Menelusur Petak Sembilan, Pecinan Tua Eks Tempat Perjudian Jakarta

Hiruk pikuk kawasan Ibu Kota sambut Imlek 2019.
Suasana jelang masuk pasar Petak Sembilan, Jakarta Barat pada Minggu (3/2/2019). (Foto: Tagar/Eno Suratno Wongsodimedjo)

Jakarta, (Tagar 4/2/2019) - Menyambangi kawasan Petak Sembilan jelang perayaan Imlek 2019 atau Tahun Baru China 2570 tentu akan menemukan suasana yang berbeda dari hari-hari biasanya.

Ornamen juga hiasan dengan dominasi warna merah dan emas, terpampang di setiap sudut sempit Gang Pancoran, Jalan kemenangan Raya, Glodog, Tamansari, Jakarta Barat. Sebuah jalan memanjang antara Jalan Raya Pancoran sampai dengan Jalan Keadilan 9.

Ruko-ruko yang menjajakan lampion, hio, dupa, jinzhi (uang arwah), baju Imlek Cheongsam (pria) dan Changshan (wanita) berbagai ukuran, lilin, dupa, kue keranjang sampai dengan amplop angpau, berjejer sampai jelang keluar gang.

Asal-usul sebutan Petak Sembilan sendiri masih simpang siur. Baik dari warga asli dan pendatang, mengaku tidak mengetahui asal-usul sembutan kawasan yang merupakan pasar tradisional itu.

"Iya, ini sebetulnya pasar biasa aja. Ya sembako, beras, minyak, sayuran. Itu mah yang jual segala rupa itu, cuma setahun sekali," cerita Bule (29), seorang pedagang pernak pernik hiasan khas Imlek, kepada Tagar News, Minggu (3/2).

Bule tinggal di daerah Cengkareng, sehari-sehari berjualan sayur-mayur di pasar Petak Sembilan. Profesi itu sudah dilakoninya selama hampir 5 tahun, berganti sesaat tiap tahunnya saat menjelang perayaan Imlek tiba.

"Sekarang mah sepi, biasanya sore begini mah, udah penuh ini jalanan sama orang," imbuh Bule.

Sambil mengangkat gelas kopi hitam miliknya, Bule kembali bercerita tentang kebiasaan perubahan profesi yang ia lakukan setiap tahun.

Dia juga menjelaskan tentang kebiasaan warga sekitar pasar saat jelang Imlek. Kemudian mengeluhkan kembali soal sepinya pembeli yang datang tahun ini.

"Sebenernya Imlek itu kan kaya Lebaran nya orang kita (Muslim) lah. Coba deh kalo lebaran kaya gimana. Seminggu sebelum lebaran kan udah rame, belanja ini itu. Tiap tahun saya dagang, dibanding taun sebelumnya mah sepi banget tahun ini," terang Bule.

Sementara di sebuah titik di ujung jalan, duduk seorang Ibu yang tampak berkali-kali menawarkan jasa penukaran uang. Beberapa gepok uang kertas baru dengan berbagai nominal, digenggam dan diacung-acungkan kepada setiap  pengunjung pasar yang lewat.

Petak SembilanJelang Imlek, seorang ibu paruh baya menjajakan jasa penukaran uang di pasar Petak Sembilan, Jakarta Barat pada Minggu (3/2/2019). (Foto: Tagar/Eno Suratno Wongsodimedjo)

Sepasang pelanggan kemudian datang dan menegosiasikan bayaran jasa. Penukaran uang ke nominal yang lebih kecil, mereka lakukan demi keperluan mengisi angpau. Ibu berambut sebahu itu melayani dengan sigap, sembari sesekali melemparkan lelucon dan tertawa.

Berusia 49 tahun, ibu itu bukan berasal dari daerah sekitaran pasar. Ia mengaku baru tiba hari itu. Biasanya, ia dan teman-teman seprofesi menjajakan jasa penukaran uang di kawasan Teminal Pulo Gebang, Jakarta Timur.

"Kalo aku sih baru pindah pagi tadi. Yang lain-lain itu, udah seminggu di sini, hari-hari kita di Pulo Gebang. Terminal Pulo Gebang. Cuma karena disini daerah China jadi ke sini semua," jelas si ibu yang tak ingin namanya disebut.

Baca juga: Kombinasi K-Pop dan Atraksi 15 Barongsai Pukau Wisatawan Malioboro

Perempuan berlogat Batak itu mengaku mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan, sejak berpindah hari itu. Meski demikian, ia tak mau menyebut presentase kenaikan ataupun jumlah rata-rata uang yang ditukar oleh tiap pelanggan.

Ia juga mengaku tidak mematok selisih harga khusus, sebagai pembayaran jasa penukaran uang yang ia lakoni di tempat itu.

"Kita kasih selisih (harga jasa) gak tentu. Tapi ya lebih banyak lah (konsumen). Ya hampir semua (orang) China nuker. Tiap orang gak tentu lah. Ada juga yang tukar cuma Rp 50 ribu juga ada," kata si ibu.


Petak SembilanLapak milik Bule (29) di antara banyaknya pedagang yang menjajakan pernak-pernik serta kebutuhan Imlek 2019 atau Tahun Baru China 2570 di Petak Sembilan, Jakarta Barat pada Minggu (3/2/2019). Bule pedagang sayur yang menjelma menjadi pedagang musiman perlengkapan Imlek. (Foto: Tagar/Eno Suratno Wongsodimedjo)

Melangkah ke tengah gang, toko dan lapak kebutuhan Imlek 2019 serta perlengkapan sembahyang bagi kaum Budha makin ramai ditemui. Setelahnya ditemui ruko dan lapak penjual kebutuhan rumah tangga.

Lewat dari tengah gang, seorang bapak tengah sibuk merapihkan barang dagangan di ruko milik keluarganya. Namanya Maryadi Wibowo. Pria gempal itu mengaku tinggal di kawasan Petak Sembilan sejak lahir. 

Menghabiskan masa kecil di wilayah yang dulu kerap menjadi sarang perjudian menjadikan ayah dua orang anak itu memiliki banyak kenangan kelam di Petak Sembilan. Menurut pria etnis Tionghoa berusia 67 tahun itu, Petak Sembilan sudah menjadi kawasan Pecinan sejak dahulu.

"Dari kecil sudah tinggal di sini. Terus terang sih kalo kita bilang, di sini tuh daerah judi ya. Dulu di sini daerah judi. Di mana-mana banyak tempat maen (perjudian)," kenang Maryadi.

"Dari waktu kecil ya memang rame disini (dengan orang etnis Tionghoa). Istilahnya dulu waktu saya kecil mah, kita dipanggil "ncek-ncek" lah ya," sambung Maryadi.

Petak SembilanMaryadi Wibowo, warga Petak Sembilan keturunan Tionghoa yang tak lagi merayakan Imlek ketika ditemui Tagar News pada Minggu (3/2/2019).(Foto: Tagar/Eno Suratno Wongsodimedjo)

Maryadi merupakan generasi ketiga dari keluarga besarnya yang berasal dari Tiongkok. Buyut Maryadi tiba di perairan Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Meski begitu, Maryadi sama sekali tidak mengetahui dari provinsi mana leluhurnya berasal.

Kelamnya pergaulan yang dialami Maryadi Wibowo di Petak Sembilan membuatnya tak lagi dekat dengan ajaran-ajaran dan ritual agama Budha yang dianutnya.

Maryadi mengaku sudah jarang melalukan sembahyang. Istri dan anak yang memutuskan untuk menganut agama Kristen, juga membuat Maryadi dan keluarga tidak lagi memyambut atau merayakan Imlek.

"Memang tidak merayakan. Istri saya, anak saya kan masuk gereja, saya kan Budha. Gitu. Kayanya, kurang gitu. Saya juga kalo kasarnya, sembahyang juga jarang lah. Paling juga sekali-sekali," tutur Maryadi.

Beberapa ratus meter dari ujung jalan menuju Jalan Keadilan IX, berdiri sebuah Vihara, tempat bagi umat Budha bersembahyang dan menguntai doa. Vihara Jin De Yuan, atau Vihara Dharma Bakti namanya. Sebuah rumah ibadah yang sudah berdiri sejak pertengahan tahun 1600-an.

Kelenteng itu memiliki empat pintu masuk besar. Di sudut dekat pintu masuk utama Vihara, terdapat sebuah ruang khusus yang diberi nama Ruang Kwan Im. Konon ruangan tersebut merupakan satu-satunya ruangan yang selamat, saat kebakaran melanda di kelenteng itu tahun 2015 lalu.

Di ruang Kwan Im, orang biasa berdoa dan melakukan ritual Ciam Si. Sebuah metode membaca peruntungan dan meminta nasib, menggunakan batang-batang bambu yang dikocok dalam sebuah tabung, yang juga terbuat dari bambu.

Menuju sisi utara dari ruang meditasi Kwan Im, megah berdiri ruang utama dari Vihara tersebut. Dominasi warna merah emas, lengkung atap dan ornamen naga membentuk kesan kokoh pada bangunan utama tersebut.

Menurut sejarah, Kelenteng Dharma Bakti didirikan pada tahun 1650 dengan nama Kwan Im Teng. Kelenteng ini menjadi salah satu kelenteng tertua di Jakarta, selain Kelenteng Ancol.

Kwan Im Teng, yang berarti Paviliun Kwan Im, sulit dilafazkan oleh masyarakat pribumi pada waktu itu. Sebutan Kwan Im Teng diserap kedalam bahasa lokal menjadi Klenteng. Bahasa Indonesia kemudian menyerapnya sebagai Kelenteng, sebutan untuk Vihara, tempat beribadah umat Budha di Indonesia.

Baca juga: Jelang Imlek 2019, Vihara Tujuh Sumur Ajaib di Depok Bersolek

Berita terkait
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.