Penolak Islam Nusantara Dinilai Hobi Mendiskredit Dibanding Apresiasi

Penolak Islam Nusantara dinilai hobi mendiskredit kelompok tertentu daripada memberikan apresiasi terhadap upaya membangun citra baik Islam.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menyampaikan pidato sebelum penandatanganan kerja sama antara NU dan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di PBNU. (Foto: Ant/M Agung Rajasa)

Jakarta, (Tagar 3/8/2018) -  Said Aqil Siradj merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2020. Di kalangan Nahdlatul Ulama, Said bukanlah orang baru.

Ayahnya, Aqil Siroj Kempek adalah seorang kiai di Cirebon dan termasuk dalam jejaring ulama di Karesidenan Cirebon, seperti Benda Kerep, Buntet, Gedongan dan Babakan.

Pria kelahiran 3 Juli 1953 ini resmi meraih gelar Sarjana hingga Doktor di Universitas King Azis dan Ummul Qurro ternyata pernah nyantri di pesantren Lirboyo Kediri dan Krapyak Jogjakarta.

Said pun pernah belajar pada masternya ulama Aswaja dunia yakni kepada Maha Guru Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki.

Suami dari Nurhayati yang menikah pada tanggal 13 Juli 1997 itu pernah tinggal di Arab selama 13 tahun, bahkan beberapa anaknya lahir di tanah yang menjadi tonggak sejarah lahirnya Islam (Makkah Al-Mukarramah).

Sejak kecil, Said hobi membaca buku bahkan sejak saat itu pula Said sudah terlihat bibit kecerdasannya. Hasilnya ia dijuluki sebagai kamus berjalan oleh teman-temannya.

Said Aqil SirojKetua PBNU Said Aqil Siroj. (Foto: Tagar/Nuranisa Hamdan Ningsih)


Seperti dilansir dari katadata, Ketua Umum PBNU petahana ini tidak sependapat. Bahkan bersikap tegas, tidak akan sepaham  terhadap suatu gerakan yang dipelopori oleh tokoh mainstream. Pasalnya, gerakan tersebut dengan segala cara menggunakan media dakwah Islam untuk mengklaim gerakannya paling benar, paling suci dan paling bertauhid. Maka dari itu Said memunculkan istilah Islam Nusantara.

Yang teranyar, dalam pembukaan acara istigasah menyambut Ramadhan dan pembukaan munas alim ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (14/6), Said mengatakan NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara.

Apakah Itu Islam Nusantara?

Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam Distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.

“Ortodoksi Islam Nusantara menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran, Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam menjadi harapan renaisans peradaban Islam global,” ujarnya.

Pria asal Pariaman Sumatera Barat itu menyebut, di daerahnya Islam Nusantara itu adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

“Adat adalah lokal genius. Islam datang dan menyebar melalui proses penerjemahan konsep Islam ke bahasa lokal dan pribumisasi,” jelas dia.

Azyumardi menjadi salah satu tokoh menyokong Islam Nusantara. Dia menilai model Islam Nusantara dibutuhkan masyarakat dunia saat ini karena ciri khasnya mengedepankan ‘jalan tengah’.

Kubu Menolak Islam Nusantara

Pemunculan istilah Islam Nusantara yang diklaim sebagai ciri khas Islam di Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan bertolak belakang dengan 'Islam Arab' telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan penganut Islam di Indonesia.

Setelah sempat menuai polemik beberapa tahun lalu, istilah Islam Nusantara
belakangan ini kembali menjadi polemik dan perdebatan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat (Sumbar) secara terang-terangan menolak konsep Islam Nusantara.

“Kami MUI Sumbar dan MUI Kab/Kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa ‘Islam Nusantara’ dalam konsep/pengertian definisi apa pun tidak dibutuhkan di ranah Minang. Bagi kami, nama ‘Islam’ telah sempurna dan tidak perlu lagi ditambah dengan embel-embel apa pun,” demikian kesimpulan MUI Sumbar sebagaimana dokumen unggahan akun Facebook Ketua Umum MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar, senin (23/8).

Meski sempat mendapat penolakan MUI Sumbar, konsep Islam Nusantara kini mendapat dukungan dari MUI pusat. Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin menegaskan organisasinya "tidak boleh" digunakan buat "mencela salah satu aliran", ujarnya seperti dilansir dw.com.

"MUI itu semua, Islam Nusantara, Islam berkemajuan semua kita tampung. MUI kan sebagai perekat, representasi umat. Islam Nusantara, Islam itu semua bagian MUI kecuali menyimpang," tegas Ma’ruf Amin.

Selain itu, Aliansi Umat Islam (AUI) Jambi sesumbar tolak Islam Nusantara dan mendukung pernyataan MUI Sumbar tersebut.

Hal itu diketahui dari sebuah pamflet yang beredar di media sosial yang bertajuk “Aliansi Umat Islam Jambi Menolak Konsep Islam Nusantara”, dimana AUI terdiri dari beberapa organisasi, yaitu FPI, KAHMI, FS LDK, HMI, IPI, KAMMI, IMM, dan YLKI.

Dalam pamflet tersebut, dinyatakan beberapa poin yang berisi dukungan kepada MUI Sumbar dan di poin terakhir.

“Islam itu cakupannya lebih luas bukan hanya di nusantara. Jadi dengan adanya penyebutan islam nusantara mengecilkan Islam itu sendiri, seolah-olah Islam itu hanya ada di nusantara,” ujarnya.

Bahkan beberapa ulama NU sendiri. Ustaz Felix Siauw hingga Imam Besar FPI Rizieq Shihab juga sama-sama ada dalam kubu yang menolak istilah Islam Nusantara.

Masjid MakassarUmat muslim melintas di dalam Masjid Raya Makassar usai melaksanakan Salat Asar di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (24/5/2018).  (Foto: Antara/ Yusran Uccang)

Dinilai Hobi Mendiskreditkan

Namun, mengapa hanya Islam Nusantara yang diserang? Bukankah ada istilah yang lain, seperti Islam Terpadu dan Islam Berkemajuan.

Dosen Pascasarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta Zastrouw Al-Ngatawi turut bersuara.

Menurutnya, penolakan terhadap Islam Nusantara hanya lebih menunjukkan rasa sentimen dan upaya mendiskreditkan kelompok tertentu daripada memberikan apresiasi terhadap upaya membangun citra baik Islam yang dilakukan oleh para penggagas Islam Nusantara.

“Hal itu terlihat jelas dalam pernyataan tersebut yang hanya memberikan respons dan pandangan negatif pada Islam Nusantara,” ujar Zastrouw dilansir dari NU Online, Jumat (27/7).

Padahal, kata Zastrouw, ijtihad untuk memberikan istilah yang lebih spesifik terhadap universalitas ajaran Islam juga muncul di berbagai kelompok.

“Seperti tercermin dalam istilah Islam Berkemajuan, Islam Terpadu, Islam Transformatif, Islam Kaffah, dan sebagainya,” jelas doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu.

Sikap penolak Islam Nusantara, tegasnya, lebih bukan mencerminkan sikap organisasi ulama yang seharusnya mengedepankan kearifan dan sikap tabayun dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan dalam menanggapi dan menyikapi suatu persoalan.

“Dalam hal Islam Nusantara, MUI Sumbar lebih terlihat seperti organisasi politik,” tegas Zastrouw.

Dengan sikapnya yang demikian, sambungnya, alih-alih bisa membuat kesejukan dan membangkitkan spirit persaudaraan antarumat, yang terjadi justru bisa memancing perpecahan dan sentimen antarumat. [o]


Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu