Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Tuntut Hak

Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta tuntut hak pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta Tuntut Hak | diskusi evaluasi dan pembelajaran dari perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Medan, Selasa 24/7/2018. (Foto: Tagar/Wesly Simanjuntak)

Medan,  (Tagar 26/7/2018) - Sejumlah elemen masyarakat sipil meliputi Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Bakumsu, HaRI dan Aman Tano Batak menantikan dikeluarkannya registrasi Perda oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal itu menyusul disahkannya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) pada 3 Juli 2018.

Penantian mereka itu dibahas dalam diskusi evaluasi dan pembelajaran dari perjuangan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta bersama sejumlah elemen masyarakat, pejabat eksekutif serta anggota DPRD Humbahas di Medan, Selasa (24/7).

"Perda yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Humbang Hasundutan 3 Juli 2018 lalu di Ruang Rapat DPRD kabupaten tersebut layak diapresiasi dan disyukuri. Setelah berjuang sejak Juni 2009, masyarakat  adat  Pandumaan-Sipituhuta akhirnya berhasil mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas hak-hak adatnya," ujar Direktur KSPPM, Delima Silalahi.

Delima menyebut, Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tersebut menjadi Perda pertama di Kawasan  Danau Toba yang dibuat melalui mekanisme yang sangat partisipatif, menyusul langkah awal dikeluarkannya wilayah adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta oleh Menteri KLHK sebagaimana diamanatkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Namun, agar Perda ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, beberapa hal berikut patut diperhatikan dan dilakukan dalam waktu dekat.

Pertama, sangat penting mempercepat proses dieluarkannya nomor registrasi Perda tersebut agar peristiwa bersejarah ini bisa segera melangkah ketahap selanjutnya, yakni dikeluarkannya SK Hutan Adat oleh Menteri terhadap lahan seluas 5172 hektar yang dipetakan masyarakat secara partisipatif.

Kedua, Perda ini menghendaki pemerintah bersikap lebih tegas terhadap PT TPL dan semua pihak terkait yang melanggar peraturan tersebut. Pemerintah dalam hal ini harus bisa memastikan agar PT TPL tidak lagi melakukan operasi di wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta. Pemerintah juga wajib mengambil tindakan yang seharusnya dan sesuai aturan hukum jika perusahaan ini tetap melakukan operasi di wilayah yang bukan menjadi haknya.

Ketiga, Perda ini menghendaki PT TPL dan semua pihak terkait untuk menghormati keputusan pemerintah dan juga perjuangan masyarakat adat. PT TPL dan semua pihak terkait wajib mematuhi peraturan tersebut dan menerima semua konsekuensi legal atas semua tindakan yang bertentangan dengan hal-hal yang sudah diatur dan disahkan dalam Perda tersebut.

Ia lebih lanjut mengatakan, perjuangan masyarakat adat Pandumaan - Sipituhuta adalah peristiwa bersejarah bagi Masyarakat Toba kontemporer. Dikeluarkannya Perda ini diharapkan menjadi tonggak bagi munculnya perjuangan-perjuangan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba berikutnya, untuk mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alam.

"Sehingga secara berdaulat mampu mengelola untuk kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri dan kemakmuran bangsa pada umumnya," imbuh Delima.

James Sinambela selaku ketua Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta memaparkan bagaimana perjuangan panjang komunitas sudah dilakukan sejak tahun 2009. Dari berbagai upaya itu, dirinya bahkan pernah ditangkap karena mempertahankan tanah adatnya.

"Dalam perjuangan ini kami sudah berjanji, lebih baik mati daripada mati-mati, artinya apa pun ceritanya tanah adat kami harus kembali. Bahkan kami pernah dipenjara karena mempertahankan tanah adat kami. Kami hanya ingin tanah adat kami kembali. Kami tidak mau kurang dari situ, kami juga tidak mau lebih bahkan satu jengkal pun. Kami hanya mau hak kami kembali," paparnya.

Sementara itu mewakili pemerintah Kabupaten Humbahas, Kabid Rehabilitasi Hutan dan Lahan Haloman JA Manullang mengatakan pihaknya terus berupaya membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat adat yang berada di wilayah Kabupaten Humbahas.

"Sampai saat ini Pak Bupati Dosmar Banjarnahor sangat memberikan perhatian penuh menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat adat," katanya.

Ia mengakui dalam membuat dan menyelesaikan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat terutama di kawasan wilayah kerja pemerintah Kabupaten Humbahas mendapat banyak tantangan sehingga membutuhkan waktu cukup lama.

"Ada perbedaan persepsi dan sudut pandang dalam mengartikan atau mendefinisikan pengertian masyarakat adat. Hingga kami harus banyak mempelajari banyak hal dalam menyelesaikan Perda tersebut. Namun, kami bersyukur Perda tersebut selesai dan kini menunggu Pemerintah Provinsi Sumut untuk segera meregistrasinya," terangnya.

Ia mengungkapkan persoalan yang akan menjadikan wilayah adat Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya, jika ingin menjadikan wilayah hutan adat bagi masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta ada dua hal yang harus diselesaikan terkait status hutannya yang saat ini termasuk hutan lindung dan adanya hak pengusahaan hutan (HPH) di kawasan tersebut.

"Hal itu yang menjadi keunikan dan perbedaan persoalan yang  dihadapi masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta dengan masyarakat adat lainnya di Indonesia," tandasnya.

Berita terkait
0
Gempa di Afghanistan Akibatkan 1.000 Orang Lebih Tewas
Gempa kuat di kawasan pegunungan di bagian tenggara Afghanistan telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dan mencederai ratusan lainnya