Untuk Indonesia

Politik Menguat di Hari Jumat

Setelah pidato Ahok digoreng Buni Yani, isu penistaan agama diembuskan setiap Jumat. - Tulisan Eko Kuntadhi
Capres nomor urut 02 Prabowo tiba untuk mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Debat pertama yang diikuti pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan nomor urut 02 Prabowo dan Sandiaga Uno tersebut mengangkat tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Hari Jumat mungkin punya arti sendiri dalam perpolitikan kita. Hari dimana umat muslim menjalankan ritual ibadah mingguan, berkumpul bersama di masjid.

Ketika Pilkada Jakarta, saban hari Jumat dijadikan waktu untuk meneriakkan sentimen agama. Masjid dan mimbar Jumat dijadikan tempat efektif untuk kampanye politik. Apalagi saat itu, sasaran mereka adalah Ahok. Seorang politisi berdarah Tionghoa beragama Kristen.

Setelah pidato Ahok digoreng Buni Yani, isu penistaan agama diembuskan setiap Jumat. Saat itu jemaah yang berkumpul di masjid diposisikan sebagai kayu bakar yang akan disulut api.

Bagi Ahok dan pendukungnya setiap hari Jumat seperti ancaman. Sebab pada hari-hari itulah gerakan massa besar meneriakkan ancamannya. Sentimen agama diaduk-aduk.

Puncaknya adalah Jumat, 2 Desember 2015 yang dikenal dengan gerakan 212. Jemaah dikumpulkan di Monas. Digelar salat Jumat bernuansa politik. Bahkan besaran jumlah massa diperkirakan bisa diarahkan ke Istana untuk menggoyang Presiden.

Untung saja Presiden sigap. Ia datangi kumpulan massa. Ikut salat bersama. Jumat itu massa tidak jadi beringas. Mereka pulang dengan tertib ke rumahnya setelah merasa puas telah membela agamanya. Padahal, hanya membela kepentingan politik belaka.

Orang-orang yang dulu hobi memanfaatkan hari Jumat untuk menjajakan politik agama, kini sebagian berkumpul di belakang Prabowo-Sandi. Para ulama versi mereka menggelar Ijtima, yang merekomendasikan Prabowo sebagai Capres.

Tapi rupanya, logika Jumat sebagai hari spesial, kini malah menghantui Prabowo. Capres hasil Ijtima Ulama ini memang seperti resah saban menghadapi hari Jumat. Hari dimana umat muslim yang lelaki harus beribadah ke masjid. Masalahnya memang, Prabowo bukan dikenal sebagai tokoh yang taat beribadah.

Sebagai Capres hasil Ijtima Ulama, tidak melaksanakan salat Jumat, merupakan pertanyaan besar bagi Prabowo. Seolah slogan agama yang digembar-gemborkan, jadinya garing. Justru ketika nilai keagamaan Capresnya dipertanyakan publik.

Makanya setiap Jumat, muncul tagar yang bisa bikin Prabowo sakit gigi #PrabowoSholatJumatDimana. Sebab dia sadar, sebagian pendukungnya di grass root dilenakan dengan politisasi agama. Kalau ia diketahui publik tidak melaksanakan salat Jumat, isu apalagi yang mau dijual?

Inilah lambang politisasi agama. Hari Jumat sebagai hari ibadah umat Islam ini seolah menjadi hari yang sangat politis.

Dulu hari Jumat digunakan untuk menyerang Ahok. Pelakunya adalah pendukung Prabowo sekarang. Kini hari Jumat membuat Prabowo deg-degan.

Seandainya bisa memilih, mungkin Prabowo berharap habis Kamis langsung ke Sabtu. Ia pusing dengan tagar itu. Bikin jantungnya sesak.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Menkeu AS dan Deputi PM Kanada Bahas Inflasi dan Efek Perang di Ukraina
Yellen bertemu dengan Freeland dan janjikan kerja sama berbagai hal mulai dari sanksi terhadap Rusia hingga peningkatan produksi energi