Perajin Ukir Muda Semakin Langka di Jepara

Perajin Ukir Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan, Leo Ramli (53) yang sudah menggeluti ukir sejak puluhan tahun mengaku kesulitan untuk mencari penerusnya. Bahkan, anaknya sendiri, lebih memilih menekuni bidang lain dibandingkan kerajinan ukir.
Seorang pekerja ukir tengah menyelesaikan pembuatan Patung Dewa (Alf)

Jepara (Tagar 23/4/2018) - Seni ukir yang selama puluhan tahun menghidupi masyarakat Jepara seperti berada diujung takdirnya. Sebab para pewaris budaya kota ini, tidak banyak yang berminat meneruskan seni kerajianan ukir. Akibatnya, kini mulai dikeluhkan semakin langkanya perajin ukir usia muda.

Hal ini disampaikan Ketua Lembaga Pelestari Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara, Hadi Priyanto, dalam Focus Group Discussion, bertema Merawat Deni Ukir Jepara, Senin (23/4) di Gedung Ratu Shima Jepara. "Kondisi ini, cukup menimbulkan kecemasan akan masa depan seni ukir Jepara," tuturnya.

Kekhawatiran ini, telah muncul tahun 1995 saat SMIK Negeri Jepara yang memiliki jurusan kerajinan kayu, logam tekstil dan keramik berubah menjadi SMK Negeri 2 Jepara. Tahun 2014, sekolah tersebut membuka jurusan seni ukir. Namun gagal, tidak mendapatkan ijin Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) RI. “Saat ini, siswa terpaksa kembali ke program studi desain dan produksi kriya kayu," imbuhnya.

Dikatakan Hadi, pelestarian alamiah lewat keluarga perajin, serta tradisi nyantrik (belajar) di brak-brak kecil, juga sudah miskin peminat. "Alasannya, seni ukir tidak memberikan jaminan masa depan yang layak kepada mereka," kata Hadi.

Alat Ukir Dijual
Hadi melanjutkan, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, diantaranya pelestarian melalui pendidikan formal dan non formal. Perlu adanya usaha yang serius dari pemerintah untuk menghadirkan jurusan kriya ukir di SMK.

“Ini selaras dengan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 9 Tahun 2016, tentang Revitalisasi SMK yang mengarahkan SMK memperhatikan potensi lokal strategis di daerah,” kata dia.

Selain itu, upah yang layak bagi perajin sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) juga harus diperhatikan. Kemudian meyakini dan menjadikan seni ukir sebagai warisan budaya dunia. Berikutnya, memberdayakan para perajin kecil yang ada di daerah pedesaan. Termasuk menambah kemampuan ketrampilan, akses modal, agar mampu menghasilkan produk berdaya saing, serta membangun kelas industri.  

Perajin Ukir Desa Tegalsambi Kecamatan Tahunan, Leo Ramli (53) yang sudah menggeluti ukir sejak puluhan tahun mengaku kesulitan untuk mencari penerusnya. Bahkan, anaknya sendiri, lebih memilih menekuni bidang lain dibandingkan kerajinan ukir. 

Sementara masyarakat mulai beralih bekerja di industri garmen karena upahnya lebih menggiurkan. "Karena penghasilan dari garmen lebih banyak, mereka rela menjual peralatan ukirnya" kata dia. (alf)

Berita terkait