Putri Handayani, Alumni SMA Negeri 1 Matauli Penakluk Gunung-gunung Tertinggi Dunia

Namanya Diansyah Putri Fitri Handayani. Dia alumni SMA Negeri 1 Matauli, Pandan, Sumatera Utara dan alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Putri Handayani saat ini sedang menyelesaikan misi pendakian dan penjelajahan dan akan mendapatkan predikat The Explorers Grand Slam. Predikat yang didapat ketika berhasil mendaki puncak-puncak tertinggi di tujuh benua dan menjelajah dengan kaki ke Kutub Utara Geografis dan Kutub Selatan. (Foto: locita.co/Jelajah Putri)

Jakarta, (Tagar 1/4/2019) - Namanya Diansyah Putri Fitri Handayani. Dia alumni SMA Negeri 1 Matauli, Pandan, Sumatera Utara dan alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Lewat program “Jelajah Putri”, saat ini dia sedang menyelesaikan misi pendakian dan penjelajahan dan akan mendapatkan predikat  The Explorers Grand Slam. Predikat yang didapat ketika berhasil mendaki puncak-puncak tertinggi di tujuh benua dan menjelajah dengan kaki ke Kutub Utara Geografis dan Kutub Selatan.

Kemiskinan tak membuatnya patah arang. Ia bahkan menjadikan itu sebagai motivasi untuk cepat lulus.

Ia sudah berhasil mencapai puncak tertinggi Kilimanjaro (tertinggi di Afrika), Carstenz Pyramid (tertinggi di Australia dan Oceania), Elbrus (tertinggi di Eropa), dan Aconcagua (tertinggi di Amerika Selatan). Kini tinggal Denali (tertinggi di Amerika Utara), Vinson Massif (tertinggi di Antartika), Everest (puncak tertinggi dunia), dan menjelajah Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Jika sukses, Putri akan menjadi orang Indonesia dan perempuan Asia Tenggara pertama yang berhasil mendapatkan gelar ini. Sampai saat ini, gelar ini hanya berhasil didapatkan oleh 58 orang di seluruh dunia dengan 14 perempuan diantaranya.

Putri terlahir dari keluarga sederhana di Perbaungan, Sumatera Utara. Mengutip dari laman ikama.or.id, Putri mengaku bersyukur karena bisa bersekolah di SMA Negeri 1 Matauli Pandan karena biaya sekolah gratis. Ia hanya memikirkan biaya kos, sebab jauh dari kampung halamannya di Perbaungan.

Selepas SMA, ia berhasil masuk Jurusan Teknik Sipil Universitas Indonesia tahun 2000. Ia bercerita, ketika masuk UI, pemerintah baru saja mengalami reformasi dan subsidi pendidikan dicabut, sehingga biaya kuliah di UI naik tiga kali lipat dari sebelumnya.

Putri Handayani(Foto: ui.ac.id/Jelajah Putri)

“Nah, itu beratnya dari segi biaya lumayan berasa, ketika mengajukan permintaan keringanan uang kuliah, waktu itu harus menyertakan rekening listrik dan slip gaji orangtua untuk membuktikan bahwa kita memang berasal dari keluarga yang kurang mampu,” ujarnya.

Ia mengaku ibunya hanya jualan dan ayahnya bekerja serabutan. Ia pun harus minta surat miskin dari kepala desa di daerahnya sebagai syarat mendapatkan keringanan biaya kuliah dari UI. Tak cukup sampai di situ, ia masih harus menjalani sesi wawancara dengan pihak rektorat sebelum mendapat keringanan biaya kuliah. 

Kemiskinan tak membuatnya patah arang. Ia bahkan menjadikan itu sebagai motivasi untuk cepat lulus. Putri juga merasakan betapa pentingnya berorganisasi. Aktif berorganisasi membantu jalannya mendapatkan beasiswa. Bahkan ia pun sering membantu mengurus keringanan biaya kuliah untuk mahasiswa baru. Ia ingat bahwa ia pernah berada pada kondisi itu, datang dari daerah dan harus bersaing dengan anak-anak Ibu kota dengan fasilitas yang memadai dan gaya hidup yang jelas berbeda.

Ia jelas perempuan tangguh dan mempunyai jiwa petarung. Putri menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Sipil di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (IMS-FTUI) mengalahkan para lelaki. Putri juga tergabung dalam Kamuka-Parwata (KAPA) FTUI, kelompok pecinta alam di kampusnya.

Kegiatan pecinta alam ini mengajarkannya banyak hal mulai dari survival skills sampai program sosial kemasyarakatan di daerah-daerah sekitar mereka berpetualang. Ia juga sempat menjabat sebagai Ketua Atletik UI, dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan olahraga di tingkat fakultas dan universitas.

Selepas kuliah, ia diterima bekerja di Schlumberger, sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang pertambangan dan minyak. Awalnya, Putri ingin melanjutkan S2 di program gabungan NTU dan Stanford, tetapi bahasa menjadi kendala. Mata kuliah Bahasa Inggrisnya C dan akhirnya mengulang karena tidak ingin ada nilai C di transkrip nilainya. 

Ia pertama kali ditempatkan di Qatar. Berangkat ke offshore naik helikopter dan menjadi perempuan satu-satunya di rig adalah pengalaman berikutnya bagi Putri. Bekerja dengan orang-orang dari berbagai negara juga merupakan pengalaman yang berharga baginya.

Demi Papua ia bahkan rela berhenti dari pekerjaannya yang sudah mapan di perusahaan asing.

"Pola pikir dan wawasan kita jadi lebih terbuka dengan sering bersosialisasi dengan orang-orang dari negara, budaya, perawakan, agama, kepercayaan, dan nilai-nilai hidup yang berbeda,” ujarnya.

Lingkungan kerjanya sendiri mempunyai tantangan yang tak kalah sulitnya. “Dulu, banyak rig yang tidak punya kamar terpisah antara laki-laki dan perempuan. Jadi ketika harus berbagi kamar dengan tiga orang laki-laki yang baru dikenal, nggak nyaman banget rasanya,” katanya. 

Terkadang, gaya berbicara rekan kerjanya ketika berdiskusi atau berselisih paham terdengar kasar, hingga terbersit di hatinya, "this is not my world." 

Namun seiring berjalannya waktu, walaupun masih banyak yang harus dibenahi, industri minyak dan gas sendiri semakin membaik dari segi fasilitas dan lingkungan kerja bagi perempuan. Dan Putri pun lebih memaklumi resiko pekerjaannya yang memang didominasi oleh para pria.

Mendaki Gunung
Setelah empat tahun di Qatar, Putri mendapatkan promosi dan penugasan ke Amerika Serikat sebagai manajer yang merupakan posisi kantor, jadi tidak ke lapangan atau di tengah laut seperti sebelumnya. Di sinilah ia kembali mempunyai kesempatan untuk menjalaninya hobinya, mulai dari indoor wall-climbing, outdoor rock-climbing dan hiking di berbagai taman nasional di Amerika.

Setelah 1,5 tahun bekerja di Amerika, Putri meninggalkan pekerjaannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 disana. Tahun 2012, ia berhasil menyelesaikan Master of Business Administration (MBA) dari University of Pittsburgh, dan kembali ke Indonesia dan bekerja di McKinsey & Company, sebuah strategy dan management consulting firm terkemuka di dunia. 

Saat itulah ia semakin rutin menjalani hobinya, seperti mendaki Gunung Semeru dan hiking ke Bromo. Setahun di Indonesia, ia pun kembali melanglang dunia melalui posisi barunya di Schlumberger Dubai. Kali ini karirnya beralih ke bidang finance, sebagai Internal Auditor dan Controller

Di Dubai, ia bergabung di komunitas trekking and mountain climbing, dan bersama beberapa orang dari komunitas ini, ia menjajaki beberapa gunung di Uni Arab Emirat, Oman, Jepang, Inggris, Switzerland, hingga Tanzania. Teman-temannya memang cukup serius dalam menjalani hobi ini, sehingga ia pun semakin termotivasi.

Melalui Program "Jelajah Putri" tak lama lagi Putri akan menjadi orang pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang mendapat gelar The Explorers Grand Slam. The Explores Grand Slam yang dirancang Putri akan selesai pada 2019

Selain itu, Putri juga membawa misi edukasi dengan cara mendirikan sekolah alam dan kamp pembelajaran sains dan teknologi berbasis lingkungan di pedalaman Papua.

Konsep sekolah alam yang didirikan adalah Sekolah Dasar (SD) yang akan berkolaborasi dengan Gerakan UI Mengajar selama 1 tahun. 

Sedangkan, dalam kamp pembelajaran, Putri akan berbagi ilmu dan pengalaman tentang Science, Technology, Engineering, & Mathematics (STEM) kepada anak-anak pedalaman di daerah yang didakinya, terutama perempuan. 

Memilih Papua

Papua menjadi pilihan Putri saat mendaki puncak Gunung Carstensz. Ia melihat sendiri banyak anak Papua tidak bersekolah karena terbatasnya sarana dan pra sarana pendidikan.

Putri HandayaniBersama anak-anak Papua (Foto: locita.co/Jelajah Putri)

Demi Papua ia bahkan rela berhenti dari pekerjaannya yang sudah mapan di perusahaan asing. Mengutip locita.co, Putri mengaku memberikan perhatian pada pendidikan di Papua karena latar belakangnya yang dulu sulit. 

"Nggak tiba-tiba. Ini sudah berakar dari sejak saya kecil. Saya berasal dari desa dan sudah harus keluar dari rumah sejak kecil karena kondisi desanya, banyak orang yang ngebantuin gitu karena memang orangtua gak mampu membayar biaya sekolah. SMP saya tinggal bersama bibi dan SMA hingga kuliah dapat beasiswa," ujarnya mengutip locita.co.

"Saya mengambil contoh diri saya sendiri, kalau dulu saya tidak dibantuin mungkin saya tidak akan jadi seperti sekarang ini. Saya merasa kita butuh bukan hanya giving back, tapi pay forward," tambahnya. 


Berita terkait