Puing Tragedi Nduga: Pulanglah Nak, Bapak Rindu

Rikki Simanjuntak, pemuda asal Tobasa satu korban dalam peristiwa penembakan OPM di Papua, hingga kini belum ditemukan.
Edison Simanjuntak saat sedang berjualan di pasar tradisional Balige. (Foto: Tagar/Alex Siagian)

Balige - Senin 3 Desember 2018 negeri ini dilanda tragedi. Tepatnya di Papua, Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi, Nduga. Sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Egianus Kogoya menembaki para pekerja Istaka Karya di lokasi itu.

Istaka Karya adalah perusahaan yang mengerjakan proyek pembangunan jembatan Kali Yigi-Kali Aurak, bagian dari pengembangan Jalan Trans Papua.

Hingga kini peristiwa itu masih menyisakan luka mendalam di hati keluarga para korban, terlebih korban yang hingga kini belum diketahui keberadaannya.

Edison Simanjuntak (68), warga Balige, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara. Ayah dari Rikki Kardo Simanjuntak (26), salah seorang korban dalam peristiwa itu dan hingga kini belum ditemukan.

Tagar menemui Edison di pasar tradisional Balige, Senin 3 Juni 2019. Saban hari ia menghabiskan waktu di sana sebagai pedagang sembako.

Sebuah tenda bongkar pasang berukuran 2 x 2 meter menjadi tempatnya berjualan. Berada di salah satu sudut tak begitu jauh dari pintu masuk pasar. Jeruk nipis, gula, garam, telur, bumbu dapur, lengkuas, kacang dan kulit manis terlihat tersusun di bawah tenda ukuran minimalis.

Ada sedikit ruang kosong di tengah lapak. Dengan kursi plastik berwarna merah yang sudah buram, di sana dia duduk sembari menunggu para pembeli. Di sisi kiri kanan dan di hadapannya, barang dagangan disusun sesuai jenis. Beberapa bumbu dapur siap saji juga terlihat digantung.

"Biar agak ramai jualannya, jadi sebagian digantung," katanya, sesaat setelah Tagar memberi salam dan berkenalan.

"Yang mana? Berapa?" tanya menggunakan bahasa Batak ke seorang ibu paruh baya membeli minyak gorang curah. Pembicaraan kami berhenti sesaat.

"Belum ada kabar. Maret lalu pihak Istaka Karya menelepon kami. Katanya pencarian dilanjutkan sampai dua tahun ke depan," ujarnya disinggung soal kabar putranya.

Ia mengisahkan, tahun 2013 lalu Rikki pergi merantau ke Papua. Saat itu ibunya, Tiurlan boru Siahaan sedang sakit-sakitan. Mengidap kanker payudara. "Tapi belum terlalu parah saat itu," katanya, mencoba mengingat kondisi istrinya.

Beberapa tahun berikutnya, penyakit istrinya kian parah. Hampir setiap malam menjerit kesakitan. Upaya pengobatan terus dilakukan meski hasilnya tak seberapa. "Hampir setiap malam dia menjerit sakit di dadanya," katanya terlihat tegar.

Satu tahun dia di kampung menemani dan merawat ibunya yang sakit. Dia selalu menemani ibunya berobat

Tahun 2017 ia meminta anaknya pulang dari Papua, karena kondisi kesehatan istrinya kian memburuk. Rikki kembali ke Toba, meninggalkan pekerjaannya sebagai buruh proyek di Wamena.

Ia kemudian menghabiskan waktu merawat ibunya. Sedikit tabungan selama bekerja diambil untuk biaya pengobatan ibunya. Berbagai upaya dilakukan, utamanya pengobatan medis.

Edison masih ingat persis, tepat pada 5 Januari 2018 anaknya itu dihubungi PT Freeport. Perusahaan yang pernah dilamar sebelum pulang ke Tobasa.

Perusahaan eksplorasi tambang emas itu memanggil untuk bekerja di sana dan harus tiba di Papua pada tanggal 8, bulan itu juga. Waktu yang sangat mepet.

Di saat bersamaan, 8 Januari itu adalah jadwal operasi ibunya. "Sudahlah Amang (anakku), di sini sajalah kau. Lebih dari situ nanti dapatmu di sini," katanya mengulang permintaan istrinya kepada Rikki.

Ia urung pergi. Kesempatan bekerja di perusahaan raksasa dilewatkan, semata-mata demi menemani ibundanya yang tengah berjuang melawan kanker payudara.

Upaya memulihkan penyakit ibunya tak berhasil. Tuhan berkehendak lain, ibundanya kembali ke pangkuan Tuhan pada Februari 2018.

Situasi itu jelas menjadi pukulan memilukan bagi Edison dan lima anaknya. Rikki adalah anak ke empat. Perjuangan untuk memulihkan sang ibu berakhir, ia ingin merantau lagi. April 2018, pemuda gigih ini berangkat ke tanah Papua. 

"Satu tahun dia di kampung menemani dan merawat ibunya yang sakit. Dia selalu menemani ibunya berobat," kenangnya, yang juga memilih meneruskan usaha istrinya, berdagang sembako di pasar tradisional Balige.

"Saya melanjutkan usaha istri sekarang. Sudah 40 tahun jualan di sini. Sebelumnya saya sering kerja ke luar daerah," katanya.

Selama di tanah rantau, komunikasi ayah anak berjalan baik. Setidaknya sekali seminggu Rikki selalu menghubungi ayahnya lewat telepon seluler, sekadar bertanya kabar dan melepas rindu.

Jika beruntung mendapat sinyal yang cukup, dia selalu menggunakan kesempatan untuk video call. "Di sana (Papua) kan kadang sinyal masih susah," kata Edison.

Pada 3 Desember 2018, peristiwa berdarah itu terjadi. Keluarga di Tobasa sudah mendapat kabar. Esoknya diberitahu anaknya yang tinggal di kampung. Bagai disambar petir, Edison histeris.

Mereka mencoba mencari kabar, menemui siapa saja yang bisa dijadikan sumber informasi, layar televisi di rumahnya juga terus dipandangi, berharap ada kabar dari media massa yang saban hari menyiarkan peristiwa itu.

"Kami tanya siapa saja. Tapi semua informasinya simpang siur. Ada yang bilang masih hidup, ada yang bilang berhasil kabur. Tapi satu pun informasi itu tidak jelas," katanya mulai menunduk, sesekali handuk lehernya ia tarik untuk menghapus air matanya.

Jumat 30 Nevember 2018 adalah masa terakhir kali ia berbicara dengan putranya. Saat itu ia dipesankan agar jangan telalu lelah bekerja. Ia dijanjikan akan dikirim uang untuk memperbaiki ponselnya yang sedang rusak.

"Kebetulan waktu itu HP saya rusak," ujarnya. "Dia sempat bilang kalau besoknya jam 8 malam akan nelpon lagi. Tapi ternyata Sabtu itu dia sudah berangkat ke lokasi kerja. Jadi enggak dapat sinyal. Jumat itulah kami terakhir ngomong," tuturnya.

Bertanya ke 'Orang Pintar'

Tak mendapat kejelasan informasi, keluarga mencoba alternatif lain. Bertanya kepada 'orang pintar' dengan harapan ada petunjuk atau jawaban yang bisa dipercaya.

Beberapa ditanyai, toh jawaban itu juga simpang suir. Sebagian ada yang bilang masih hidup, namun ada juga yang mengatakan sudah tiada. 

"Kami pernah tanya orang pintar marga Hutajulu, katanya anak saya masih hidup. Soalnya dia tidak bisa menemani anak saya bicara melalui alam lain," tuturnya, tentang memakai jasa paranormal.

"Pernah juga kami tanya orang pintar, dia orang Karo. Katanya kalau masih hidup, dia tidak akan bisa bicara sama anak saya. Tapi kalau dia bisa menemani anak saya bicara berarti anak saya sudah mati. Tapi saat itu dia tidak bisa menemani anak saya bicara," ujarnya.

Pernyataan paranormal itu membuat dia sedikit lega. Sudah dua orang menyebut hal serupa. "Aku jadi yakin kalau dia masih hidup," katanya lagi.

Meski begitu tak jarang ia cemas kala bersua dengan mereka yang sering disebut dukun kampung itu. Pernah suatu waktu bertanya soal keberadaan anaknya kepada orang berbeda. 

Dia sangat sedih melihat orang pintar tersebut memeragakan sosok orang yang tangannya sedang diikat ke belakang, dan menyerah dengan mengangkat ke dua tangan ke atas sambil berlutut.

"Kasihan kali aku kalau yang diperagakan itu memang anakku, bayangkan dia minta-minta ampun sambil begini," katanya.

Pulang lah kau, Nak. Bapak udah rindu kali

Seperti menirukan, ia juga mengangkat tangannya ke atas sambil berjongkok di celah barang dagangannya. Ia kemudian menangis, sesengukan. Kerah bajunya kembali ia tarik mengusap air matanya yang kian deras.

Suatu kali pada pertengahan Maret lalu, ia tak ingat persis hari dan tanggalnya, seorang pria bermarga Simanjuntak, warga Kota Pematangsiantar yang juga bekerja di Papua pernah memberi kabar soal Rikki.

Simanjuntak ini mengaku teman anaknya di Papua. "Ada kabar baik, si Kardo (panggilan Rikki) selamat. Dia sekarang sudah naik kapal, sudah melaut," katanya, mengulang informasi karib anaknya itu.

Kabar ini langsung tersiar tidak hanya di tengah keluarga, para tetangga dan rekan sesama pedagang juga mendegar kabar itu. Ia disalami para pedagang.

Bahkan di rumah, keluarga dan tetangga juga sudah ramai. Ucapan selamat dan pelukan mengalir. Ia lega, senyum semringah dan tak henti-hentinya mengucap syukur saat itu.

Namun senyum dan tawanya hanya bertahan beberapa hari, sebab tak lama usai kedatangan kabar itu, gusar muncul karena tidak ada kelanjutan informasi bahagia itu. "Ternyata hanya kabar burung," katanya, berdiri dari duduknya.

Sudah tak tahu lagi harus berupaya seperti apa. Beberapa nomor telepon pihak kepolisian yang ada di Papua kini mulai enggan mengangkat teleponnya.

Jumat 15 Maret lalu, Presiden Jokowi bersama sang istri dan beberapa pejabat negara datang ke Balige. Saat itu sudah dipersiapkan spanduk berukuran 1 x 2 meter bertuliskan nasib anaknya.

Ia dan keluarga berharap bisa membentangkan spanduk itu di sela kunjungan Presiden. Harapannya agar Presiden mengetahui nasib anaknya dan kiranya bersedia membantu.

Tapi upaya itu urung dilakukan karena dihalau oleh seorang petugas pengamanan. "Akhirnya nggak jadi kami bentangkan," ujarnya.

Meski begitu, seorang pejabat lain menyambutnya, Menko Luhut Binsar Panjaitan berjanji akan membicarakan perkara itu kepada Presiden sekembalinya mereka ke Jakarta. Luhut bahkan meminta nomor kontak telepon.

"Tapi sampai sekarang enggak jelas juga, kami enggak pernah lagi ditelepon," katanya mengingat pembicaraannya dengan Luhut saat itu.

Sejurus ia terdiam. Kepalanya tertunduk. Sesekali jemari tangannya mengusap mata. Ia lalu menengadah, menarik nafas cukup panjang.

"Padahal semasa ibunya hidup, setiap bulan dia selalu kirim uang untuk pengobatan ibunya," Edison bicara sendiri. "Pulang lah kau, Nak. Bapak udah rindu kali," katanya lagi kembali tertunduk.

‘Sandera’ Baru OPM

Edison tak hanya kehilangan anak yang hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Situasi ini juga menjadikannya sebagai sandera baru oleh OPM yang ia yakini telah menyandera anaknya.

Lewat telepon genggam milik anaknya itu, OPM sering menghubunginya dan meminta pulsa. Ia menurut saja karena saran seorang anggota polisi.

"Katanya biar nomor HP anakku itu aktif. Jadi mereka bisa melacak posisi mereka," katanya. 

Tak hanya sekali, sejak Desember tahun lalu hingga Maret tahun ini, dia sering dimintai pulsa. "Ya kukirim. Memang enggak banyak-banyak, paling hanya 10 ribu," ujarnya sembari menggeser posisi duduknya.

Meski sering dihubungi melalui seluler milik anaknya, ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mendengar suara anaknya. Bahkan hanya sekadar ingin menanyakan kondisi, mereka tak pernah memberi tahu.

Terakhir, dia dihubungi pada Maret lalu, masih dengan alasan yang sama, meminta pulsa. Sejak itu sampai saat ini tidak pernah lagi.

Keluar dari Grup WhatsApp

Rikki Kardo Simanjuntak, alumni SMK Negeri 1 Balige. Dia lulus dari sana pada tahun 2011. Layaknya para alumni sekolah masa kini yang lekat berhubungan dengan jejaring komunikasi media sosial, Rikki juga tergabung di dalam grup WhatsApp bersama teman-teman seangkatannya di SMK Negeri 1 Balige.

Hal ini disampaikan karibnya, Maslan Tampubolon (26), warga Desa Tampubolon, Kecamatan Balige, Toba Samosir saat ditemui Tagar pada Senin pagi di salah satu warung kopi di Balige.

Maslan mengaku karib dekat Rikki sejak SMP hingga SMK. Mereka selalu teman satu bangku. Tak hanya berkarib di masa sekolah. Sepulangnya dari tanah rantau pada 2017 lalu, mereka sering bersama. Kadang Rikki yang menemui Maslan ke rumahnya, kadang juga sebaliknya. Dua karib ini juga sering menghabiskan malam bersama dengan temannya yang lain di bundaran Balige.

"Kami sangat dekat. Kadang kalau ibunya sudah selesai makan, dia datang ke rumah. Kadang aku yang datang ke rumah dia," ujarnya.

Namun ia memberi pengakuan yang cukup mengejutkan. Pada 1 April 2019 lalu, grup WhatsApp mereka dihebohkan dengan keluarnya Rikki dari grup. "Itu grup SMK kami," katanya.

Namun sejak peristiwa itu, mereka memang tidak bisa berkomunikasi. Entah siapa yang memegang telepon selulernya pada 1 April itu. Namun saat itulah dia keluar meninggalkan grup.

Maslan juga memberi kisah lain. Saat berangkat ke Papua pada April 2018 lalu, dirinya tidak diberi tahu. Temannya yang lain juga begitu. Mereka tidak mengetahui kepergiannya ke Papua.

Beberapa kali Maslan menyakan posisi, dia selalu menjawab bahwa sedang di Papua. Namun Maslan tidak percaya. Suatu waktu Maslan kembali menanyakan posisi karibnya itu melalui aplikasi Messenger, lagi-lagi dijawab sedang di Papua. Saat itu dia berpesan agar keberadaanya jangan diberitahu teman mereka yang lain.

"Unang sae paboa, dokkon ma na di huta au. Asa unang diboto au dison, boi do kan Katua?” (Jangan beritahu, bilang saja aku di kampung. Agar mereka tidak tahu aku di sini, bisakan ketua?). Begitu isi pesan terakhirnya pada 26 Juli 2018 lalu.

Kontras: Kita Kecewa dengan Aparat Penegak Hukum

Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) wilayah Sumatera Utara Amin Multazam yang dihubungi Tagar melalui telepon seluler pada Senin 3 Juni sore mengatakan, tidak mengikuti kasus ini secara detail. Karena yang terlibat dalam investigasi adalah KontraS di Papua bersama Amnesty International.

"Detailnya saya tidak tahu, karena memang teman-teman KontraS di Papua bersama Amnesti International yang melakukan investigasi untuk kasus itu," ujar Amin. 

Kita inginnya kan informasi itu satu pintu, pintu mana yang paling tepat pastinya ya aparat keamanan, polisi tentunya. Karena kalau keluarga tidak diberikan informasi yang jelas satu pintu oleh aparat polisi, maka bisa menjadi dugaan-dugaan, multi tafsir

Meski begitu, Amin mengaku kecewa terhadap aparat penegak hukum karena kasus itu terkesan dibiarkan. Menurutnya sudah kewajiban mereka memastikan rasa keadilan bagi keluarga korban. "Saya kira ini harus dibesarkan kembali informasinya," katanya.

"Ada korban yang hilang dan keluarganya enggak tahu di mana posisinya sampai saat ini, kan begitu. Tidak ada kejelasan. Makanya sekali lagi, selain ini tanggung jawab perusahaan yang mempekerjakan orang yang hilang tersebut, iya kan, ini juga tanggung jawab aparat keamanan negara, seperti polisi khususnya, memastikan kondisi korban. Apakah dia masih hidup, apakah dia sudah meninggal. Kalau memang meninggal, di mana posisinya," kata Amin.

Amin berujar, situasi ini melahirkan multi tafsir. Apakah korban masih hidup atau sudah meninggal, atau bahkan mungkin tergabung ke dalam anggota OPM.

Karena itu dia tidak ingin menduga-duga. "Kita inginnya kan informasi itu satu pintu, pintu mana yang paling tepat pastinya ya aparat keamanan, polisi tentunya. Karena kalau keluarga tidak diberikan informasi yang jelas satu pintu oleh aparat polisi, maka bisa menjadi dugaan-dugaan, multi tafsir," lanjut Amin.

Menurut Amin, KontraS ingin negara hadir sebagai pelindung dan pengayom bagi keluarga yang ditinggalkan. Sehingga apa yang diinginkan keluarga korban dapat dijawab negara.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.