Lomban Kupatan, Kearifan Nelayan Jepara Sejak Akhir Abad ke-19

Lomban kupatan, kearifan nelayan Jepara sejak akhir abad ke-19. Ungkapan rasa syukur dan harapan rezeki melimpah.
Lomban Kupatan, Kearifan Nelayan Jepara Sejak Akhir Abad ke-19 | Iring-iringan kapal nelayan mengikuti larung sesaji dalam pesta lomban syawalan masyarakat nelayan Jepara, Sabtu pagi (23/6/2018) pagi. (Foto: Tagar/Alip Sutarto)

Jepara, (Tagar 24/6/2018) - Ratusan kapal berpenumpang ribuan warga bergerak beriring-iringan di perairan laut Jepara, Sabtu pagi (23/6). Mereka mengikuti pergerakan sebuah kapal motor yang mengusung replika kapal berisi sesaji berupa potongan kepala kerbau dan hasil bumi.

Sampai di tengah laut, replika kapal dan seisinya itu dilarung dengan iringan doa. Sejumlah nelayan turun ke laut, berebut sesaji yang diyakini bisa membawa berkah. 

Para nelayan mengambil air laut, menyiramkannya ke badan kapal sebagai ritual pembersihan kapal agar terhindar dari bencana saat melaut. 

Itu merupakan bagian dari prosesi syawalan atau lomban kupatan. Ada yang menyebutnya pesta lomban. Akar kearifan nelayan Jepara sejak akhir abad ke-19. Tradisi yang dilakukan tiap tahun, sepekan usai hari raya Idul Fitri.

Banyak warga berdiri di dermaga tempat pelelangan ikan di Ujungbatu, menyaksikan lomban kupatan. Bukan hanya warga setempat, banyak juga wisatawan dari berbagai kota lain. 

Begitu banyak warga yang terlibat dalam acara itu. Petugas gabungan dari Polisi Air Polres Jepara, Basarnas, BPBD, TNI juga Dishub Jepara diterjunkan untuk mencegah terjadinya kecelakaan laut, mengamankan jalannya prosesi larung sesaji.

Dimas Bayu (30) nelayan asal Kelurahan Ujungbatu, Jepara, mengatakan lomban kupatan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan dan hasil laut yang telah diberikan selama setahun terakhir. 

Ia berharap usai lomban kupatan ini para nelayan mendapat keselamatan dan tangkapan ikan yang berlimpah.

"Sudah menjadi tradisi sejak nenek moyang dulu, pesta lomban selalu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Semoga kedepannya para nelayan Jepara mendapat hasil tangkapan ikan berlimpah, juga keselamatan saat melaut," kata Bayu.

Bupati Jepara Ahmad Marzuqi yang memimpin prosesi lomban kupatan ini. Baginya, lomban kupatan merupakan potensi untuk memikat wisatawan. Ia mengaku dari tahun ke tahun minat masyarakat yang menyaksikan pesta lomban mengalami peningkatan.

"Yang datang menyaksikan pesta lomban bukan hanya masyarakat Jepara, juga dari luar kota pun turut hadir menyaksikan. Pesta lomban benar-benar menjadi daya tarik wisata di Jepara," kata Marzuqi.

Sudiyatno Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Jepara mengungkapkan, pesta lomban ini dimeriahkan 103 perahu nelayan.

Dari hasil pendataan HNSI, ratusan perahu nelayan tersebut meliputi 32 perahu berukuran besar lebih dari 10 gross ton dan 71 perahu kecil yang biasa digunakan nelayan Jepara menangkap ikan.

Usai prosesi pelarungan, rombongan bupati Jepara menuju dermaga Pantai Kartini, kemudian ke lapangan Pantai Kartini untuk menghadiri Festival Kupat Lepet.

Warga berebut gunungan kupat lepet. Tradisi syawalan usai melewati Idul Fitri dengan mengarak gunungan berisi ketupat kemudian dibagikan kepada warga juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki dan keselamatan.

Baca juga: Filosofi Kupat dan Lepet Bagi Masyarakat Jawa

Pesta SyawalanReplika kapal nelayan berisi sesaji berupa kepala kerbau dan hasil bumi dilarung di tengah laut dalam pesta lomban syawalan masyarakat nelayan Jepara, Sabtu pagi (23/6/2018). (Foto: Tagar/Alip Sutarto)

***

Alamsyah Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro membuat penelitian berjudul Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara: Studi Komparasi Akhir Abad ke-19 dan Tahun 2013.

Penelitiannya itu mengungkapkan bahwa lomban atau syawalan di Jepara telah berlangsung sejak ratusan tahun silam, minimal telah terdokumentasi pada akhir abad ke-19 atau tahun 1868. 

Pada tahun 1868 kegiatan syawalan berlangsung semarak dengan didukung oleh bupati, lurah, dan masyarakat. Pesta rakyat Jepara ini dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah seperti Rembang, Semarang, dan Juwana.

Kegiatan yang dilakukan tujuh hari setelah Lebaran pada tahun 1868 tidak terjadi di daerah lain. 

Bila dibandingkan aktivitas lomban tahun 1868 dengan tahun 2013 terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, kegiatan syawalan diwarnai aktivitas budaya melarung kepala kerbau. Bupati serta pejabat yang lain dan masyarakat guyub rukun mendukung aktivitas lomban ini. 

Perbedaannya adalah pada tahun 2013 terdapat pengembangan kegiatan antara lain pentas wayang kulit dan hiburan. Namun demikian, esensi dari kegiatan lomban masih tetap sama yaitu meminta kepada yang Maha Kuasa agar kegiatan mencari rezeki di laut pada tahun mendatang semakin mudah.

***

Jepara adalah sebuah kota di pantai Utara Jawa yang kaya akan peninggalan budaya. Satu di antara peninggalan budaya yang ada di Jepara adalah tradisi lomban atau Syawalan. Kegiatan ini sudah berlangsung ratusan tahun yang silam di sebuah pantai di Jepara.

Dari waktu ke waktu kegiatan ini mengalami pergeseran, namun esensinya tetap sama yaitu meminta berkah kepada Yang Maha Kuasa agar pada tahun yang akan datang rezeki masyarakat nelayan semakin meningkat.

Syawalan atau sedekah laut merupakan salah satu tradisi masyarakat pesisir atau nelayan di berbagai wilayah. Syawalan atau sedekah laut serta tradisi-tradisi lainnya dalam pandangan antropolog Ruth Benedict merupakan salah satu konstruk kebudayaan suatu masyarakat tertentu.

Menurut Ruth, pada setiap kebudayaan biasanya terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang berkembang yang akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak masyarakatnya (the rules of conduct) dan aturan-aturan bertingkah laku (the rules of behavior) yang membentuk pola kultural masyarakat.

***

Gambaran aktivitas syawalan atau lomban di Jepara pada akhir abad ke-19 atau tahun 1868 ditulis dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) atau Jurnal Hindia Belanda yang terbit pada tahun 1868. Judul artikel dalam TNI ini adalah Het Pada Loemban Feest Te Japara (Kegiatan Pada Lomban di Jepara).

Artikel ini menyebutkan tentang kata ketupat lepat. Ketupat lepat adalah sejenis ketupat yang tidak dalam bentuk kubus seperti biasanya. Bentuk ketupat lepat memanjang dan bulat, berbentuk silinder. Gambaran tentang ketupat dalam kamus Melayu berbeda.

Menurut kamus Melayu disebutkan bahwa ketupat merupakan suatu adonan beras yang diolah dengan cara dimasak. Sejumlah kecil beras kasar dicampur dengan sedikit garam, dianyam dalam keranjang yang terbuat dari daun kelapa muda dengan bentuk kubus atau piramida. Setelah anyaman jadi dan telah diisi, maka ketupat tersebut direndam dalam air masak hangat. Keranjang ini memiliki besar satu kepalan tangan kecil sehingga beras yang dimasak menjadi padat.

Kadang-kadang orang membuat ketupat lepat ini dalam bentuk menyerupai masjid. Ketika ketupat biasa diiris melintang, pada irisan itu orang mendapatkan satu bidang yang seluruhnya mirip dengan bentuk diagonal seperti kain selimut atau kain lap. Oleh karena itu, kain ini juga sering disebut seprei belah ketupat. Pada upacara lomban di Jepara, orang saling merancang ketupat. Diperkirakan pesta lomban ini memiliki makna sejarah (TNI, 1868: 86).

Tradisi Kupat LepetWarga berebut gunungan berisi ketupat saat Tradisi Kupat Lepet di Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (23/6/2018). Tradisi syawalan usai melewati Idul Fitri dengan mengarak gunungan berisi ketupat kemudian dibagikan kepada warga tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki dan keselamatan. (Foto: Antara/Yusuf Nugroho)

***

Yang menarik dari jurnal itu disebutkan bahwa pesta lomban yang berasal dari Jepara tidak pernah terdengar di tempat lain. Artinya bahwa pada tahun 1868, pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya pesta lomban di pesisir pantai.

Istilah lomban mengandung makna saling melempar atau berenang. Istilah lokal juga menyebutkan bahwa ketika anak-anak saling bersenang-senang saat mandi, mereka akan saling menyiram air atau yang disebut dengan istilah lumbanan.

Beberapa hari sebelum pesta lomban dimulai, warga Jepara melakukan persiapan. Semua perahu yang digunakan untuk kepentingan lomban terbuka. Perahu-perahu yang ada di Jepara, ketika pelaksanaan lomban banyak yang disewa.

Pada puncak acara, pengunjung berasal tidak hanya dari Jepara saja, tetapi juga berdatangan dari Semarang, Juwana dan Rembang.

Perahu-perahu yang terlibat dalam kegiatan lomban dihiasi dengan indah. Pada lunas depan, belakang, dan tiang perahu dihiasi dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat.

Selanjutnya orang menggantungkannya dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang dengan berbagai warna. Umumnya bendera atau panji ini berwarna hijau. Beberapa orang menempatkan sebuah boneka seperti manusia di lunas depan perahu. Boneka ini disebut kedawangan, yang terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung, yang juga digunakan bagi sangkar burung. 

Selain itu berbagai perahu di Jepara dihiasi dengan boreh, sejenis adonan cat berwarna kuning. Pada kegiatan lomban ini masyarakat memasak ketupat yang dikemas secara khusus. Selain ketupat juga ada telur itik, kolang-kaling atau buah pohon aren yang berwarna hijau dan bulat. Seluruh keranjang penuh ketupat diangkut dengan perahu. 

Tiga komoditi yang disebutkan di atas, ketupat, telur itik, dan kolang-kaling digunakan dalam prosesi saling lempar. Telur yang membusuk digunakan untuk saling lempar dan menyebarkan bau tidak sedap. Begitu pula kolang-kaling yang digunakan dapat menyebabkan gatal-gatal di kulit atau rasa terbakar karena terkena sentuhan getah. Permainan ini masih dilakukan oleh orang secara sembunyi-sembunyi.

***

Kaum perempuan menyiapkan makanan yang diperlukan, kebanyakan terdiri atas lauk-pauk dan serbat. Oleh para petinggi atau kepala desa, sejumlah besar ketupat disampaikan sebagai hadiah bagi pesta kepada bupati. Para kepala desa mengiringi bupati sebagai pengikut, wong pengiring, ke tempat permainan. Mereka berada di Pulau Teluk, sebuah pulau di teluk Jepara, yang dihuni oleh orang Melayu Encik Lanang (TNI, 1868: 87).

Orang Melayu Encik Lanang meminjam teluk dari pemerintah sebagai imbalan bagi jasa-jasanya dalam ekspedisi Bali. Dalam kegiatan ini bupati membawa dua belas payung atau penyekat dari bambu yang beroda. Kendaraan ini dilumuri kapur dan kadang-kadang ditandai dengan gambar harimau, naga, dan ikan (TNI, 1868: 87). Pada hari pelaksanaan pesta, setiap orang sejak fajar sudah bangun dan mandi. Mereka yakin bahwa siapa pun yang melakukannya terlebih dahulu, sebagai tanda keberuntungan. 

Pada hari ini, orang berbusana rapi. Menjelang pukul delapan pagi, warga masyarakat menaiki kapal. Beberapa orang membawa serta gamelan dalam perahu. Bupati biasanya memiliki gamelan termahal dan termerdu. Bupati, kepala desa, dan masyarakat berlayar dengan iringan tabuh giro, musik Jawa, menyusuri sungai Jepara sampai laut.

Sesampai di laut, dalam waktu singkat ratusan perahu yang penuh dengan muatan manusia berada di atas air yang jernih. Mereka berada di segala arah dan berteriak ramai-ramai sambil terus berlayar. Perjalanan ini mencapai pulau yang jauh yaitu Pulau Panjang dan Pulau Tengah. Dalam pelayaran ke Pulau tersebut, warga saling bercanda ancaman dan gurauan, saling mengejar, saling melempar dengan sebagian ketupat, telor kotor dan kolang-kaling, menembak dengan pistol yang berpeluru kosong dan petasan Cina.

Mereka terus berpesta hingga waktunya tiba untuk makan bersama. Ketika sampai di pantai pulau Encik Lanang ini orang singgah, memasak dan membakar atau membeli makanan pada pedagang keliling (TNI, 1868: 88).

Pada hari pelaksanaan pesta lomban ini meskipun tidak ada pasar di Jepara, tetapi banyak kedai dan penjaja buah, lauk-pauk, minuman, dan barang dagangan yang lain berangkat ke tempat perlombaan. 

***

Setelah makan siang, warga berziarah ke makam Melayu yang ditemukan di pulau itu. Di tempat pemakaman ini, warga berdoa, meletakkan bunga dan dupa. Sementara itu dua belas penyekat bambu dipasang dalam sebuah lingkaran. 

Bupati bersama beberapa orang Eropa, bangsawan Jawa, dan keluarganya duduk di sebuah pendopo yang telah dirancang sebagai tempat beristirahat dan tempat menikmati pesta. Persediaan ketupat disiapkan. Beberapa bangsawan duduk di belakang pelindung atau aling-alingan. Yang lain berlindung dengan perisai bulat.

Pertandingan dimulai dengan ditandai ribuan telor dan ketupat dilemparkan ke udara. Telor dan ketupat berjatuhan di semua tempat. Warga yang mengikuti pesta ini berlarian mencari kolang-kaling.

Dalam konteks kekinian, kegiatan yang dilaksanakan pada hari kedelapan bulan Syawal ditandai dengan berbagai prosesi antara lain acara selamatan, ziarah, penyelenggaraan wayang kulit, larungan, festival kupat lepet, hiburan, dan lain-lain.

Pada hari hari pelaksanaan, acara larungan diikuti oleh Bupati dan Forum Komunikasi Pejabat Daerah, serta diikuti oleh ratusan perahu dari berbagai desa atau kelurahan.

Para pejabat dan rakyat melarung kepala kerbau ke laut sebagai simbol rasa syukur kepada Allah atas rezeki yang telah diberikan. Dengan harapan pada tahun mendatang rezeki pelaut bertambah. 

Acara syawalan di Jepara dimaknai sebagai acara untuk memupuk kebersamaan, kerukunan dan keguyuban sesama masyarakat nelayan dan petani di Jepara.

Bagi pemerintah, perayaan syawalan merupakan agenda rutin yang masuk dalam kalender kegiatan pariwisata nasional. (alf/af)

Berita terkait