Mbah Sayem, Sepuluh Ribu Tahun Lalu di Pacitan

Mbah Sayem, sepuluh ribu tahun lalu di Pacitan. Sejak kuburan lelaki ini ditemukan, Goa Song Terus di Kabupaten Pacitan ditetapkan sebagai situs prasejarah.
GOA SONG TERUS, SAKSI SEJARAH MANUSIA PURBA: Goa Song Terus di Desa Wareng, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur menjadi perhatian para arkeolog. Benda-benda temuan dari goa ini membuktikan adanya sejarah ”kerajaan” manusia purba di Jawa ratusan ribu tahun silam. (Foto: Ist)

Pacitan, (Tagar 6/12/2017) – "Mbah Sayem" dan fosil-fosil tengkorak lain yang ditemukan di gua-gua Pacitan memiliki hubungan yang erat dengan manusia prasejarah awal yang tiba di Pulau Jawa pada 1,6 juta tahun lalu.

Lelaki hampir separuh baya itu, sama seperti hari-hari yang lalu, berburu binatang ke hutan di sekitar "rumahnya" dengan senjata terbuat dari batu dan tulang.

Hari itu, mungkin hari keberuntungan bagi lelaki tersebut. Dia pulang membawa beberapa ekor monyet.

Setiba di "rumahnya", lelaki itu mungkin menyiapkan alat pembakaran yang masih sangat sederhana.

Melengkapi menu makan hari itu, barangkali dia menyiangi beberapa lembar daun pakis. Monyet-monyet buruan hari itu diputuskannya untuk disantap pada lain waktu karena mungkin masih ada sepotong daging sapi untuk makan hari itu.

Lelaki tersebut meletakkan potongan daging sapi di atas pembakaran. Tragis, belum sempat makanan terhidang, mungkin bencana keburu menimpa lelaki itu.

Dengan alat batu dan tulang yang masih tergenggam di tangannya serta daun-daun pakis dan potongan daging sapi terbakar di atasnya, lelaki tersebut mungkin jatuh dengan posisi meringkuk. Monyet-monyet buruan berada di dekatnya.

Saat itu, lelaki malang tersebut mungkin terpisah dari kelompoknya hingga ajal menjemput dan dia pun terkubur di tepian dinding "rumahnya" yang berupa sebuah gua.

Penggalian Arkeologi

Kira-kira 10.000 tahun kemudian kuburan lelaki itu ditemukan, tepatnya pada 1994 melalui penggalian arkeologi oleh tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Arkeologi Nasional (Arkenas) bekerja sama dengan Museum Sejarah Alam Nasional Perancis (Museum National d'histoire Naturelle) di goa yang dinamakan Goa Song Terus. Dalam Bahasa Jawa "song" berarti gua.

Sejak penemuan tersebut, Goa Song Terus yang terletak di Dusun Weru, Desa Wareng, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur ditetapkan sebagai Situs Prasejarah oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga Kabupaten Pacitan.

Tim yang dipimpin oleh Truman Simanjuntak (Puslitbang Arkenas) dan Francois Semah (Museum Prancis) itu menggali tanah di pintu masuk gua dengan dua lubang uji yang digali hingga kedalaman 16 meter.

Kegiatan arkeologi tersebut melanjutkan penggalian pertama pada 1950-an yang dilakukan oleh Profesor RP Soejono dan Profesor HR van Heekeren.

Kerangka lelaki itu telah memfosil, menyatu dengan sedimen di sekelilingnya yang berupa material berukuran pasir kasar hingga halus.

Kondisi gua yang tertutup dan terlindung dari proses-proses alam yang destruktif serta sedimen yang bertekstur relatif halus menjadikan tulang belulang dan peralatan hidup milik lelaki tersebut terawetkan dengan baik.

Kerangka manusia prasejarah tersebut hampir lengkap, yakni dengan alat batu dan alat tulang tergenggam di kedua tangannya. Posisinya meringkuk sambil menghisap salah satu jempol tangannya.

Dikira Perempuan

Warga setempat menyebut kerangka lelaki itu sebagai "Mbah Sayem". Awalnya warga mengira fosil itu kerangka dari seorang perempuan, sehingga kemudian diberi nama "Mbah Sayem".

Setelah diselidiki, kata Juru Pelihara Situs Goa Song Terus, Suroto, ternyata tulang-tulang itu adalah laki-laki yang kira-kira berusia 40-50 tahun.

Penelitian lebih lanjut di laboratorium arkeologi menyimpulkan bahwa "Mbah Sayem" adalah manusia prasejarah berjenis kelamin laki-laki dengan kapasitas otak tengkorak 900-1.100 cc, beralis mata tebal, dan dahi yang menonjol.

Dengan ciri-ciri tersebut "Mbah Sayem" berasal dari ras Australomelanesoid yang hidup pada Kala Pleistosen, yakni sekitar 2,5 juta-11.700 tahun yang lalu. "Mbah Sayem" sendiri berusia 10.000 tahun yang lalu.

Peralatan hidup terbuat dari batu dan masih sangat sederhana serta kebiasaan berburu menunjukkan bahwa dia hidup pada masa Paleolitikum (50.000-10.000 Sebelum Masehi).

Pada masa itu, gua merupakan rumah yang paling nyaman bagi manusia karena melindungi mereka dari panas, hujan, angin, dan serangan binatang buas.

Selain itu, sungai-sungai bawah tanah yang terdapat di dalam gua sebagai hasil dari pelarutan batu gamping oleh air membentuk celah-celah dan kemudian menjadi saluran, merupakan sumber air bagi kehidupan manusia paleolitikum yang hidup berkelompok dengan 10-15 orang anggota.

Berada pada ketinggian 330 meter di atas permukaan laut dan relatif dekat dengan pantai yang menyediakan sumber protein, Goa Song Terus yang memiliki lebar sekitar 20 meter dengan tinggi 5-10 meter dan lorong sepanjang 50 meter adalah hunian ternyaman bagi "Mbah Sayem" dan keluarganya, serta kelompok manusia lainnya.

Sungai-sungai bawah tanah yang mengalir kira-kira 20 meter di bawah gua itu menambah kenyamanan Song Terus sebagai tempat hidup yang layak.

Oleh karena itu, tidak hanya "Mbah Sayem" dan perlatan miliknya yang ditemukan oleh tim arkeologi di Goa Song Terus, melainkan juga cangkang-cangkang moluska dan sisa-sisa binatang yang menjadi makanan pokok manusia pada masa tersebut, saat mereka belum mengenal bercocok tanam, bersama dengan artefak berupa kapak batu, beliung dan alat tulang.

Seribu Gunung

Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan bahwa Goa Song Terus telah menjadi "rumah" bagi manusia prasejarah. Bahkan, pada lapisan batuan setebal sekitar 15 meter yang diperkirakan berumur 300.000-12.000 tahun di bawah kuburan "Mbah Sayem" ditemukan pula sisa-sisa peralatan berburu sederhana dan tulang-tulang binatang.

Lapisan penghunian yang ditemukan di Goa Song Terus tersebut sejauh ini merupakan yang tertua di Asia Tenggara.

Banyak mahasiswa dan peneliti, kata dia, datang untuk meneliti Goa Song Terus. Ada juga dari luar negeri, seperti dari Prancis dan Filipina.

Pegunungan Seribu Secara geologi, Pacitan merupakan bagian dari Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) yang membujur di selatan Pulau Jawa.

Daerah ini terbentuk pada Kala Miosen (23 juta-5 juta tahun yang lalu) saat batu karang terbentuk di sepanjang pesisir Samudera Hindia dengan endapan tufa (abu vulkanik) di sela-selanya.

Gerakan tektonik yang aktif pada masa itu mengangkat formasi-formasi batuan tersebut beberapa kali hingga satu juta tahun yang lalu pada Kala Pleistosen.

Batuan karang laut yang tersusun oleh kalsium karbonat tersebut tergerus dan larut oleh aliran air sehingga membentuk celah pada bebatuan.

Proses-proses tersebut terus berjalan hingga membentuk bentang alam karst yang khas dengan morfologi-morfologi baru, seperti bukit-bukit kerucut, cekungan dan "sinkhole" (lubang alami) serta gua-gua dan sungai-sungai bawah tanah.

Sejumlah gua yang ditemukan di Pacitan merekam jejak-jejak hidup manusia prasejarah. Di Song Keplek dan Song Gupuh misalnya, ditemukan pecahan tengkorak, tulang-tulang jari, dan gigi-gigi lepas yang tersebar tidak merata di lapisan-lapisan batuan.

"Mbah Sayem" dan fosil-fosil tengkorak lain yang ditemukan di gua-gua Pacitan memiliki hubungan yang erat dengan manusia prasejarah awal yang tiba di Pulau Jawa pada 1,6 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa kehidupannya ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Kubah Sangiran.

Dengan banyaknya gua, Pacitan mungkin merupakan tujuan utama migrasi manusia kala itu dan layak menjadi rumah sekaligus laboratorium alam bagi penelitian arkeologi.

Song Terus menjadi lokasi yang cukup ideal untuk studi arkeologi dan geologi bagi para peneliti muda dari seluruh dunia.

Guna mendukung kegiatan ilmiah itu, Situs Goa Song Terus telah memiliki galeri yang dibangun tak jauh dari gua meskipun belum difungsikan. Nantinya, galeri ini memajang replika dari temuan arkeologi dari Goa Song Terus.

Kepala Desa Wareng Purwo Widodo berharap, pembangunan museum arkeologi itu dapat terus dilanjutkan sehingga rencana menjadikan desanya sebagai desa wisata dapat segera terwujud.

Lokasi wisata itu juga akan memberi manfaat pendidikan dan ekonomi bagi warga karena dipastikan akan menawarkan banyak lapangan kerja secara terbuka bagi masyarakat setempat.

Penggalian yang lebih masif di Pacitan sebagai "rumah arkeologi" akan menguak lebih banyak kisah hidup manusia prasejarah di Pulau Jawa yang terhubung dengan kerabatnya di benua lain di dunia. (Libertina Widyamurti Ambari/ant/yps)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.