Untuk Indonesia

Jokowi Lemah Terhadap Kaum Radikal?

Jokowi terlihat lemah melawan intoleransi dan radikalisme. Banyak terjadi penindasan dan persekusi terhadap minoritas di mana-mana.
Denny Siregar penulis buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Oleh: Denny Siregar*

Dalam sebuah diskusi, seseorang bertanya.

"Bang, gua Golput. Sempat mau milih Jokowi, tapi dari apa yang terjadi selama ini, Jokowi terlihat lemah melawan intoleransi dan radikalisme. Banyak terjadi penindasan dan persekusi terhadap minoritas di mana-mana. Tolong berikan saya alasan yang kuat kenapa saya harus memilih Jokowi.."., katanya tegas.

Saya terdiam sebentar. Bukan tidak mampu menjawab, tetapi mencoba flashback ke masa 10 tahun SBY berkuasa. Dimana intoleransi dan radikalisme merajalela di mana-mana. Pembantaian jemaat Ahmadiyah di Cikeusik. Pengusiran dan pembunuhan warga Sampang di Madura.

Tetapi peristiwa itu bahkan tidak berpengaruh terhadap penilaian pada SBY. Malah ia terpilih lagi untuk kedua kalinya. Sedangkan pada masa Jokowi, belum terdengar ada yang terbunuh karena persekusi. Kalau bom karena terorisme itu beda lagi. Tetapi ini pun masih belum dianggap prestasi, karena terlalu besar harapan yang mereka sandangkan di bahu Jokowi.

Buat mereka, Jokowi haruslah menjadi Superman yang bisa menyelesaikan semua masalah yang sudah berakar selama puluhan tahun dalam waktu 4 tahun ia memimpin. Atau mereka sebetulnya ingin pak Tarno yang menjadi Presiden. "Prok prok prok jadi apa??" Selesai semua masalah.

Kuambil secangkir kopi yang tersedia. Kuseruput sebelum memulai mencoba menjelaskan gambar besarnya.

"Jokowi itu seorang tukang mebel. Ia ahli dalam bidangnya. Seorang tukang mebel jika melihat sebuah kursi yang tidak bisa diduduki misalnya, bukan kemudian menambal kerusakan supaya kursi itu tampak kembali sempurna. Ia tahu jika semua ditambal sulam, kerusakan kemudian akan jauh lebih parah."

Aku melanjutkan.

"Begitu juga yang dilakukan Jokowi dalam memperbaiki negeri ini yang sudah dalam stadium parah terkena kanker intoleransi dan radikalisme. Ia tidak main gebuk yang membangun perlawanan masif padanya. Atau sekadar memenjarakan orang supaya citra baiknya bertambah..

Bukan. Jokowi mencari akar masalahnya di mana. Ia tahu, akar masalahnya ada di kebodohan dan kemiskinan. Bodoh dan miskin akibat kesenjangan ekonomi yang sangat besar. Orang yang bodoh dan miskin mudah dipengaruhi karena waktu mereka banyak terbuang dan perut mereka lapar.

Karena itulah ia membangun infrastruktur dari Timur sampai ke Barat. Ia membangun bendungan besar supaya orang bisa panen berlipat. Ia membangun infrastruktur internet supaya orang bisa belajar dari dunia.

Ketika semua sudah terbangun, ekonomi akan meningkat. Semua orang terhubung dan sibuk bekerja. Sudah tidak ada lagi batasan suku, ras apalagi bertanya, "agamamu apa?" Semua membaur berdasarkan kepentingan pertukaran ilmu, jasa dan barang.

Butuh mungkin 10 sampai 20 tahun dari sekarang ketika semua itu bisa tercapai. Apakah itu akan berlaku di masa Jokowi? Bukan. Kemungkinan akan terjadi di masa Jan Ethes besar.

Anak anak kita, cucu cucu kita, kelak yang akan menikmatinya dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan dari orang-orang generasi kita yang lambat beradaptasi dari kemajuan teknologi. Kita memotong satu generasi yang selama ini terkontaminasi intoleransi.

Jokowi membangun pondasi. Rumah bersama yang kelak akan dibangun penerusnya nanti. Pada saat itu terjadi, kita baru bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan sudah memberikan orang yang benar."

Aku akhiri pembicaraan ini dan semua yang hadir bertepuk tangan. Mereka baru mengerti gambar besar dari apa yang sedang Jokowi lakukan.

Dari kejauhan, kulihat orang yang golput tadi menaikkan tangan dan mengacungkan jempol ke depan. Ah, lega rasanya bisa menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Dan kali ini aku butuh secangkir kopi....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Beli Migor Pakai PeduliLindugi Dinilai Sulitkan Rakyat
Masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak semua masyarakat mempunyai android. Dia juga mempertanyakan, mengapa orang susah dibikin susah.