Kesalahan Sejarah, Hardiknas Bukan Tanggal 2 Mei

Dibanding Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa-nya, KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah lebih berperan dalam memajukan pendidikan nasional.
Ki Hadjar Dewantara

Jakarta, (Tagar 1/5/2017) – Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, lahir 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Sebagaimana halnya Raden Ajeng Kartini, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai peringatan nasional, yakni Hari Pendidikan Nasional. Namun, ketokohannya dalam dunia pendidikan dipertanyakan. Bahkan, Taman Siswa disebut anti Tuhan.

Ki Hadjar Dewantara, bernama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, adalah putera Paku Alam IV dari lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan sekolah dasar Belanda di Europeesche Lagere School (ELS), kemudian mengenyam pendidikan guru di Yogyakarta. Tahun 1905, ia masuk School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputera di Batavia, namun tidak sampai tamat karena sakit.

Sewaktu Boedi Oetomo dideklarasikan di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara sempat mendapat tugas sebagai pimpinan di bagian propaganda. Selanjutnya ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa media seperti surat kabar Midden Java, Sedyotomo, Oetoesan Hindia, De Express, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Selagi Belanda bercokol di Tanah Air, Ki Hadjar Dewantara acap melancarkan kritik terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang hanya membolehkan keturunan Belanda dan kaum priyai untuk menikmati bangku sekolah, sementara rakyat pribumi dibiarkan buta huruf, tak boleh mengenal pendidikan. Kritikannya membuat dia diasingkan ke Belanda pada tahun 1913 hingga 1919.

Pulang dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan National Onderwijs Institute Tamansiswa atau Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Setelah Indonesia merdeka, ia diangkat dalam kabinet pertama Republik Indonesia sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.

Sewaktu menjabat menteri, Ki Hadjar Dewantara memiliki filosofi dalam mengembangkan pendidikan Indonesia, yang diuraikan dalam bahasa Jawa, yakni “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani” yang artinya “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”, yang kemudian menjadi slogan dunia pendidikan Indonesia sampai sekarang.

Tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapat gelar doktor kehormatan Doctor Honoris Causa (Dr HC) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia wafat dua tahun kemudian dalam usia 70 tahun pada 26 April 1959 di Yogyakarta. Atas jasanya, namanya dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, hari kelahirannya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Itulah sekilas perjalanan hidup Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu, Hardiknas yang tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam memajukan pendidikan di Indonesia, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Belakangan, Hardiknas yang dikaitkan dengan namanya dipertanyakan.

Taman Siswa Anti Tuhan

Sejumlah orang mempertanyakan, mengapa Ki Hadjar Dewantara dijadikan sebagai patokan Hardiknas. Kritik ini dimulai dengan melongok garis keturunan Ki Hadjar Dewantara yang disebut berasal dari elit keraton yang memegang teguh ajaran kebatinan Jawa.

Sebagaimana diungkapkan Artawijaya, penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” (Pustaka Al-Kautsar, 2009), Taman Siswa adalah lembaga pendidikan bercorak kebangsaan, kebatinan, dan mengadopsi nilai-nilai barat.

Ketika mendirikan Taman Siswa, sebut Artawijaya, Ki Hadjar Dewantara banyak dipengaruhi oleh pemikiran Rabindranath Tagore (ahli pendidikan dan ilmu jiwa dari India yang menjadi rujukan anggota Theosofi), Maria Montessori (ahli pendidikan dari Italia), dan Rudolf Steiner (pendiri Antrophosophy Society).

Ditegaskan, melihat tokoh-tokoh yang menjadi rujukan Ki Hadjar dalam mendirikan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya bercorak barat dan mengusung humanisme.

Rabindranath Tagore, menurutnya, adalah tokoh yang tulisannya banyak tersebar di media massa milik kelompok Theosofi. Tagore memiliki konsep pendidikan “bebas” dan “merdeka” yang menjadikan pendidikan semata-mata hanya alat dan syarat untuk memperkokoh hidup kemanusiaan. Konsep “bebas” Tagore adalah bebas dari ikatan apapun, sedangkan konsep “merdeka” adalah bebas mewujudkan ciptaan berupa apapun dan hanya boleh terikat oleh kodrat alam dan zaman.

Sedangkan konsep pendidikan Maria Montessori mementingkan hidup jasmani peserta didik dan mengarahkan mereka pada kecerdasan budi. Dasar utama pendidikan yang digulirkan Montessori adalah kebebasan dan spontanitas untuk mendapatkan kemerdekaan yang seluas-luasnya.

“Asas kemanusiaan jelas sangat kental dalam konsep Tagore dan Montessori yang dijadikan rujukan oleh Ki Hadjar Dewantara,” sebut Artawijaya.

Sementara Rudolf Steiner adalah sosok yang mengembangkan doktrin-doktrin mistik, okultisme, dan spiritualisme abad 20, terutama di kalangan Kristen.

Disebutkan, corak pendidikan Taman Siswa hampir sama dengan Arjuna School, sekolah yang didirikan kelompok Theosofi di Indonesia, yang mempunyai pemahaman bahwa dasar dari semua sistem pendidikan yang dijalankan adalah kemerdekaan budi pekerti dan keterampilan. Dasar ketuhanan sebagai pijakan sama sekali tidak tercantum.

“Sungguh aneh, organisasi Theosofi yang secara resmi pernah dilarang pemerintah, namun pemikiran para tokohnya masih dianggap memiliki peran penting bagi pendidikan bangsa ini,” demikian Artawijaya.

Sementara Buya Hamka dalam buku “Perkembangan Kebatinan di Indonesia” (Bulan Bintang, 1974) menyatakan, Taman Siswa adalah gerakan abangan, klenik, dan primbon Jawa, yang menjalankan ritual shalat daim. Dalam kepercayaan kebatinan, sebut Hamka, shalat di sini bukan bermakna ritual seperti yang dijalankan umat Islam, tetapi shalat dalam pengertian kebatinan, yaitu menjalankan kebaikan terus menerus. Inilah yang dimaksud dengan shalat daim.

Bung Karno pun, kutip Artawijaya, menyebutkan apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah berangkat dari panggilan mistik.

Artawijaya mengakui, Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.

“Namun tak adanya diktum yang menyebutkan pengabdian terhadap Ketuhanan inilah yang menyebabkan timbulnya kecurigaan dari kalangan umat Islam saat itu bahwa Taman Siswa jauh dari nilai-nilai Ketuhanan dan anti terhadap agama,” paparnya.

Disebutkan, Mingguan Abadi, media massa yang dikelola oleh para aktivis Masyumi, mengeritik asas dan cita-cita Taman Siswa. Mingguan Abadi dalam artikelnya menilai, tidak dicantumkannya soal ketuhanan mencerminkan bahwa Taman Siswa jauh dari kepercayaan terhadap ketuhanan dan lebih mementingkan kemanusiaan. Taman Siswa mengabaikan sila Ketuhanan yang tercermin dalam ideologi Pancasila.

Janquire, seorang residen Belanda seperti dikutip Artawijaya, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa “anti-Tuhan” dan “anti-agama”.

KH Ahmad Dahlan

Seraya mempertanyakan mengapa Ki Hadjar Dewantara dijadikan sebagai patokan Hardiknas, berikutnya Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa-nya diperhadapkan dengan tokoh KH Ahmad Dahlan dan lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Disebutkan, dibanding Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa-nya, KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah lebih berperan dalam memajukan pendidikan nasional.

Argumentasinya, Ahmad Dahlan kental dengan corak pemikiran Islam dan nasionalis, anti kolonialisme, tidak terpengaruh paham barat, dan mengembangkan lembaga pendidikan untuk mengantisipasi besarnya arus Kristenisasi yang dibawa oleh lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial.

Saat Belanda mengeluarkan kebijakan Kerstening Politik (Politik Kristenisasi) dalam bidang pendidikan dan kelompok Freemasonry juga berupaya memberikan pengaruh lewat bidang pendidikan yang bercorak barat, Ahmad Dahlan berupaya melakukan perlawanan dengan mendirikan Muhammadiyah.

Juga disebutkan, berdirinya Muhammadiyah antara lain merupakan respons dari berbagai pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo. Dengan bahasa sindiran, Muhammadiyah menyatakan, “Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya politik berada di luar Muhammadiyah.”

Diakui, tinta sejarah memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa, termasuk tentang siapa yang dianggap berperan dan pantas dijadikan acuan dalam pendidikan nasional.

Padahal, sebut Artawijaya, Persyarikatan Muhammadiyah lebih dulu berdiri (tahun 1912) dibanding Taman Siswa yang berdiri sepuluh tahun kemudian (1922). Sementara jika dilihat dari segi waktu lahirnya, KH Ahmad Dahlan lebih dulu (1 Agustus 1868), sedangkan Ki Hadjar Dewantara baru lahir tahun 1889.

Menilik uraian sejarah di atas, seharusnya peringatan Hardiknas bukan lagi setiap tanggal 2 Mei, melainkan 1 Agustus sesuai hari kelahiran KH Ahmad Dahlan yang bernama asli Muhammad Darwis. (yps)

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.