TAGAR.id, Jakarta - Pemerintah memastikan bahwa tidak ada lagi tenaga honorer di tiap instansi pemerintah pada tahun depan, sesuai perintah yang tertuang dalam PP 49/2018 yang berisi aturan tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Dalam peraturan itu, disebutkan bahwa pegawai non-PNS di instansi pemerintahan dapat melaksanakan tugas paling lama hingga 2023 mendatang.
Apa alasan di balik rencana penghapusan honorer ini?
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Alex Denni, menegaskan rencana penghapusan tenaga honorer bukanlah kebijakan yang 'turun dari langit'.
"Sebetulnya ini bukan tiba-tiba. Tapi sudah dari 2005. Itu sudah inventarisir," kata Alex, dikutip dari CNBC Indonesia .
Alex menuturkan, pada saat itu ada sekitar 900 ribu tenaga honorer. Di saat itu pula, pemerintah sepakat untuk mengangkat sekitar 860 ribu tenaga honorer untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
"Sisanya tidak memenuhi kriteria, tapi yang sisanya ingin diproses lebih lanjut. Begitu di data ulang dan membengkak jadi 600 ribuan. 11x lipat membengkak angkanya pada saat itu," jelasnya.
Pembengkakan angka tenaga honorer di tiap instansi tersebut akhirnya mendorong terbitnya Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara 5/2014. Dalam aturan, ditetapkan hanya ada dua kategori ASN yakni PNS dan PPPK.
Namun, bukan berarti pemerintah tak lagi mengangkat tenaga honorersetelah terbitnya UU tersebut . Bahkan hingga saat ini, ada beberapa instansi yang tetap merekrut tenaga honorer, meskipun hal tersebut telah dilarang.
"Sejak 2005 sudah dilarang. Jadi sebetulnya PP 48/2005 junto 43/2007. pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer. Jadi semua orang sudah tahu ini enggak boleh. Tapi yang diangkat masih diangkat, yang mau masih mau," ujarnya.
Selain itu, Alex juga angkat bicara mengenai rencana besar pemerintah dalam mentransformasikan sistem birokrasi PNS. Bukan tidak mungkin, ada beberapa kriteria PNS yang terdampak.
Alex mengatakan hampir 38% dari total 4,2 juta ASN di Indonesia berstatus sebagai pelaksana. Sementara itu, sebanyak 36% lebih berstatus sebagai guru dan dosen.
"Kemudian tenaga teknis, kesehatan dan lain-lain itu sekitar 14%. Sisa-sisanya 10-11% pejabat struktural. Kalau bicara transformasi digital, tentu pelaksana ini yang akan terdampak terlebih dahulu karena pekerjaan akan digantikan teknologi," kata Alex.
Alex mengatakan dalam 5 tahun yang akan datang, para pejabat pelaksana akan berkurang sekitar 30-40% dengan rencana transformasi digital. Artinya, ratusan ribu PNS yang menjabat sebagai pelaksana akan terdampak.
"Mungkin sekitar 600 ribu dari 1,6 juta yang melakukan pelaksana itu harus bertransformasi, upskilling/reskilling melakukan pekerjaan yang lain lebih value added atau by nature yang pensiun kita tidak ganti," tegasnya. []
Baca Juga
- Ketua DPD RI Sesalkan Pencurian Benda-Benda Bersejarah
- Ketua DPD RI Dukung Jatim Jadi Pilot Project e-Perda
- Tekan Kemiskinan, Ketua DPD RI Usul Pemberdayaan Ekonomi Desa Dipercepat
- Ketua DPD RI Patahkan Klaim Luhut Soal Analisa Big Data Penundaan Pemilu 2024