Elektabilitas Sekitar 50 Persen, Jokowi Belum Aman

Elektabilitas sekitar 50 persen, Jokowi belum aman. Bandingkan dengan SBY pada periode kedua, elektabilitasnya sekitar 70 persen.
Elektabilitas Sekitar 50 Persen, Jokowi Belum Aman. Presiden Joko Widodo (kiri) menerima Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka. (Foto: SBY Centre/Anung)

Jakarta, (Tagar 6/7/2018) - Dengan elektabilitas Jokowi sekitar 50 persen untuk ukuran incumbent belum pada posisi aman dan sangat rawan kalah dari lawannya. Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode kedua, dimana elektabilitasnya sekitar 70 persen, meskipun hasil akhirnya mengalami penurunan.

Hal itu disampaikan Karyono Wibowo Pengamat Politik dari Indonesian Public Institute (IPI).

"Untuk kasus Jokowi saat ini, tim koalisinya jangan terlalu congkak, jangan sekadar membuat Jokowi itu senang atau confident. Beliau harus diberi masukan dengan kondisi riil. Ada pendapat Pak Jokowi dipasangkan dengan siapa pun jadi, jangan. Ini berbahaya. Saya sayang Pak Jokowi, makanya saya ingatkan," ucap Karyono saat menjadi pembicara diskusi tentang Peta Kekuatan Capres Pasca Pilkada Serentak, di Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Kamis (5/7), mengutip Antara.

Ia berpendapat wacana poros ketiga yang digaungkan Partai Demokrat dengan menyandingkan Jusuf Kalla dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) atau Jusuf Kalla-Anies Baswedan dapat menggerus elektabilitas Joko Widodo pada Pilpres 2019.

"Kalau seandainya muncul poros ketiga maka berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi. Masalahnya, adalah elektabilitas Jokowi saat ini masih dikisaran 50 persen," katanya. 

Berdasarkan hasil survei kuantitatif yang dilakukanya pada 20 April sampai 20 Mei 2018 dengan sampel 2040 responden, margin of erorr sekitar 2,2 persen, elektabilitas Jokowi sekitar 50 persen.

"Memang dari hasil survei itu Jokowi memang masih tinggi. Kalau kita bicara elektabilitas capres 2019, memang masih didominasi dua figur calon, Jokowi dan Prabowo. Tokoh-tokoh lain seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, AHY, Muhaimain Iskandar, Sri Mulyani, dan Airlangga Hartarto. Ketum-ketum partai itu masih di bawah lima persen. Jadi di bawah Prabowo itu ada Anies, ada AHY," jelas Direktur IPI ini.

Menurut dia, bila dalam top of mind, jawaban spontan, apabila hari ini Pilpres, langsung spontan menjawab Jokowi dengan 43,5 persen dan Prabowo 16,2 persen.

Bibit Bebet Bobot

Sampai hari ini belum jelas siapa penantang Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang. Calon wakil presiden Jokowi pada Pilpres mendatang juga belum jelas. Satu-satunya yang jelas bahwa koalisi pendukung Jokowi pada Pilpres mendatang sudah memenuhi syarat ambang batas pencalonan. 

Ridwan Kamil (RK) calon gubernur Jawa Barat menyatakan kesiapannya mendukung pasangan Jokowi bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (JOIN) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2019.

"Hari ini saya menyatakan sikap untuk Pilpres 2019 dengan 'all out' mendukung Jokowi-Cak Imin alias JOIN," kata Ridwan Kamil saat berkunjung ke Kantor DPP PKB Jakarta pada Rabu (4/7).

Dalam Pilkada Jawa Barat Ridwan Kamil berpasangan bersama Uu Ruzhanul Ulum diusung oleh PKB, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hanura, dan Partai Nasdem.

"Mari kita bersama-sama membangun negeri ini agar lebih baik kedepannya. Tak usah terbuai dengan janji yang mengawang-awang. Pilih saja yang sudah terbukti bibit, bebet, dan bobotnya," ujar RK.

Sementara itu Yopie Hidayat ahli ekonomi sekaligus mantan juru bicara Wakil Presiden ke-11 RI Boediono, memandang Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan seorang teknokrat yang ahli pada bidang industrialisasi untuk mendampinginya sebagai cawapres di Pilpres 2019.

"Jokowi harus mencari wakil seorang teknokrat yang mumpuni di bidang industrialisasi yang juga memiliki dukungan kuat dari partai politik," ujar Yopie dihubungi di Jakarta, Kamis.

Yopie menjelaskan ketiga kriteria itu perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah mendasar bangsa kedepan.

"Tanpa itu, masalah mendasar kita tak akan pernah teratasi," jelas dia.

Dia mengatakan salah satu tantangan terbesar Jokowi dalam lima tahun kedepan jika terpilih lagi sebagai Presiden adalah menjaga rupiah agar nilainya tidak terus merosot.

Dia menekankan sumber masalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah defisit neraca transaksi berjalan atau current account, dimana dolar yang masuk ke Indonesia dari hasil ekspor lebih sedikit daripada dollar yang keluar untuk membayar impor dan sebagainya.

"Ini sebabnya mengapa rupiah terus melemah terhadap dolar dan ini masalah ekonomi paling mendasar yang harus menjadi prioritas Presiden," jelas dia.

Menurut Yopie, jika tidak diatasi, maka ekonomi Indonesia akan keropos dimana mata uang rupiah terus melemah.

"Percuma saja ada berbagai program pembangunan jika ekonomi Indonesia fondasinya lemah, karena terus menderita defisit 'current account'," ujarnya.

Dia menekankan untuk mengatasi defisit current account dibutuhkan upaya terkoordinasi di antara semua menteri, terutama menteri-menteri yang mengurusi masalah ekonomi.

Dia mengatakan agar Indonesia memperoleh dolar lebih banyak, maka penerimaan ekspor harus jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk impor.

"Maka pemerintah harus mengupayakan lebih banyak ekspor berupa produk manufaktur hasil industri, yang bernilai lebih tinggi. Indonesia tak bisa lagi tergantung pada ekspor komoditas seperti sekarang karena komoditas nilainya relatif lebih rendah dan harganya sangat fluktuatif, naik turun tak stabil, " jelasnya.

Dia menyarankan Jokowi agar menjadikan industrialisasi sebagai tema utama pemerintah dalam lima tahun mendatang guna mendorong penerimaan hasil ekspor.

"Jika sekarang temanya pembangunan infrastruktur maka lima tahun mendatang harus industrialisasi. Selain untuk meningkatkan penerimaan ekspor, otomatis rakyat akan lebih sejahtera jika Indonesia berhasil melakukan industrialisasi," nilai dia.

Oleh karena itu, Yopie berpandangan calon wakil presiden yang ideal mendampingi Jokowi pada masa jabatan berikutnya adalah seorang teknokrat yang mampu memperkuat Presiden dalam menggerakkan industrialisasi serta menguasai masalah untuk mengoordinasikan perbaikan ekonomi secara struktural.

Namun demikian, dia juga mengingatkan agar calon tersebut harus pula mendapatkan dukungan partai politik. Sebab realitas politik Indonesia membuat dukungan partai menjadi sangat krusial.

"Tanpa dukungan politik dari partai, tidak mungkin pendamping Jokowi akan dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.

Tanpa dukungan partai, Presiden dan wakilnya akan lebih sibuk menyelesaikan tarik-menarik di panggung politik ketimbang bekerja secara riil," ujarnya. (af)

Berita terkait