statuta boru Regar, baik karena statuta ekonomi maupun pandangan hidup. Demikian halnya dengan yang pro calon mertua.

Rasionalitas dan klaim kebenaran satu kelompok tertentu tidaklah fair kalau langsung kita vonis salah. Perlu rujukan, perlu literasi dan perlu pemaknaan hakiki untuk memahami rasionalitas itu. Makna yang ditemukan diadu dengan way of life masyarakat. Tersimpullah sudah nilai yang pas, nilai yang apresiatif untuk kelompok tersebut, tanpa melukai perasaan.

Perasaan manusia adalah bagian hakiki dari makna hadirnya manusia di dunia ini. Perasaan itu tak bisa disakiti, hanya diingatkan bahwa kita harus tunduk pada satu kesepakatan bersama dalam satu bangsa dan negara.

Boru Regar dan calon mertua, dua-duanya salah dan dua-duanya benar, mengacu pada sudut pandang masing-masing. Sudut pandang yang berbeda kadang bukan menjadikan lebih baik. Sudut pandang sebaiknya satu dan sudutnyapun diperkecil agar lebih fokus, mengurangi bias. Bagaimana kita menyamakan sudut pandang?

Pengumpulan nilai-nilai universal, diracik menjadi satu rangkaian. Itulah kunci menyamakan sudut pandang. Kasus sangge-sangge adalah kasus pernikahan, dan pernikahan yang baik harus didasari cinta kasih, it's the point. Kalau ada satu dua pernikahan yang berlangsung tanpa cinta, itu bukanlah pernikahan tapi konvergensi nafsu syahwat. Sampai poin ini kita sepakat, karena kita semua punya cinta. Jangankan manusia, hewan sekalipun punya cinta. Lihatlah singa, berjuang dan bertarung keras untuk mengumpulkan makanan untuk keluarganya.

Kalau sudah sepakat, itulah sudut pandang yang mau kita pakai untuk memaknai kasus sangge-sangge. Dua belah pihak mengindikasikan terderusnya cinta dalam hidup mereka. Keringnya cinta kasih di antara calon pengantin maupun cinta kasih dengan orang tua calon mempelai.

Cinta sudah diatributkan dengan harta dalam dua sisi mata uang. Saya dihina karena tak punya harta dan atau kau tak layak masuk dalam keluarga ini karena emasmu setipis sangge-sangge. Atributisasi terhadap makna cinta, pertautan cinta dan harta, itulah indikasi terderusnya cinta.

Cinta saat ini sudah kata usang yang hanya tertulis dalam buku dan buku itupun tersimpan di museum. Tak ada lagi sebutan cinta dengan indah seperti yang disampaikan Shakespeare maupun Khalil Gibran. Semuanya kering, gersang, birahi cinta sudah menjadi birahi nafsu dan harta yg sangat instan dan bisa digadaikan. Pegadaian sebaiknya membuat paket baru "gadai cinta" yang dibayar setelah ada transaksi cinta. Kenapa begitu? Karena kita hidup terlalu melihat diri, melihat sekumpulan daging yang terorganisir dan tergantung dalam badan kita. Nikmatnya daging, akan memproduksi cinta yang instan seperti mie. Campur air panas jadi mie siap makan, campur di tempat tidur jadi anak, hehehe.

Saat ada orang berkorban karena cinta itu akan menjadi kebodohan, absurd dan gak zaman. Saat ada orang tulus untuk mencintai itu buang- buang waktu karena tidak relevan dengan nikmatnya daging. Jadilah orang menjajal cinta tanpa hati, tanpa pengorbanan dan tanpa ketulusan. Itulah yang terjadi pada boru Regar dan calon mertuanya.

[caption id="attachment_22689" align="alignleft" width="354"]Screenshoot percakapan Tika Romauli Siregar dengan calon mertua yang ada kata sangge-sangge Screenshoot percakapan Tika Romauli Siregar dengan calon mertua yang ada kata sangge-sangge (Foto: Facebook)[/caption]

Apakah tindakan mereka benar? Ya benar, karena mereka realistis, mengambil sikap sesuai zaman, sesuai dengan makna cinta kontemporer.

Bagaimana sebaiknya memilih antara boru Regar dan calon mertua? Dua duanya tidak bisa dipilih apalagi dicontoh karena merekalah musuh peradaban yang baik untuk masa depan umat manusia.

Masa depan umat manusia haruslah sandar pada cinta kasih, semangat untuk mengasihi, semangat untuk berkorban dengan tulus. Tingkatannya berbeda, tapi semangatnya sama. Biarlah generasi yang dilahirkan adalah generasi yang lahir karena cinta, bukan generasi yang lahir karena nafsu syahwat. Banyak sudah generasi yang lahir karena bapaknya pulang mabuk, karena bapaknya tukang kawin, karena bapaknya dapat uang korupsi bawa istri ke Menara Eifel, jadilah hamil lagi itu istri.

Lahirlah generasi bagaikan generasi yang aneh, tukang mabuk, tukang kawin dan jago korupsi, karena mereka lahir dari syahwat tersebut. Apakah itu kemutlakan? Tidak, hidup tidak pernah tiba pada kemutlakan, karena kemutlakan itu milik sang Khalik. Terus bagaimana? Pertobatan itu adalah pentahiran dari kuasa daging, kuasa syahwat yang dibawa lahir. Kalau tidak? Marilah kita saling membunuh supaya kita semua binasa. Minimal Tuhan dan para ajudannya tidak susah lagi untuk menilai kita masuk sorga atau neraka.

Kenapa kita linglung seperti boru Regar dan camernya, karena ada yang hilang dari diri kita. Hilang tak tahu kemana dan dibawa siapa. Hilang dan membuat kita hidup gersang tanpa tetesan air sejuk, gersang dan membuat sangge-sangge itu layu dan terbuang, sunggeap, kering.

Penulis: Jen Maro

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.