Untuk Indonesia

Sandiaga Uno dari Status Receh Satu ke Status Receh Lainnya

'Ada satu pola yang selalu disampaikannya. Program adalah bahan bualan, tidak penting bisa diwujudkan atau tidak.' - Eko Kuntadhi
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mencium mobil dinas saat di Balai Kota, Jakarta, Jumat (10/8/2018). Sandiaga Uno resmi mundur dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo dalam Pilpres 2019. (Foto: Antara/Galih Pradipta)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Ketika Pilkada Jakarta 2016 lalu, Sandiaga Uno membawa sosok Bi Narti dalam wacana perdebatan. Kata Sandiaga, Bi Narti ini, adalah pedagang kecil yang hidupnya makin susah di Jakarta. Lalu dari kisah Bi Narti, Sandiaga mendesakkan program OK-OCE.

Dengan OK-OCE katanya pengusaha kecil seperti Bi Narti akan diberi pelatihan, dicarikan pasar, diberi modal. Pokoknya tinggal nyatakan sebagai pengusaha semuanya disiapkan Pemda.

Lalu Sandi menduduki kursi Wagub. Lalu program OK-OCE dijalankan. Lalu beberapa pengusaha kecil ikut pelatihan. Ternyata hanya diceramahi oleh anak muda yang sama sekali tidak punya pengalaman bisnis. Sedangkan permodalan tidak ada bantuan. Mengikuti pelatihan itu, seperti membuang-buang waktu saja.

Pengusaha lain yang mewujudkan OK-OCE mart babak belur. Tokonya sepi. Beberapa malah bangkrut. Rak-rak dagangannya kosong melompong. Seorang teman menemukan selisih harga yang jauh lebih mahal di OK-OCE mart ketimbang di Indomaret atau Alfamart. Kalau sudah begitu, mana ada konsumen mau membeli di gerai tersebut.

Bahkan di OK-OCE Kalibata, sebelum bangkrut, karyawannya pernah dua bulan belum menerima gaji.

OK-OCE adalah program yang ditawarkan Sandiaga ketika hendak maju sebagai Cawagub, nyatanya tidak bisa dijalankan sama sekali. Banyak hambatan ditemui di lapangan. Banyak persoalan teknis yang tidak dipahami penggagas programnya. Bagaimana misalnya memindahkan dana APBD menjadi milik perseorangan dalam bentuk pinjaman. Berbeda dengan Ahok ketika membantu nelayan Pulau Seribu dengan siatem bagi hasil. Semuanya sudah dipikirkan dengan baik, hingga program itu bisa direalisasikan. Dengan kata lain boleh dibilang, tidak ada pengusaha yang dibantu menjadi lebih sukses karena program OK-OCE ini.

Entah ke mana sosok Bi Narti sekarang. Yang pasti tenggelam pascakampanye Pilkada.

Lalu Sandiaga maju sebagai Cawapres. Apa yang mula-mula digebrak? Seperti ketika  Pilkada, Sandiaga membawa sosok lain. Kali ini namanya Bu Lia. Katanya Bu Lia ini seorang ibu rumah tangga di Riau. Menurut Sandiaga, Bu Lia berantem dengan suaminya gara-gara harga makin mahal. Dikasih uang belanja Rp100 ribu, yabg didapat Bu Lia hanya cabai dan bawang doang.

Sama seperti sosok Bi Narti yang dipinjam Sandi pada Pilkada Jakarta, dengan Bu Lia, Sandi ingin memberikan gambaran bahwa harga-harga makin mahal. Hidup makin susah. Dan Sandiaga akan datang seperti dewa penolong.

Tapi rupanya kali ini kebablasan. Entah Sandiaga yang ditipu Bu Lia dengan kisah bohongnya. Atau memang Sandiaga yang tidak pernah tahu harga di pasar, sehingga mengarang kisah yang jauh dari realita.

Emak-emak bereaksi atas kebohongan itu. Mereka merekam aktivitasnya ketika belanja di pasar. Uang Rp 100 ribu yang kata Sandi hanya dapat cabai dan bawang, di tangan emak-emak lain bisa membeli bahan makanan full. Ada sayur, ayam, tahu tempe, bahkan buah. Sandi ingin bilang harga-harga naik, emak-emak yang sering ke pasar membantahnya. Langsung membuktikan kebohongan itu.

Omongan ekonomi sedang susah memang akan jadi bahan kampanye yang dimainkan Sandiaga. Ketika inflasi menggambarkan angka 3,8 persen misalnya, bukan mengakui harga-harga stabil. Sandi malah menuding data BPS bisa diakali. Sebuah tudingan yang kacau dan serius. Sebab BPS itu independen, jika dituding bisa diakali maka Sandi sedang meragukan seluruh argumen penelitian sosial yang berbasis pada data BPS. Padahal semua kengacoan itu hanya untuk membungkus persepsi bahwa ekonomi sulit.

Jadi ada satu pola yang selalu disampaikannya. Pertama, program kampanye tidak harus bisa direalisasikan. Program adalah bahan bualan, tidak penting bisa diwujudkan atau tidak. Makanya di Jakarta OK-OCE cuma jadi slogan saja dengan eksekusi yang kacau.

Yang kedua, ketika bicara mengkritik keadaan tidak perlu keadaan itu benar terjadi atau cuma bualan. Mereka akan bicara ekonomi sulit, walaupun kehidupan ekonomi biasa saja. Mereka akan bicara harga-harga naik, kalaupun di pasar harga-harga stabil. Mereka akan bicara BBM naik, walaupun harga premium gak naik. Kalau harga Pertamax naik, memang sejak dulu harga Pertamax mengikuti pasaran. Kadang naik kadang turun.

Jadi antara omongan dengan kenyataan tidak perlu sesuai. Mereka gak peduli bahwa rakyat juga beli bensin dan tidak mendapatkan kenaikan premium.  Kenyataan adalah sebuah hal, omongan kampanye adalah hal yang berbeda.

Bagaimana melawan kedegilan ini? Dengan menampilkan kenyataan di mana-mana. Mengungkapkan kenyataan sehari-hari ke ruang publik. Agar kebohongan tidak mendomonasi.

Misalnya, tidak ada salahnya di status media sosial kita unggah lagi hal-hal sederhana tentang kehidupan kita sehari-hari. Berapa banyak kita belanja ke pasar hari ini dan dapat apa saja. Harga bahan makanan apa yang naik, mana yang turun. Tunjukkan bahwa hidup tidak seperti yang digambarkan Sandiaga atau Prabowo. Hidup di Indonesia ini jauh lebih murah dan nyaman dibanding di luar negeri.

Posting juga hal-hal receh lainnya  seperti harga BBM yang biasa saja. Atau hal-hal menggembirakan lainnya. Bukan karena kita ingin mendukung salah satu pasangan calon. Tetapi karena kita tidak bisa mendiamkam ruang publik diisi oleh informasi palsu yang terus menerus didesakkan.

Dengan kata lain, untuk melawan berbagai informasi palsu dalam musim kampanye ini sudah saatnya kita melawannya dengan hal-hal receh. Sampaikan bahwa kehidupan berjalan biasa saja. Bukan seperti ketakutan yang sering mereka sebarkan.

Sebab kita yakin tidak ada kebaikan yang bisa dijalankan bila didasari dari kebohongan. []

*Eko Kuntadhi Pegiat Media Sosial

Berita terkait