Ketika Perbedaan Semakin Menakutkan

Saat ini indahnya perbedaan tersebut mulai terusik. Perbedaan agama mulai menjadi sesuatu yang menakutkan. Semuanya karena urusan politik.
Ilustrasi (Foto: Ant)

Saya terlahir dari sebuah keluarga Kristen yang taat.  Dalam keluarga besar ayah saya, dua orang dari lima kakaknya, beragama Islam. Meski berbeda agama, dalam keluarga besar ayah saya, hal ini tak pernah menjadi persoalan. Begitu juga dengan kami anak-anaknya. Kami tak pernah merasa berbeda dengan para namboru (kakak ayah saya) yang beragama Islam tersebut. Juga kepada semua sepupu  dari keluarga namboru, sampai saat ini kami masih berkomunikasi dengan baik.

Masa kecil saya di kota kecil Pematangsiantar pun saya nikmati dalam sebuah toleransi yang saya rasakan begitu indah. Ketika berjumpa dengan Hari Raya Idul Fitri, para tetangga yang beragama Islam datang ke rumah menghantar berbagai macam kue, termasuk lemang. Hal sebaliknya, ketika kami merayakan Natal dan tahun baru, kami menghantar beragam kue dan sirup kepada para tetangga yang beragama Islam. Sungguh indah yang kami rasakan.

Ketika saya beranjak dewasa dan harus kuliah di Universitas Diponegoro Semarang, saya juga merasakan toleransi beragama yang sangat indah. Di kampus, saya sangat minoritas dari segi agama dan suku. Namun, tak pernah ada perbedaan sedikitpun terhadap saya dalam segala hal terutama dalam pergaulan. Bahkan, ketika saya melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, dan kebetulan bersamaan dengan bulan ramadhan, saya menikmati ikut berpuasa dengan teman-teman yang beragama Islam. Indahnya perbedaan.

Namun, saat ini indahnya perbedaan tersebut mulai terusik. Perbedaan agama mulai menjadi sesuatu yang menakutkan. Semuanya karena urusan politik. Dimulai ketika Pilpres tahun 2014 lalu. Ketatnya persaingan antara Jokowi dengan Prabowo, mulai merambat ke soal agama.

Ketegangan, kalau bisa saya sebut demikian, semakin memuncak ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mencalonkan diri kembali sebagai gubernur DKI Jakarta.  Ahok yang Kristen, Cina pula. Ketika Ahok menyebut Surat Al Maidah ayat 51, ini menjadi momentum yang pas. Kena barang tuh... Soal benar salahnya Ahok dalam kasus ini, saya tidak ingin mencampuri, toh pengadilan terhadapnya sedang bergulir.

Yang pasti, saya meyakini betul kalau semua ini murni politik, tak ada urusan agama di sini. Agama hanya dijadikan alat. Kalau mau linier antara pandangan politik dan agama, seharusnya partai-partai seperti PKS, PPP, atau PKB, tak akan pernah mengusung calon non muslim di beberapa Pilkada di tanah air. Faktanya, ada begitu banyak calon dari PKS, PPP, atau PKB yang beragama Kristen. Lihatlah di Papua, Sumatera Utara, atau provinsi lain.

Persoalan agama terlanjur menjadi makanan empuk. Dunia informasi yang semakin terbuka, terutama dengan media sosial, membuat persoalan agama, dalam hubungannya dengan Pilkada DKI Jakarta, merembet kemana-mana ke seluruh Indonesia, bahkan dunia. Berita fitnah, hoax, atau berita yang saling menyerang, menjadi hal yang umum saat ini di medsos.

Banyak pengguna medsos yang tak lagi menggunakan logika. Muncul rasa emosional berdasarkan keyakinan yang dianut masing-masing. Akibatnya keluarlah kata-kata sumpah serapah, kata-kata kotor, atau juga fitnah. Tak ada lagi filter yang membuat logika bekerja. Hubungan pertemanan pun menjadi renggang, bahkan banyak yang memutus tali silaturahmi di medsos. Saling hapus atau blok antar teman. Anehnya, sebagian besar yang berperang di medsos ini adalah orang-orang di luar Jakarta, artinya tak punya hak pilih untuk Pilkada Jakarta. Oalah...

Demokrasi Kebablasan

Bahkan lembaga sekaliber Nielsen, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang informasi global, media, dan riset dalam hasil survei terbaru dalam Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intention yang dirilis hari ini, Rabu (22/2), menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya faktor kekhawatiran akan toleransi antar-agama di Indonesia muncul pada urutan lima teratas hal-hal yang menjadi kekhawatiran utama konsumen di kuartal IV 2016.

Sekadar informasi, Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentions dilaksanakan pada 31 Oktober – 18 November 2016.

Hasil survei menyebutkan bahwa sebanyak 25 persen konsumen mengatakan bahwa mereka khawatir akan kondisi toleransi antar-agama pada kuartal IV 2016.

Presiden Joko Widodo pun menyebut praktik demokrasi politik di Indonesia sudah kebablasan sehingga membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem.

Pandangan itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Pengukuhan Pengurus DPP Partai Hanura periode 2016-2020 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Rabu (22/2).

"Banyak yang bertanya pada saya apakah demokrasi kita terlalu bebas dan kebablasan? Saya jawab ya demokrasi kita terlalu kebablasan dan praktik demokrasi politik yang kita lakukan telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem," kata Presiden.

Ia mencontohkan, artikulasi politik ekstrem yang muncul di antaranya liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Ujian Pilkada DKI

Pilkada DKI menjadi batu ujian untuk ke-Indonesia-an kita. Apakah perbedaan itu akan tetap indah atau akan hancur lebur.

Banyak pengguna medsos yang beragama Kristen mendukung penuh Ahok hanya karena satu agama dan karena serangan bertubi-tubi yang menghantam Ahok.  Muncullah kemudian beragam ayat-ayat Alkitab dan doa-doa untuk mendukung Ahok. Juga muncul serangan yang menjelek-jelekkan Islam. Hal ini banyak bertebaran di internet.

Hal yang sama terjadi pada pengguna medsos yang beragama Islam. Serangan bertubi-tubi, penyebutan kafir, dan juga menyebut Kristen tak layak berada di tanah Indonesia ini adalah fakta yang terbaca di internet.

Tak ada yang salah ketika kita mendukung satu calon karena satu agama dengan kita. Tetapi sebaiknya, agama haruslah menjadi pembenaran dari pilihan kita bukan jadi alat. Ahok pantas menjadi gubernur karena kinerjanya yang baik, orangnya bersih, transparan, itulah yang seharusnya menjadi alasan untuk memilih Ahok. Kalau kebetulan Ahok itu Kristen, ya puji syukur. Pilihan kita semakin kuat.

Sama halnya ketika Anies Baswedan memang pantas menjadi gubernur dengan sosoknya yang cerdas, punya visi yang bagus, lebih santun, dan relatif bersih, inilah yang harus menjadi alasan untuk mendukung Anies. Bukan hanya karena ingin gubernur baru. Kalau kebetulan Anies seorang Muslim yang taat, ya alhamdulillah. Pilihan kita semakin kuat.

Sekali lagi saya harus katakan ini semua murni politik. Agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik. Ketika muncul gerakan berjamaah seperti gerakan 411, 212, 112, dan yang terakhir 212 lagi, semua ini juga murni politik.

Kalau ini benar gerakan agama tanpa embel-embel politik, kenapa gerakan berjamaah ini muncul ketika momentum Pilkada DKI ini? Sebelumnya kemana saja?

Atau saya mau menantang siapapun inisiator gerakan berjamaah ini agar melakukannya secara rutin, minimal sekali dua bulan untuk tetap melakukan gerakan yang sama dengan jumlah jamaah yang minimal 5000 setelah semua urusan Pilkada DKI ini selesai. Saya khawatir gerakan-gerakan berjamaah ini akan hilang dengan sendirinya ketika perhelatan pilkada selesai dan terutama ketika Ahok tidak terpilih sebagai gubernur DKI karena tujuan utama adalah bagaimana supaya Ahok tak lagi menjadi gubernur.

Tak pantas negeri yang indah ini babak belur hanya karena pertarungan merebut kursi gubernur DKI. Sesama anak bangsa, sesama teman, atau bahkan sesama saudara saling bermusuhan. Perbedaan semakin menakutkan. Mari sama-sama berbenah.

Penulis

Fetra Tumanggor

Tulisan ini murni opini penulis.

Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.