Peringatan Hari Mengenang Korban Perbudakan dan Perdagangan Budak

Guterres mengakui bahwa “warisan perdagangan budak Trans-Atlantik ini menghantui hingga hari ini”
Ilustrasi (Sumber: nationaltoday.com)

TAGAR.id, Markas PBB, New York, AS – Majelis Umum PBB menandai hari Senin 27 Maret 2023, sebagai Hari Peringatan Internasional Bagi Korban Perbudakan dan Perdagangan Budak Trans-Atlantik, dengan menyoroti pentingnya pendidikan.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengatakan, “Perbudakan Trans-Atlantik pernah berlangsung selama lebih dari 400 tahun. Ini merupakan migrasi paksa yang disetujui secara hukum, yang terbesar dalam sejarah manusia.”

Ditambahkan oleh Guterres, “Ada jutaan anak-anak, perempuan dan laki-laki Afrika yang diculik dan diperdagangkan melintasi Atlantik, dicerabut dari keluarga dan Tanah Air mereka. Komunitas mereka dicabik-cabik, tubuh mereka dikomodifikasi, dan kemanusiaan mereka tidak diakui.”

Sekjen PBB Antonio GuterresSekjen PBB, Antonio Guterres, berikan pernyataan di samping Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen (tidak tampak dalam gambar), sebelum pertemuan mereka di markas Komisi Eropa di Brussels, Rabu, 23 Juni 2021 (Foto: voaindonesia.com/AP)

Guterres mengakui bahwa “warisan perdagangan budak Trans-Atlantik ini menghantui hingga hari ini.”

Guterres mengatakan ada haris lurus antara era eksploitasi kolonial ke ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hari ini. Bekas luka perbudakan masih terlihat dalam kesenjangan kekayaan, pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesempatan. Dan kita dapat mengenali kiasan rasis yang dipopulerkan untuk merasionalkan ketidakmanusiawian perdagangan budak itu dalam kebencian supremasi kulit putih yang kembali bangkit saat ini.”

Sementara itu Presiden Majelis Umum PBB, Csaba Kőrösi, saat membuka acara mengatakan peringatan itu adalah untuk mengenang para korban salah satu kejahatan paling mengerikan dalam sejarah manusia.

“Kejahatan yang dilakukan lebih dari 400 tahun lalu itu mengakibatkan deportasi paksa lebih dari 15 juta anak-anak, perempuan dan laki-laki,” ujarnya.

Menurutnya “hanya dengan pendidikan, kita dapat menyudahi revisionism dengan fakta tak terbantahkan. Melalui pendidikan, kita dapat meningkatkan kesadaran akan bahaya kesalahpahaman tentang supremasi, baik dulu maupun sekarang. Melalui pendidikan, kita memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang akan kembali mengalami neraka sebagaimana yang dialami 15 juta orang dulu.”

Sementara feminis Brasil, Djamila Taís Ribeiro, menyoroti perlunya membuat kebijakan publik dan pendidikan. “Pendidikan memainkan peran utama dalam menciptakan peluang dan memperluas pandangan dunia kita,” tandasnya.

Majelis Umum PBB itu juga mendengar pernyataan Taylor Cassidi, yang mengatakan “pernah mencari di buku sejarah sekolah tentang sejarah yang dibicarakan ibu dan neneknya. Ia hanya menemukan satu halaman tentang perbudakan di Amerika. Satu halaman untuk menggambarkan 400 tahun trauma, penderitaan dan korban-korban tanpa nama yang seakan-akan hanya sekadar catatan kaki singkat tentang sejarah negara saya dan dunia.” (em/jm)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Tidak Cukup Hanya dengan Permohonan Maaf Atas Perbudakan Belanda
Namun, keturunan korban merasa tidak diajak berkonsultasi, dan justru memperingatkan bahwa itu tidak cukup