Jakarta, (Tagar 25/3/2019) - Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai polemik soal bendera hitam di tengah kampanye terbuka capres nomor urut 02 Prabowo Subianto di Manado, Minggu (24/3), perlu diselesaikan lewat ranah hukum.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin diketahui menyebut bendera hitam itu milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengatakan terang-terangan lambang itu bendera tauhid.
"Kita belum bisa menyimpulkan siapa yang benar. Harus dibawa ke ranah hukum. Biar penegak hukum yang menilai. Karena jika kedua kubu, baik TKN dan BPN sifatnya subjektif. Pasti akan membenarkan pendapatnya masing-masing," terang dia saat dihubungi Tagar News, di Jakarta, Senin (25/3).
Dalam berdemokrasi, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tak bisa dipungkiri selalu perbedaan pandangan. Apalagi pada masa kampanye terbuka, akan terus mewarnai hingga 13 April mendatang.
"Berdemokrasi itu akan melahirkan perbedaan-perbedaan pandangan. Dan hukum lah yang harus menyelesaikan. Oleh karena itu, demokrasi harus pararel dengan penegakkan hukum yang benar dan adil," beber dia.
Oleh karena itu, sekali lagi menurutnya cara menghadapi perbedaan pendapat dalam dunia politik, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Hukum yang harus bicara serta ada yang melapor ke penegak hukum. Jika tidak, khawatir akan menambah konflik di dua kubu.
"Ya karena berdebat di udara tak akan menyelesaikan masalah. Yang ada hanya akan menambah masalah. Dan akan menambah konflik di dua kubu," tukasnya.
Baca juga: Ketika Bendera HTI Berkibar di Panggung Utama Kampanye Prabowo