Hikayat Aceh: Nazam yang Nyaris Punah

“Sekarang banyak yang tidak bisa membaca bahasa Arab, bahasa Arab kan karakter mengaji, kalau orang pandai mengaji pasti bisa membaca nazam.”
Teungku Ismail Daud atau Cut `E memperlihatkan nazam salinan Syekh Andid setebal 328 halaman, generasi sebelum Cut `E. Ia sudah 45 tahun mempertahankan dan membaca Nazam Aceh. (fzi)

Aceh Besar, (Tagar 23/2/2018) – Hari itu jarum jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, sepuluh meter di depan lelaki separuh baya berdiri sambil tersenyum seakan sudah menunggu kedatangan kami. Teungku Ismail Daud nama lelaki berkulit hitam itu. Ia salah satu yang melestarikan Nazam Aceh.

“Nazam merupakan kumpulan dari beberapa kitab yang ditulis kembali dalam bentuk bahasa Aceh dengan tulisan Arab Melayu,” kata Cut `E, panggilan akrab Teungku Ismail saat memulai percakapan beberapa waktu lalu.

Di rumah milik Cut `E yang setengah terbuat dari papan itu tepatnya di Tanjong Dayah, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Tagarnews menelusuri berbagai kisah dan pengalaman Teuku Ismail dengan nazamnya.

Pria kelahiran 1951 mengaku sudah 45 tahun membaca nazam, menurutnya nazam merupakan ilmu yang sangat berguna karena nazam mengajarkan banyak ajaran Islam. “Nazam juga disebut berbagai sifat dan akhlak yang dianjurkan dalam Islam,” kata ayah enam anak itu.

Cut `E begitu semangat menceritakan sejarah nazam yang hari ini sangat sedikit bahkan nyaris punah keberadaan dan penerusnya. Cut `E menceritakan nazam yang sering ia bacakan ialah nazam Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum dengan judul asli “Akhbarul Na’im” (Kabar yang Nikmat) yang ditulis pada tahun 1269 Hijriah. Secara umum isi nazam Teungku Di Cucum merupakan nasehat bagi umat Islam sepanjang hayatnya, misalnya sejak dalam kandungan, lahir ke dunia, usia anak-anak, remaja, menikah, beranak-bercucu, berumur hingga meninggal dunia.

“Baru setengah saja sudah 67 masalah. Misalnya tentang pernikahan sudah lengkap dan sangat detail dijelaskan,” sebutnya sambil membacakan sedikit isi nazam Teungku Di Cucum.

Momen Pembacaan Nazam

Pembacaan nazam katanya dilakukan seperti saat akan mengkhitankan anak, menunaikan nazar, hari Isra Mikraj dan menyambut bulan suci Ramadan. Biasanya pembacaan Nazam berturut-turut 4 sampai 6 malam.

“Pembacaan nazam berbeda dengan ceramah sebab ia kalau sudah dibaca pasti harus dihabiskan,” kata Cut `E sambil memperlihatkan nazam salinan Syekh Andid sebanyak 328 halaman, generasi sebelum Cut `E.

Ia menilai generasi saat ini banyak yang tidak tertarik terhadap Nazam karena kurangnya pengenalan, selain itu ia juga menyayangkan generasi sekarang tidak peka terhadap peninggalan sejarah Aceh khususnya Nazam itu sendiri.

“Sekarang banyak yang tidak bisa membaca bahasa Arab, bahasa Arab kan karakter mengaji, kalau orang pandai mengaji pasti bisa membaca Nazam,” ujarnya.

Walaupun sudah puluhan tahun menyelamatkan nazam, Cut `E mengaku sampai saat ini tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Ia harus menyelamatkan nazam agar tidak punah tergilas zaman.

“Kalau ada sedekah dari orang yang mengundang saya membacakannya, mudah-mudahan pemerintah peduli dengan nazam,” harapnya.

[caption id="attachment_44886" align="alignnone" width="712"] Teuku Abdullah Sulaiman atau TA Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh. Ia juga penyalin dan pembaca hikayat Aceh. (fzi)[/caption]

Syair tentang Nilai Islam

Sementara itu Dosen Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Teuku Abdullah mengatakan isi dalam nazam adalah syair-syair tentang agama Islam.

“Nazam itu lebih ke agama, dalam nazam banyak hal yang diceritakan, ada tentang ajaran fikah (kitab) kemudian tentang masalah hadis Nabi, kisah perjalanan Nabi. Cerita agama itulah nazam,” kata TA Sakti panggilan akrab Teuku Abdullah yang ikut mengunjungi Teuku Ismail Daud (Cut `E)  di kediamannya beberapa waktu lalu.

TA Sakti peminat budaya dan sastra Aceh yang hobi menulis itu juga mengungkapkan selain nazam ada satu jenis lagi yang sama menceritakan tentang agama, yakni tambeh. “Tapi saya melihat kalau tambeh lebih banyak ayat Alquran,” kata pria kelahiran 1954 ini.

Menurut TA, di antara nazam, hikayat dan tambeh yang paling cepat menghilang ialah tambeh. “Karena lebih sukar, untuk menulis pun juga sangat sulit. Sedangkan nazam hanya isi agama dengan bahasa Aceh yang ditulis dengan bahasa Melayu, jadi sebenarnya lebih enak nazam.” (fzi)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.