Untuk Indonesia

Rwanda dan Tragedi PKI

'Tuhan menciptakan peristiwa supaya manusia belajar mengambil makna dan berbuat lebih baik dari yang pernah ada.' - Denny Siregar
Presiden Rwanda Paul Kagame menyalakan api kemudian bersama-sama menyanyikan "Urumuri rw'u Rwanda ni Urwawe na njye" yang artinya Cahaya Rwanda adalah milik kita, Sabtu 7 April 2018 untuk mengingat peristiwa genosida yang terjadi 24 tahun lalu, lebih dari satu juta orang meninggal dalam perang antarsuku. (Foto: KT Press)

Oleh: Denny Siregar*

Rwanda adalah negara di Afrika Tengah.

Tahun 1984, terjadi pembantaian besar-besaran di sana dimana sejuta orang meninggal hanya karena berbeda suku. Kisah tragis itu terekam dalam sebuah film berjudul "Hotel Rwanda".

Peristiwa itu sangat menyakitkan bagi Suku Tutsi, yang banyak menjadi korban dari kekejian yang dilakukan Suku Hutu. Tahun-tahun sesudah tragedi itu, sering diterpa isu balas dendam dan terjadi konflik kecil-kecilan yang masih bisa diredam.

Tetapi tidak selamanya situasi itu bisa dipendam. Ulah politikus yang ingin kekuasaan membuat mereka sering menggunakan isu itu demi kepentingan politik praktis. Sangat berbahaya jika isu itu tidak segera diredam. Jika api itu kembali membesar, Rwanda akan kembali tenggelam.

Akhirnya Paul Kagame, Presiden Rwanda membuat pertunjukan untuk memperingati 20 tahun peristiwa genosida itu. Peristiwa Rwanda diperingati dalam atraksi kolosal dan pameran foto berupa kekejaman yang menyakitkan hati itu.

Sesudah 20 tahun, kejadian itu akhirnya dibuka lebar. Tidak ada lagi yang harus ditutupi sehingga menjadi bahan amunisi. Rakyat Rwanda tenggelam dalam kesedihan yang sangat ketika diingatkan kejadian itu lagi. Tapi dendam mereka luruh seketika.

Kedua suku berpelukan dan berjanji akan mencegah tragedi itu terulang lagi. Foto-foto mayat yang terpampang dari keluarga mereka, sahabat mereka, saudara mereka, seperti berkata, "Kami sudah menjadi korban dari kebodohan kami sendiri."

Paul Kagame ingin tragedi itu hadir sebagai kenangan pahit, sekaligus pembelajaran. Bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Tetapi mencari solusi bersama untuk hidup dalam perbedaan.

Indonesia bisa belajar dari Rwanda dalam menangani konflik yang pernah terjadi. Konflik Ambon, konflik Poso, Sampit bahkan peristiwa Gerakan 30 September PKI.

Buatlah sebuah pertunjukan kolosal untuk menghadirkan bagaimana situasi itu terjadi. Bukan untuk mencari benar atau salah, menang atau kalah, tetapi belajar dari masalah. Dengan dihadirkannya tragedi-tragedi yang menyakitkan itu, kita berharap ada pelajaran pahit yang kita telan dan jangan pernah terulang.

Dengan dibuka lebar-lebar seperti itu, tidak akan ada pihak-pihak yang memainkan luka sebagai senjata politik mereka. Anak-anak kita pun akan belajar sesuatu. Bahwa kebodohan bisa menjadi senjata untuk menghancurkan diri sendiri.

Tuhan menciptakan peristiwa supaya manusia belajar mengambil makna dan berbuat lebih baik dari yang pernah ada. Bersyukurlah kita mendapat pelajaran dari Rwanda. Jangan sampai negara seperti Rwanda yang mengambil pelajaran pahit dari tragedi di negara kita.

Semoga ke depan kita akan menjadi lebih baik. Tidak ada lagi isu-isu lama yang dibangkitkan hanya untuk kekuasaan semata.

Seruput secangkir kopinya....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.