Kebijakan Bank Sentral AS Terus Naikkan Suku Bunga Bisa Picu Resesi

Ketika inflasi melonjak, seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir, The Fed biasanya merespons dengan menaikkan suku bunga
Gedung Bank Sentral AS atau Federal Reserve di Washington, DC (Foto: Dok/voaindonesia.com/Reuters)

TAGAR.id, New York, AS - Bisakah Bank Sentral AS (Federal Reserve atau the Fed) terus menaikkan suku bunga dalam upaya melawan inflasi terburuk di AS dalam 40 tahun terakhir tanpa menyebabkan resesi?

Jawabnya: Tidak!

Menurut sebuah makalah penelitian baru yang menyimpulkan bahwa "disinflasi tak bernoda" seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Makalah tersebut diproduksi oleh sekelompok ekonom terkemuka, dan tiga pejabat The Fed menyampaikan kesimpulannya dalam sambutan mereka pada hari Jumat, 24 Februari 2023, di sebuah konferensi tentang kebijakan moneter di New York.

Ketika inflasi melonjak, seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir, The Fed biasanya merespons dengan menaikkan suku bunga, seringkali secara agresif, untuk mencoba mendinginkan perekonomian dan memperlambat kenaikan harga. Tingkat suku bunga yang lebih tinggi itu, pada gilirannya, membuat hipotek, pinjaman mobil, pinjaman kartu kredit, dan pinjaman bisnis menjadi lebih mahal.

Namun terkadang tekanan inflasi masih terus-menerus terjadi dan membutuhkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi untuk dijinakkan. Hasilnya -pinjaman yang makin mahal- dapat memaksa perusahaan untuk membatalkan usaha baru dan memangkas pekerjaan serta konsumen untuk mengurangi pengeluaran. Itu semua ujung-ujungnya akan memicu resesi.

Seorang perempuan berbelanja di manhattanSeorang perempuan berbelanja di toko kelontong di Manhattan, New York City (foto: ilustrasi). Harga barang-barang kebutuhan sehari-hari mengalami lonjakan harga akibat inflasi tinggi. (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Makalah penelitian itu menyimpulkan, hal itulah yang terjadi pada periode inflasi tinggi sebelumnya. Para peneliti meninjau 16 episode sejak 1950 ketika bank sentral seperti The Fed menaikkan biaya pinjaman untuk melawan inflasi, di Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Inggris. Dalam setiap kasus, terjadi resesi.

"Tidak ada preseden pasca-1950 untuk ... disinflasi yang cukup besar yang tidak memerlukan pengorbanan atau resesi ekonomi yang substansial," makalah itu menyimpulkan.

Selama setahun terakhir, The Fed telah menaikkan suku bunga jangka pendek utamanya sebanyak delapan kali.

Persepsi bahwa bank sentral perlu terus menaikkan biaya pinjaman diperkuat oleh laporan pemerintah pada Jumat, 24 Februari 2023, bahwa indikator inflasi the Fed mengalami percepatan pada bulan Januari, setelah beberapa bulan mengalami penurunan. Harga kembali melonjak 0,6% dari Desember hingga Januari, kenaikan bulanan terbesar sejak Juni tahun lalu.

Bukti terbaru adanya percepatan harga membuat The Fed perlu berbuat lebih banyak untuk mengalahkan inflasi yang tetap tinggi.

Namun Philip Jefferson, anggota Dewan Gubernur Fed, memberikan sambutan pada Jumat, 24 Februari 2023, di konferensi kebijakan moneter yang menyarankan bahwa resesi mungkin tidak dapat dihindari.

Jefferson meremehkan peran episode inflasi masa lalu, mencatat bahwa pandemi sangat mengganggu perekonomian sehingga pola historis inflasi tinggi sebelumnya kurang dapat diandalkan sebagai panduan dalam mengatasi inflasi kali ini.

“Situasi saat ini berbeda dari episode sebelumnya setidaknya dalam empat cara,” kata Jefferson.

Perbedaan tersebut, katanya, adalah gangguan rantai pasokan yang “belum pernah terjadi sebelumnya” sejak pandemi Covid-19; penurunan jumlah orang yang bekerja atau mencari pekerjaan; fakta bahwa Fed memiliki kredibilitas lebih sebagai pejuang inflasi daripada tahun 1970-an; dan fakta bahwa Fed telah melawan inflasi sekuat tenaga dengan delapan kali kenaikan suku bunga dalam satu tahun terakhir.

Dengan menggunakan data historis, para peneliti memproyeksikan bahwa jika the Fed menaikkan suku bunga acuannya menjadi antara 5,2% dan 5,5% — tiga perempat poin lebih tinggi dari level saat ini, yang menurut banyak ekonom akan dilakukan oleh Fed — tingkat pengangguran akan meningkat menjadi 5,1%, sementara inflasi akan turun hingga 2,9%, pada akhir 2025.

Inflasi pada level tersebut masih akan melebihi target the Fed, menunjukkan bahwa bank sentral harus menaikkan suku bunga lebih jauh lagi.

InflasiIlustrasi - Inflasi Diprediksi Meningkat. (Foto: Tagar/Istimewa)

Pada Desember, pejabat Fed memproyeksikan bahwa tingkat yang lebih tinggi akan memperlambat pertumbuhan dan menaikkan tingkat pengangguran menjadi 4,6%, dari 3,4% sekarang. Namun, mereka memperkirakan ekonomi AS akan tetap tumbuh sedikit tahun ini dan tahun depan, serta menghindari penurunan.

Ekonom lain telah menunjukkan periode ketika The Fed berhasil mencapai apa yang disebut dengan "soft landing", termasuk pada tahun 1983 dan 1994.

Namun, pada periode tersebut, menurut catatan makalah tersebut, inflasi yang terjadi tidak separah inflasi pada tahun lalu.

Tingkat inflasi pada 2022 lalu mencapai puncaknya pada Juni sebesar 9,1%, angka inflasi tertinggi di AS dalam empat dekade. Dalam kasus-kasus sebelumnya, the Fed lebih dahulu menaikkan suku bunga guna mencegah inflasi, daripada harus meredam inflasi setelah terjadi lonjakan harga. (pp/ft)/Associated Press/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan di Angka 5,75 Persen
Bank sentral itu juga mempertahankan suku bunga deposit facility pada level 5 persen, dan suku bunga lending facility pada level 6,5 persen
0
Kebijakan Bank Sentral AS Terus Naikkan Suku Bunga Bisa Picu Resesi
Ketika inflasi melonjak, seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir, The Fed biasanya merespons dengan menaikkan suku bunga