Salaman dan “Sandalan” Saat Presiden Jokowi Gelar Griya

Salaman dan “sandalan” saat Presiden Jokowi gelar griya. Seorang warga yang tampil dengan "sandalan" adalah Ajum Jumhadi. Dia penarik becak.
Presiden Joko Widodo berjabat tangan dengan warga di acara Silahturahmi Idul Fitri 1 Syawal 1439 H di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/6/2018). Presiden dan Ibu Negara Iriana Jokowi melakukan silahturahmi Lebaran dengan berbagai kalangan masyarakat mulai pejabat negara, menteri Kabinet Kerja dan masyarakat umum yang tinggal di sekitar Kota Bogor, Jawa Barat. (Foto: Ant/Widodo S Jusuf)

Jakarta, (Tagar 15/6/2018) - Dua kali sudah Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo gelar griya (open house) saat Hari Raya Idul Fitri. Tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta dan 2018 di Istana Bogor.

Masyarakat gembira menyambut dua hajatan itu. Mereka antusias mendapat kesempatan bertemu, bersalaman dan berfoto dengan Jokowi.

Buktinya, antrean warga maupun pejabat yang ingin bersalaman dengan Presiden dan Ibu Negara seperti tak ada putus-putusnya. Bahkan sampai melewati waktu yang sudah ditentukan sebelumnya.

Meski sama-sama terbuka untuk masyarakat, gelar griya dalam dua tahun itu punya sedikit perbedaan, khususnya tampilan tamu yang ikut bersilaturahim.

Dalam gelar griya 2018 di Istana Kepresidenan Bogor, warga di sekitar Bogor tampak cukup mengenakan kaus, celana panjang dan sandal jepit saat bersilaturahim. Tampilan yang tidak ditemukan saat gelar griya 2017 di Istana Negara.

Seorang warga yang tampil dengan "sandalan" adalah Ajum Jumhadi. Dia penarik becak yang biasa "mangkal" di depan lembaga pemasyarakatan (lapas) Paledang, Bogor.

"Ini pertama bertemu Presiden, pertama masuk Istana Presiden. Saya hanya ingin mengucapkan selamat Idul Fitri saja," kata Ajum Jumhadi yang datang bersama rekan-rekannya yang juga menarik becak.

Mereka mendapat giliran bersalaman dengan Presiden dan Ibu Negara sekitar pukul 10.15 WIB. "Buru-buru tadi datang ke sini, ingin silaturahim dengan Bapak Presiden," tambah Ajum.

Ajum mengaku tidak punya keinginan lain setelah bertemu Jokowi. "Tergantung Presiden mau mesan apa saja," ungkap Ajum.

Seorang rekan Ajum malah diperbolehkan masuk membawa topi caping ke ruang teratai tempat gelar griya dilaksanakan.

Ujang, petani asal Sukabumi, juga mengaku datang karena ingin bersilaturahim dengan Presiden. "Datang sendiri, tadi salaman langsung, ya minal aidin saja," ujarnya.

Ujang mengaku bahagia bisa bertemu Presiden. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama seumur hidupnya.

Dia mengaku datang berjalan kaki, dua hari dua malam. "Berangkat dari hari Rabu, jalan kaki menuju Bogor karena untuk mengirit ongkoslah.

Setelah ini ya pulang ke Sukabumi lagi, jalan kaki lagi, nggak ada ongkos saya," tambah Ujang.

Warga Sukabumi lainnya, Rudi Sinaga, mengaku ingin mengucapkan terima kasih kepada Jokowi atas pembangunan di Sukabumi.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih langsung sama Pak Jokowi atas pembangunan infrastruktur, khususnya di Jawa barat. Saya rasa luar biasa, terima kasih banget sama Pak Jokowi," kata Rudi.

Di Jawa Barat, khususnya wilayah Sukabumi, sejumlah pembangunan sarana transportasi memang digalakkan. Sebut saja misalnya, pembangunan jalur ganda kereta api lintas Bogor-Sukabumi dan tol Bocimi (Bogor-Ciawi-Sukabumi) yang mulai dibangun pada 2015.

Lontong Sayur

Usai bertemu, bersalaman dan berfoto bersama Presiden, Ajum, Ujang dan Rudi mendapat santapan makan siang berupa lontong sayur dan opor. Mereka mendapatkan makanan ini di bawah tenda hijau yang sengaja dipasang di halaman belakang Istana Bogor.

Mereka juga mendapat "oleh-oleh" paket sembako saat melangkah keluar gerbang Istana.

Ajum, Ujang, dan Rudi berdiri dan bersalaman tidak jauh dari posisi "antre" para pejabat Negara, pengusaha, maupun tokoh-tokoh politik seperti para menteri.

Berbuat Adil

Lebaran memang tidak hanya bermakna salaman dan makan siang.

"Kita bisa berbagi dengan sesama saudara yang kebetulan tidak seberuntung. Kita santuni mereka, kita angkat mereka ke taraf yang lebih baik dan kita jadikan mereka bagian dari diri kita. Itulah inti puasa Ramadhan yang kita lakukan, dengan jalan demikian maka terbukalah pintu-pintu takwa yang menjadi tujuan puasa Ramadhan," kata Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Didin Saefuddin Buchori.

Dia menyampaikan hal itu saat bertindak sebagai imam dan khatib salat Idul Fitri di lapangan Astrid, Kebun Raya Bogor dalam khotbah agama dengan tema "Meraih Kemuliaan Hidup Setelah Ramadan".

Selain itu, Didin antara lain mengatakan, keadilan harus diperlihatkan kepada siapa pun tanpa pandang bulu, kawan atau lawan, dicintai atau dibenci. "Allah melarang kita tidak adil hanya karena kita membenci objek keadilan itu," ujarnya.

Menurut Didin, berbuat adil harus dilakukan terutama oleh umaro, pejabat publik, pembuat keputusan, penerima amanah. “Karena mereka telah dititipi dan dikontrak oleh ribuan, jutaan, ratusan juta orang untuk melakukan komitmen yang memberi amanah.”

"Orang muslim harus saleh dan juga muslih yaitu mengubah orang menjadi saleh, muhdin sekaligus muhtadin yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain," ungkap Didin pada bagian lainnya.

Dapat dikatakan, bagi umat Muslim, baik mereka yang "sandalan" maupun tidak, "kaosan" atau berpakaian lebih mentereng, tujuan berperilaku seharusnya tetap mewujudkan kesejahteraan sesama manusia. Pasalnya, karena semua itu sama-sama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang tinggal di Indonesia tercinta. (Desca Lidya Natalia/ant/yps)

Berita terkait
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.