Yogyakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memilih enam orang menjabat menteri. Salah satunya Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas atau yang akrab disapa Gus Yaqut. Bukan tanpa alasan Jokowi memilih putra dari salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PBK) K.H Muhammad Cholil Bisri ini.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Ahmad Munjid berpendapat, Yaqut Cholil Qoumas bukan tanpa alasan. Menteri Agama yang lama, Fachrul Razi, bukan hanya tidak berprestasi. Namun sejak awal pria dari kalanga militer ini sering menimbulkan kontroversi, bahkan polarisasi di kalangan umat Islam.
Baca Juga:
Akademisi yang menyelesaikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat ini mengungkapkan, pernyataan Fachrul Razi soal rencana melarang cadar dan celana cingkrang, sertifikasi dai, hingga pendaftaran kelompok pengajian yang sangat menekankan kontrol pemerintah terhadap komunitas agama telah memicu kritik dari mana-mana.
Pengangkatan Yaqut adalah tindakan untuk memelihara dukungan dan aliansi politik dengan NU sebagai kelompok yang penting.
"Obsesi pemerintahan Jokowi untuk meredam radikalisme sebagai prioritas adalah alasan utama kenapa dulu Fachrul Razi yang berlatar militeritu dipilih. Pendekatan militeristiknya yang sangat top down ternyata gagal," kata Munjid saat dihubungi Tagar, Selasa malam, 22 Desember 2020.
Menurut Munjid, Yaqut Cholil dipilih karena punya track record dan komitmen menghadang radikalisme. Selain itu, ia juga dipilih karena latar belakangnya sebagai tokoh NU. Pada periode kedua Jokowi ini, meski Ma’ruf Amin diangkat sebagai wapres, banyak kalangan NU yang kecewa.
Baca Juga:
NU merasa telah berkontribusi besar dalam pengangkatan kembali Jokowi, tapi mereka tak merasa terwakili sebagaimana mestinya dalam kompoisisi kabinet Jokowi pra-reshuffle kemarin. "Pengangkatan Yaqut adalah tindakan untuk memelihara dukungan dan aliansi politik dengan NU sebagai kelompok yang penting," ungkapnya.
Dengan begitu reshuffle ini diandaikan akan memperbaiki citra pemerintah, mengembalikan kepercayaan publik, sekaligus tetap menjaga stabilitas relasi di antara para aktor utama, baik diantara mereka yang berposisi sebagai kawan maupun dengan mereka yang tadinya berposisi sebagai lawan. []