Kroasia Adalah Keajaiban, Prancis Menjauhi Semua Euforia

Kroasia adalah keajaiban, Prancis menjauhi semua euphoria. Apa yang terjadi di Zadar? Kota Tua Zadar, asal Luka Modric, dengan rasa bangga menyatakan "Hati Zadar - Berasal dari Zadar."
Stadion Luzhniki dipenuhi cahaya lampu menjelang final Piala Dunia antara Prancis dengan Kroasia di Moskow, Rusia, Kamis (12/7/2018). (Foto: Reuters/Kai Pfaffenbach)

Zadar, Kroasia, (Tagar 15/7/2018) – Zadar, kota pesisir pantai Kroasia yang terkenal karena matahari terbenamnya yang indah dan pernah dipuji Alfred Hitchcock, selalu dipadati wisatawan setiap musim panas.

Tapi khusus pada tahun ini, banyak turis mengenakan seragam nasional sebagai penghargaan atas keberhasilan tim sepak bola Kroasia yang akan menghadapi Prancis di putaran final Piala Dunia, Minggu (15/7).

Kapten Luka Modric dan tiga rekan setimnya berasal dari daerah Zadar. Hari-hari ini rumah mereka menarik penggemar yang datang untuk memberikan pernghormatan.

Sebuah spanduk besar bertuliskan gambar Modric, penjaga gawang Daniel Subasic, Sime Vrsaljko, dan penjaga gawang Dominik Livakovic tergantung di pintu masuk Kota Tua Zadar, dengan rasa bangga menyatakan "Hati Zadar - Berasal dari Zadar."

Keluarga Modric berlindung di sebuah hotel dekat Zadar pada tahun 1991 ketika dimulainya perang menyusul pecahnya bekas negara Yugoslavia dan setelah kakek Luka dibunuh oleh milisi Serbia.

Dari sana, Modric mulai membangun karier sepak bola yang sukses bersama Real Madrid.

Ketika mengunjungi Zadar pada tahun 1964, sutradara film Hitchcock menulis: "Zadar memiliki matahari terbenam terindah di dunia, lebih indah daripada yang ada di Key West, di Florida, ramai dengan wisatawan setiap malam."

Musim panas kali ini matahari terbenam bukanlah satu-satunya daya tarik bagi wisatawan. Piala Dunia telah memberikan cahaya tambahan di kota tersebut.

Di desa Zagrad, orangtua kiper Daniel Subasic akan menonton pertandingan di televisi. Ayahnya Jovan, 63, berbicara tentang bagaimana putra bungsunya bermain sepak bola ketika ia berusia enam tahun.

"Mereka tidak memiliki penjaga gawang dan dia bertanya kepada pelatih apakah dia bisa berdiri di depan gawang dan akan tetap ada di sana," kata Jovan seraya tertawa.

Istrinya, Boja, 62 tahun, mengatakan saat menyaksikan putranya terjatuh saat pertandingan membuatnya menjauh dari televisi.

Rumah mereka di desa yang tenang itu dipenuhi dengan prestasi putra mereka --kostum dan selendang dari turnamen Kroasia sebelumnya dan AS Monaco tempat dia bermain selama enam tahun terakhir.

Subasic yang lebih tua mengatakan jika pertandingan Minggu memasuki tendangan penalti, putranya akan mendapat keuntungan karena dia tahu banyak tentang pemain Prancis.

"Ini akan menjadi keuntungan besar bagi Daniel karena ketika Anda tahu para pemain terutama ketika memasuki adu penalti, itu adalah keuntungan besar," kata Subasic.

Keajaiban Kroasia

Sementara itu, Presiden UEFA Aleksander Ceferin mengatakan, perjalanan Kroasia menuju final Piala Dunia merupakan keajaiban. “Merupakan refleksi terhadap upaya badan sepak bola Eropa untuk mengembangkan olahraga ini di seantero benua,” ujarnya, Sabtu (14/7).

Pendukung PrancisPendukung Prancis bersuka ria di Champs-Elysees setelah timnas sepakbola mereka mengalahkan Belgia di babak semifinal Piala Dunia, di Paris, Prancis, Selasa (10/7/2018). (Foto: Reuters/Gonzalo Fuentes)

Kroasia, dengan populasi penduduk sebanyak 4,2 juta jiwa pada 2016, adalah negara terkecil yang mampu mencapai pertandingan puncak sejak Uruguay pada 1950. Ceferin senang melihat negara-negara kecil mendapat sorotan di panggung global.

Kroasia, yang menembus empat besar pada Piala Dunia 1998, menghadapi juara pada tahun itu, Prancis, di pertandingan final.

"Ini jelas merupakan hal yang bagus dan kembali membuktikan pekerjaan bagus yang dilakukan sepak bola Eropa," kata Ceferin kepada televisi Russia Today saat diwawancarai.

"Bagi negara berpenduduk empat juta orang, merupakan keajaiban untuk dapat masuk ke final Piala Dunia. Mereka telah memperlihatkan begitu besar hati, begitu besar hasrat, begitu besar semangat juang, yang saya tidak dapat mengatakan bahwa mereka tidak dapat menang pada Minggu."

Sebanyak enam dari delapan tim peserta perempat final turnamen tahun ini berasal dari Eropa, dan Ceferin tidak terkejut melihat dominasi negara-negara Eropa di Rusia.

"UEFA melakukan pekerjaan bagus, bukan sejak saya berada di sini atau karena saya berada di sini, namun karena mereka melakukan pendekatan pengembangan sepak bola dengan sedikit berbeda maka kesenjangannya akan semakin lebar dan melebar," tambah Ceferin.

"Kami mendapatkan banyak uang dengan semua kompetisi kami. Kami mengalokasikan uang dengan tepat. Kami memiliki pertemuan-pertemuan kepelatihan. Kami bekerja dengan para pemain yang membantu asosiasi-asosiasi nasional. Kami bekerja dengan pengelolaan yang bagus."

"Kami berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur, pada perkembangan sektor teknis sepak bola... Kami melihat ini merupakan cara yang tepat untuk mencapat kesuksesan dan pengembangan sepak bola."

"Sekarang setiap anak di Eropa dapat dipandang sebagai satu talenta dan saya tidak yakin apakah hal seperti itu ada di seluruh dunia,” ujar Ceferin.

Prancis dalam “Gelembung”

Adapun Prancis seperti dirilis Antara menjauhi semua euforia di kampung halaman perihal laju mereka ke final Piala Dunia. “Agar dapat memainkan pertandingan sempurna melawan Kroasia,” kata kapten Hugo Lloris, Sabtu.

Sang kiper mengatakan, timnya tidak terlena oleh gelombang perayaan di negeri sendiri dan menjaga fokus terhadap upaya meraih gelar Piala Dunia kedua setelah 1998, ketika mereka berhadapan dengan Kroasia di Stadion Luzhniki Moskow.

"Sejujurnya, kami berada di dalam gelembung kecil kami dan kami tidak tahu apa yang terjadi di Prancis," kata Lloris kepada para pewarta.

"Kami jauh dari berpikir bahwa kami telah mencapai tujuan kami. Kami akan menghadapi lawan berkualitas tinggi dan mereka layak mendapat kredit sebagaimana kami."

"Mereka telah memperlihatkan kekuatan fisik dan mental mereka dan besok kami akan memerlukan tim Prancis dengan bentuk terbaiknya untuk dapat menang."

Prancis tidak pernah harus bermain melebihi 90 menit pada perjalanan mereka ke final setelah mengalahkan Argentina di 16 besar, Uruguay di delapan besar, dan Belgia di semifinal.

Namun Kroasia harus bangkit dari tertinggal satu gol pada ketiga pertandingan mereka di fase gugur, untuk kemudian mengalahkan Denmark, Rusia, dan Inggris.

Mereka memainkan perpanjangan waktu pada ketiga laga itu, dan memerlukan adu penalti saat menyingkirkan Denmark dan tuan rumah Rusia.

"Kroasia telah memperlihatkan kekuatan mental mereka yang begitu luar biasa. Mereka mampu lolos setelah memainkan perpanjangan waktu tiga kali secara beruntun. Ada sesuatu yang istimewa di tim itu," kata Lloris memperingatkan.

"Mereka juga memiliki kekuatan kolektif yang mengagumkan. Kami begitu menghormati mereka. Kami perlu tampil di level yang tinggi dan memainkan pertandingan sempurna untuk dapat meraih kemenangan," tuturnya.

Prancis berada di final Piala Dunia untuk ketiga kalinya, setelah menang pada 1998 dan kalah dari Italia pada 2006. Mereka juga mencapai final Piala Eropa di kandang sendiri dua tahun silam, namun kemudian dikalahkan Portugal.

Lloris mengatakan, kekalahan itu tidak lagi menghantui benak mereka, di mana banyak pemain saat ini yang bukan bagian dari tim 2016.

"Menurut saya tim kami cukup tenang. Saya tidak benar-benar mengetahui apakah kami menyadari seberapa jauh kami telah melangkah, namun ini adalah cara yang lebih baik," kata Lloris.

"Kami memiliki kekuatan di dalam diri dari awal turnamen, yang dengan hal itu kami dapat melampaui semua tantangan,” imbuhnya.

"Ini akan menjadi pertandingan terpenting dalam karier kami. Itu akan menjadi pertandingan yang istimewa karena itu adalah final Piala Dunia, dan kami harus tetap berada dalam "gelembung" kami untuk fokus pada tujuan utama,” ujar Lloris. (yps)

Berita terkait