Isu Krusial UU Pemilu Tahun 2017

Pendaftaran partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 selesai sudah. Terdapat 27 partai politik yang bakal meramaikan pemilu mendatang.
13 PARPOL BELUM LENGKAPI DOKUMEN: Komisioner KPU Hasyim Asyari memaparkan proses penggunaan sipol di operational room KPU Pusat, Jakarta, Rabu (18/10). Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan 13 partai tidak dapat mendaftarkan diri sebagai calon peserta pemilu karena ketidaklengkapan berkas. Sementara 14 partai lain hari ini hingga 15 November ke depan masuk tahap penelitian administrasi. (Foto: Ant/Reno Esnir)

Jakarta, (Tagar 19/10/2017) – Pendaftaran partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 selesai sudah. Terdapat 27 partai politik yang bakal meramaikan pemilu mendatang.

Menurut KPU Pusat, dari jumlah 27 partai politik yang mendaftar, sebanyak 14 parpol yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mereka menerima tanda terima KPU sebagai parpol peserta Pemilu 2019, sedangkan sisanya sebanyak 13 parpol harus melengkapi persyaratan.

Dalam konteks pelaksanaan demokrasi, parpol memiliki fungsi sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang paling mapan dalam sebuah sistem politik modern.

Sifat penting dari partai politik menjadi makin terlihat manakala dihubungkan dengan kepentingan publik yang perlu didengar oleh pemerintah (pelaksana kekuasaan eksekutif) dan parlemen (pemegang kekuasaan legislatif).

Alasan utama dari pentingnya keberadaan parpol dalam demokrasi, khususnya demokrasi tidak langsung, adalah karena ruang geografis yang makin luas dan populasi penduduk yang makin besar dalam wilayah suatu negara. Dalam situasi tersebut, masyarakat tidak mungkin menyalurkan aspirasinya secara langsung.

Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana partai politik memiliki tugas untuk menjadi "jembatan" antara rakyat dan pemerintah. Dengan demikian, partai politik merupakan salah satu pilar utama dan institusi demokrasi yang penting selain dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pemilihan umum, serta pers yang independen dalam rangka membangun kehidupan politik yang berkualitas dan beradab.

Salah satu wujud demokrasi adalah dengan pemilihan umum. Dengan kata lain, pemilu adalah pengejawantahan penting dari "demokrasi prosedural". Berkaitan dengan ini, Samuel P Huntington dalam Sahid Gatara (2008: 207) menyebutkan, prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin.

Selain itu, pemilu sangat sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau "demokrasi subtansial", yakni demokrasi dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.

Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu serentak 2019 adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-undang ini terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan empat lampiran.

Ditegaskan dalam UU ini bahwa pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud, dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; g. proporsional; h. profesional; i. akuntabel; j. efektif; dan k. efisien.

Menurut UU, peserta pemilihan umum untuk Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Parpol dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Untuk kepala daerah, wakil kepala daerah, kepala desa dan perangkat desa, badan permusyawaratan desa, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan/atau Badan Usaha Milik Desa, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, menurut UU ini, mengundurkan diri jika ingin menjadi peserta Pemilu Anggota DPD RI.

Dalam undang-undang ini menentukan ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Artinya, partai politik dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden jika menduduki setidaknya 20 persen kursi DPR.

Dalam UU tersebut, tidak mengubah sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia sehingga masih berkonsekuensi membeludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Hal ini wajar karena pasca-Reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru di luar tiga parpol yang hidup pada era Orde Baru.

Walaupun demikian, pembatasan partai politik peserta pemilu memang perlu untuk memperkuat dan memperdalam demokrasi. Pembatasan ini pun bukan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Dampak UU Pemilu

Selain ambang batas pemilihan umum presiden, isu krusial dalam UU Pemilu yang akan menjadi pijakan untuk Pemilu 2019 adalah ambang batas parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi anggota DPR per daerah pemilihan, dan sistem pemilu.

Tidak banyak publik yang mengetahui bahwa UU ini menambah jumlah anggota DPR sebanyak 15 kursi, dari semula 560 kursi menjadi 575 kursi yang akan didistribusikan di beberapa provinsi di luar Jawa, seperti Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat.

Kalau kita lihat perspektif publik bisa jadi sorotan apakah menambah kursi DPR ini benar-benar berkontribusi pada penguatan fungsi perwakilan di perlemen kita. Akan tetapi, kita tidak banyak mendiskusikan persoalan itu.

Beberapa DPRD provinsi juga menambah jumlah kursi dengan alasan pertumbuhan jumlah penduduk. Misalnya, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang maksimal 100 kursi sekarang menjadi 120 kursi. Itu akan berdampak signifikan terhadap kehidupan politik dan masyarakat.

Selain itu, bertambahnya jumlah maksimal sumbangan dana kampanye. Pada pemilu sebelumnya, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 1 miliar, sekarang dinaikkan menjadi Rp 2,5 miliar. Sementara itu, sumbangan dari badan hukum atau korporasi paling banyak Rp 7,5 miliar, sekarang dinaikkan menjadi Rp 25 miliar.

Bisa dibayangkan kemudian persepsi kita soal uang yang beredar dalam pemilu kita kalau batasannya saja naiknya luar biasa.

Menekan Kecurangan

Salah satu dampak tersebut tentu juga akan bertalian dengan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Menurut Susan Hyde dkk. (2008) dalam Election Fraud: Detecting and Deterring Electoral Manipulation, persoalan utama dalam pemilu adalah mengenali dan mencegah terjadinya fenomena electoral fraud, election manipulation, atau vote rigging; suatu kecurangan pemilu yang terjadi karena intervensi atau campur tangan secara ilegal pada penyelenggaraan pemilu.

Tindakan ini berdampak pada penghitungan suara yang dapat memengaruhi hasil pemilu, bisa meningkatkan hasil suara, mengurangi, atau keduanya pada kandidat tertentu. Namun, tindakan legal yang secara moral tidak dapat diterima, tidak cerminkan semangat dalam aturan kepemiluan. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, termasuk dalam kategori "electoral fraud".

Hyde mengidentifikasi "electoral fraud" (kecurangan pemilu) meliputi: manipulasi pemilih (manipulasi demografi, penghilangan hak pilih, memecah dukungan oposisi); intimidasi; jual beli suara; penyesatan informasi; coblos ganda; manipulasi dalam rekapitulas; penggunaan pemilih semu; merusak kertas suara; pembajakan sistem teknologi informasi dalam pemungutan suara; pembajakan hak pilih; manipulasi hasil rekapitulasi suara.

Kategori kecurangan pemilu yang dirumuskan Hyde ini relevan dalam menjelaskan masalah aktual dalam pemilu nasional maupun pilkada di Indonesia, mulai tahapan penyusunan aturan teknis hingga pemungutan suara.

Konsekuensi dari UU Pemilu bagi partai politik adalah bahwa mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, semua partai politik akan berusaha untuk memperoleh dukungan sebesar-besarnya dalam suatu pemilihan umum untuk memengaruhi arah kebijakan negara.

Tinggal dengan cara apa partai politik akan menarik simpati rakyat untuk memperoleh dukungan rakyat pada periode pemilu serentak pada tahun 2019. Apakah akan tetap menggunakan pola-pola pendekatan lama atau akan menggunakan pola-pola pendekatan yang baru dengan konsekuensi akan menghadapi perjuangan yang sangat berat?

Pandangan apriori masyarakat terhadap parpol yang dibuktikan dengan makin berkurangnya partisipasi pemilih dalam setiap pemilu bukan tanpa alasan. Pasalnya, sampai saat ini belum tampak hasil kerja nyata parpol yang benar-benar berdampak positif pada kehidupan masyarakat, khususnya setelah pelaksanaan pemilu. (Suryanto/Penulis adalah staf pengajar Komunikasi Politik pada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang/ant/yps)

Berita terkait