Jakarta - Gunung es terbesar di dunia yang dikenal dengan nama A68 terapung-apung tanpa tujuan pasti di laut lepas. A68 memiliki berat sekitar 1,1 triliun ton dengan ukuran mencapai enam ribu kilometer persegi.
Hal ini dipengaruhi perbedaan massa jenis antara air tawar dan air laut.
Sejak 12 Juli 2017 gunung es ini mulai bergeser menjauh dari Benua Antartika sejak 12 Juli 2017. A68 menghabiskan tiga tahun terombang-ambing ke arah utara. Kini, kumpulan es itu sudah mencapai Samudera Atlantik Selatan.
"Gunung es, sebagaimana lempengan es, mulanya mulanya mengambang di air asin lautan yang terbentuk dari air tawar es gletser," ucap Ahli Gunung Es dari Universitas Swansea, Adrian Luckman, Jumat, 7 Februari 2020, seperti dikutip dari Mirror.
Hanyutnya A68, lanjut dia, diperkirakan tidak akan menambah permukaan air laut jika benar mencair. Menurut dia, gunung es yang runtuh dari lempengan besar tidak akan menyebabkan permukaan air laut menjadi naik, karena gunung es sendiri sejak mulanya sudah mengapung di lautan.
Ia mengatakan, gunung es yang lepas dari lempengan utama sebagian besar punya kontak atau menempel dengan dasar laut perairan dangkal. Mayoritas gunung es berada di dalam air laut dan hanya menampilkan sebagian gundukan saja di permukaan. Lempengan es hanya dapat ditemui di daerah daratan bersuhu super dingin seperti Antartika, Greenland, Kanada dan Arktika.
"Hal ini dipengaruhi perbedaan massa jenis antara air tawar dan air laut," kata dia.
Sedangkan, air laut yang membeku memiliki tebal kurang dari tiga meter dan dapat ditemui di seluruh Samudera Arktika, juga di sekitar benua Antartika.
Runtuhnya lempengan es Lersen C menjadi Gunung Es A68 tidak langsung membuat permukaan air laut naik. Pasalnya, lempengan es memiliki peran sebagai penahan yang mencegah aliran gletser dari daratan langsung masuk ke laut.
"Jika penahan ini hilang, maka gletser dari daratan akan leluasa masuk ke lautan dan ini dapat menyebabkan kenaikan air laut," ujarnya.[]