Ini Kata Pengamat tentang Buku Prabowo, Paradoks Indonesia

Prabowo bikin buku berjudul 'Paradoks Indonesia'. Ini kata pengamat tentang buku Prabowo itu.
Siluet bakal calon presiden Prabowo Subianto saat menjadi pembicara dalam seminar 'Paradoks Indonesia' di Jakarta, Sabtu (1/9/2018). (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)

Jakarta, (Tagar 6/9/2018) - Pengamat ekonomi Yudi Budiman menanggapi buku karya bakal calon presiden Prabowo Subianto berjudul 'Paradoks Indonesia: Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin'.

"Iya setiap negara pasti ada yang miskin. Di Australia juga ada gelandangan. Jadi saya kira mungkin yang terpenting menyikapi kemiskinan yaitu bagaimana seluruh potensi anak bangsa ini ikut serta dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk bagaimana cara memiliki program agar tiap tahun jumlah penduduk miskin itu semakin lama makin berkurang," kata Yudi Budiman saat dihubungi Tagar, Rabu (5/9).

Sebelumnya, bakal calon presiden Prabowo Subianto menjadi pembicara dalam seminar 'Paradoks Indonesia' di Jakarta, Sabtu (1/9). Seminar yang dihadiri oleh profesor, cendekiawan, dosen, guru, dan pengamat itu untuk mengupas buku karya Prabowo Subianto berjudul 'Paradoks Indonesia: Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin'.

"Saya kira di negara mana pun pasti ada yang miskin, cuma tingkat kemiskinan itu seperti apa, apakah trennya naik atau turun," kata Yudi.

Prabowo dalam buku tersebut menyatakan kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri. 

Yudi mengatakan wajar kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri, tapi disamping itu Indonesia juga menerima kekayaan dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri.

"Kalau mengalir ke luar negeri itu dari sudut pandang dimana kita lebih banyak impor. Ini karena memang kita itu hidup ditengah-tengah ekonomi global. Semua negara pasti kekayaannya itu mengalir ke luar negeri. Tapi juga disamping mengalir ke luar negeri, kita juga menerima kekayaan yang dari luar negeri mengalir ke dalam negeri. Aliran modal itu namanya keluar masuk. Ada yang keluar ada yang masuk begitu. Jadi saya kira ini perlu didudukkan pada proporsi yang pas," ucap Yudi.

Seolah-olah

Yudi menekankan, "Jadi nanti jangan seolah-olah misalnya kekayaan kita mengalir keluar negeri, seolah-olah kita tidak ada aliran dari luar negeri. Memang kekayaan mengalir ke luar negeri itu hampir setiap negara karena kita harus membayar ekspor kita mungkin kerja sama pertambangan, dan sebagainya. Tetapi juga kita menerima aliran dari luar negeri juga ada. Ada keluar, tapi kita juga punya pemasukan dari situ."  

Prabowo dalam bukunya menyebutkan tiap tahun 1000 triliun kekayaan nasional mengalir ke luar negeri. Ia juga mengutip data Kementerian Keuangan tahun 2016 yang menyebutkan 11.400 triliun uang pengusaha Indonesia terparkir di luar negeri, satu di antaranya di Singapura.

Yudi menekankan pentingnya melihat persoalan ekonomi nasional dengan pandangan yang luas, tidak hanya memandang dari sudut kekayaan Indonesia mengalir ke luar negeri saja. 

"Saya kira sudut pandangnya harus dilengkapi. Aliran modal ada memang ke luar negeri kekayaan kita, tapi ada juga kekayaan luar negeri mengalir ke kita. Saya kira ada yang masuk, dan ada yang keluar. Kita sudut pandangnya harus luas. Tidak hanya melihat sisi keluar, tapi melihat sisi yang masuk. Aliran masuknya juga harus kita lihat," ujar dia.

PrabowoBakal calon presiden Prabowo Subianto memberikan paparan saat menjadi pembicara dalam seminar 'Paradoks Indonesia' di Jakarta, Sabtu (1/9/2018). Seminar yang dihadiri oleh profesor, cendekiawan, dosen, guru, dan pengamat itu untuk mengupas buku karya Prabowo Subianto berjudul 'Paradoks Indonesia: Negara Kaya Raya, tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin'. (Foto: Antara/Rivan Awal Lingga)

"Kekayaan luar negeri juga ada yang mengalir ke dalam negeri, kan banyak juga investasi luar negeri, indirect juga banyak, dan investasi langsung itu kan melalui pembelian pabrik-pabrik melalui investasi perkebunan, penanaman pohon. Kemudian investasi tidak langsung (indirect) bisa juga melalui pembelian pasar modal, pembelian saham-saham. Semua itu investasi baik direct (langsung) atau indirect (tak langsung) itu kan akan memacu pertumbuhan ekonomi," jelas Yudi.

Sistem

Prabowo dalam bukunya juga menyebut demokrasi dikuasai pemodal besar. Ia menganalogikannya dengan pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Kurawa yang dimaksud adalah para pemodal besar, kaum borjuis dari bangsa sendiri maupun bangsa asing. Sedangkan Pandawa adalah orang-orang baik yang berjuang demi kemaslahatan umat.

Yudi mengatakan, di negara mana pun dalam sistem demokrasi selalu ada pemodal. 

"Yang penting semua harus ada aturan yang kuat, sistemnya jelas. Jadi kalau ada sistem dan aturan berarti sudah kita percayakan pada sistem itu," tuturnya.

Ia menambahkan, "Setiap orang bebas menulis apa saja. Tapi kalau ada persoalan ekonomi, politik, demokrasi dan sebagainya saya kira ini menjadi persoalan dan tugas seluruh anak bangsa bagaimana menyelesaikan. Kita tidak bisa kemudian menyalahkan, kemudian menimpakan kesalahan kepada salah satu pihak. Tidak bisa begitu. Menurut saya ini menjadi tanggung jawab bersama juga bagaimana bangsa ini jadi maju."

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Ferry Juliantono mengatakan buku Paradoks Indonesia bukan hanya berdasar pemikiran Prabowo semata, tapi juga mengutip sumber-sumber data yang terpercaya dan bisa dipertanggungjawabkan. 

"Valid lah," katanya.

Mampu Bayar

Prabowo Subianto dalam peluncuran buku Paradoks Indonesia, mengatakan bahwa utang negara terus-menerus naik, hingga mencapai angka Rp 1 triliun setiap harinya.

Utang tersebut, menurut mantan Danjen Kopassus, dapat mengancam stabilitas perekonomian bangsa.

Selasa (4/9) dilansir Antara Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menanggapi pernyataan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto tersebut.

Jusuf Kalla di Kantor Wapres RI, Jakarta, mengatakan bahwa utang menjadi wajar dilakukan oleh sebuah negara, apalagi Indonesia yang sedang melakukan pembangunan infrastruktur.

Ia mengatakan bahwa semua negara yang ingin membangun itu sama dengan perusahaan. Semua negara yang membangun butuh dana. Kalau tidak punya modal, harus meminjam.

"Negara mana saja menjalankan itu, cuma caranya beda," kata Wapres.

Di Amerika Serikat, Wapres mengatakan bahwa pinjaman dilakukan dengan mencetak dolar, sementara pemerintah Jepang meminjam dari dana pensiun warganya.

Sementara itu, Indonesia, karena rupiah tidak laku di luar negeri, Pemerintah melakukan pinjaman uang kepada Band Dunia dan perbankan.

JK menegaskan bahwa kepemilikan utang Indonesia bukan hal yang perlu dikhawatirkan selama Pemerintah mampu membayarnya.

"Jadi, bukan soal Rp 1 triliun, melainkan mampu membayar atau tidak? Sekarang ini, ya, kita mampu membayarnya. Selama kita bisa bayar, bukan urusan T-nya (triliun), melainkan kita bisa bayar atau tidak," tegas Wapres Kalla. []

Berita terkait