Maju Pilgub, NA Tinggalkan Masalah Besar di Bantaeng?

Seperti dirasakan warga Pajjukukang. Wilayah megaproyek "gagal" smelter, industri pengolahan hasil tambang nikel. Proyek smelter itu investasinya senilai 6,4 triliun.
Proyek Gagal Calon Gubernur? Hamra, salah satu aktivis pendamping masyarakat Kecamatan Pajjukukang, memperlihatkan foto proyek smelter yang terbengkalai. (Rio)

Bantaeng, (11/2/2018) - Klaim keberhasilan Nurdin Abdullah membangun dan menyejahterakan masyarakat Bantaeng, tak sepenuhnya benar. Bahkan, di akhir periodenya memimpin, mulai muncul benih-benih kekecewaan masyarakat.

Seperti yang dirasakan warga Kecamatan Pajjukukang. Wilayah yang ketempatan megaproyek "gagal" smelter, industri pengolahan hasil tambang nikel. Proyek smelter itu investasinya senilai 6,4 triliun.

Industri besar yang terletak di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Kecamatan Pajjukukang ini ternyata bermuara kegagalan dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.

Banyak korban yang mengaku ditipu Pemda Bantaeng dan perusahaan raksasa pendiri smelter itu. Masyarakat juga menilai proyek yang selama kurang lebih 7 tahun itu hanya dijadikan alat pencitraan Nurdin Abdullah.

Pasalnya, hingga saat ini proyek raksasa itu hanya menjadi isapan jempol semata. Bahkan dari 20 titik smalter yang direncanakan, tak ada satupun yang beroperasi.

Hamra, salah satu aktivis pendamping masyarakat yang merasa dirugikan dan ditipu oleh Pemda Bantaeng blak-blakan membantah beberapa pernyataan NA dalam setiap pidatonya.

"Smelter tak selayaknya dibanggakan. Sejak perencanaan hingga saat ini, saya terus memantau proyek smelter. Hasilnya, perihal pernyataan Nurdin bahwa smelter sudah beroperasi dan ekspose perdana hanya isapan jempol," katanya.

"Kurang lebih 3.000 Hektar yang sudah di MoU-kan (Memorandum of Understanding). Kalau pembebasan lahannya baru sekitar 150 Hektar," papar Hamra.

Dia pun membeberkan keterlibatan Pemda dalam pembebasan lahan 150 hektar itu. Semestinya pihak perusahaan bahkan sanggup membeli Rp 250 ribu per meter persegi, akan tetapi Pemda melalui Perusda berpendapat lain.

"Rakyat itu merasa tidak puas. Karena cara pembeliannya Pemda, lain maunya dan investor lain maunya. Akhirnya hanya Rp 18 ribu per meter persegi," kata dia.

Dia mengaku harga itu saangatlah rendah untuk pembelian lahan. Apalagi peruntukannya untuk proyek raksasa. Dia mempertanyakan harga Rp 18 ribu itu. "Justru itulah pertanyaan kita," katanya.

Bahkan dia memprediksi, proyek ini tidak akan jalan selama Pemda masih angkuh untuk tidak membayarkan hak-hak rakyat. Seperti pembebasan lahan, serta upah kerugian pekerja.

"Masih banyak masyarakat yang bermukim di area KIBA itu. Sementara rencananya akan menggunakan zat merkuri. Zat ini bisa saja mematikan. Makanya, tidak boleh ada pemukiman warga yang berjarak minimal 7 KM dari area," katanya.

Menurut Hamra lagi, orang luar Bantaeng sudah banyak yang terlena dengan proyek smelter itu. Padahal, lanjutnya ini hanya framing pemerintah sebagai modal pencitraan. Bahkan, menurutnya wacana yang berkembang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. "Ini yang selalu saya pertanyakan. Coba kita ke lapangan. Tempatnya di mana itu smalter," tegasnya.

Lebih jauh dia membeberkan, bahwa dua perusahaan smalter yang selama ini digembor-gemborkan NA sudah berproses tak sesuai fakta. "Proses berfungsi atau tidak, hanya PT Huady Nikel Alloy dan PT Titan Mineral Utama yang tahu. Yang berproses pelabuhannya untuk sarana kapal saja masih tahap pembenahan. Pabrik masih belum selesai," tegasnya.

Bagaimana tanggapan NA? Kepada wartawan yang sempat mengonfirmasinya, juru Bicara NA, Bunyamin, justru mengaku masalah dengan warga terkait pembayaran tak ada hubungannya dengan bupati lagi. Membingungkan? (rio)

Berita terkait
0
Dalam Dua Hari, Vaksinasi PMK Tembus 58 Ribu Dosis
Pemerintah terus melakukan percepatan vaksinasi terhadap hewan ternak untuk mencegah peningkatan jumlah hewan sakit PMK.