PBB: Duterte Lakukan Pelanggaran HAM di Mindanao

PBB menyebut, Presiden Duterte lakukan pelanggaran hak asasi meluas di wilayah Mindanao sejak perpanjangan darurat militer ditetapkan.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Foto: Ist)

Jenewa, (Tagar 29/12/2017) - Sekelompok masyarakat adat Muslim di Pulau Mindanao, Filipina, mengalami pelanggaran hak asasi meluas dan akan semakin bertambah dengan perpanjangan darurat militer, yang ditetapkan Presiden Rodrigo Duterte, kata pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Duterte menyebut pulau itu "titik masalah" dan kekejaman oleh pemberontak garis keras dan komunis.

Pembuat undang-undang pada bulan ini sangat mendukung rencana perpanjangan darurat militer di wilayah itu hingga 2018, yang akan menjadi masa darurat militer terpanjang di negara itu sejak 1970-an, pada masa Ferdinand Marcos.

Militerisasi memaksa ribuan warga Lumad mengungsi dan beberapa di antaranya tewas, kata Victoria Tauli-Corpuz dan Cecilia Jimenez-Damary, pelapor khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang hak masyarakat adat dan orang terlantar.

"Mereka mengalami pelanggaran hak asasi berat, beberapa di antaranya berpotensi tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula," kata dua pelapor itu dalam pernyataan pada Rabu.

"Kami khawatir situasinya bisa bertambah buruk jika masa perpanjangan darurat militer diterapkan sampai akhir 2018, hal tersebut bahkan dapat menghasilkan tindakan militerisasi yang lebih besar," tambahnya.

Berdasarkan atas hukum internasional, Filipina diwajibkan untuk melindungi masyarakat adat dan memastikan penghentian tindak pelanggaran hak asasi manusia dan mengadili para pelakunya.

"Pelanggaran tersebut mencakup perkara pembunuhan dan serangan yang dituduhkan telah dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata," kata mereka.

Pemerintah khawatir bahwa Mindanao, pulau dengan keadaan alam berupa pegunungan dan berhutan serta memiliki wilayah seukuran Korea Selatan yang merupakan rumah bagi masyarakat Lumad, dapat menarik masuk pemberontak asing.

Pakar PBB mengatakan bahwa mereka memiliki informasi yang dapat menunjukkan bahwa 2.500 warga Lumad terpaksa meninggalkan rumah mereka sejak Oktober, dan sejumlah petani Lumad tewas oleh pasukan militer pada 3 Desember lalu, di Barangay Ned, Provinsi Cotabao Selatan.

"Kami khawatir beberapa serangan ini dilakukan atas kecurigaan tak berdasar bahwa warga Lumad terlibat dengan kelompok pemberontak atau dalam pandangan atas perlawanan mereka terhadap kegiatan penambangan pada tanah leluhur mereka," kata para pelapor itu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Juru bicara Duterte mengatakan bahwa perpanjangan darurat militer di wilayah itu dibutuhkan untuk memadamkan sisa terorisme yang telah membuat kehancuran hingga ke Marawi dan wilayah di daerah tetangganya.

"Dasar hukum dan faktanya telah ditetapkan dengan jelas berdasarkan penilaian keamanan oleh komandan kami," tambah Harry Roque dalam pernyataan.

Sejak Duterte berkuasa pada Juni tahun lalu, Filipina juga mendapat kritik internasional atas tewasnya 3.900 orang dalam operasi anti-narkotika, yang dilancarkan polisi. Kepolisian menyangkal tuduhan pegiat hak asasi manusia bahwa banyak dari mereka tewas akibat dibunuh petugas.(ant/wwn)

Berita terkait