TAGAR.id, Gedung Putih, Washington, DC, AS – Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump, belum memberikan perincian tentang bentuk kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan barunya. Patsy Widakuswara melaporkannya untuk VOA.
Percakapan dengan para pemimpin setelah kemenangannya menunjukkan bahwa ia bermaksud memenuhi janjinya untuk segera mengakhiri konflik di Timur Tengah dan Ukraina.
Perang antara Israel dan Hamas di Gaza dan invasi Rusia di Ukraina, akan menjadi latar belakang global ketika Donald Trump dan kebijakan luar negerinya yang “America First (Dahulukan Amerika)” kembali ke Gedung Putih.
“Tidak ada yang akan menghentikan saya untuk menepati janji saya kepada Anda, rakyat. Kami akan membuat Amerika aman, kuat, makmur, berpengaruh, dan bebas lagi.”
Masa jabatan Trump dimulai pada tanggal 20 Januari, tetapi ia telah berbicara dengan para pemimpin dunia, termasuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Moskow membantah laporan bahwa Trump juga telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Trump berkampanye untuk mengakhiri perang dengan cepat. Para analis mengatakan ia sangat ingin mewujudkannya.
Charles Kupchan, peneliti senior di Council on Foreign Relations, organisasi wadah pemikir independen dan nonpartisan, mengatakan,
“Jika menyangkut Timur Tengah, saya pikir dalam beberapa hal, pesannya adalah ‘segera selesaikan perang ini.’ Untuk Ukraina, pesannya adalah ‘hentikan.’”
Trump tidak pernah menjelaskan bagaimana ia akan menghentikan perang itu, tetapi ia sering mengkritik miliaran dolar bantuan Amerika Serikat yang diberikan kepada Ukraina. Berakhirnya perang dengan cepat dapat berarti konsesi besar oleh Kyiv, sesuatu yang menurut Zelenskyy tidak mungkin terjadi.
“Kami menginginkan akhir yang adil bagi perang ini. Saya yakin bahwa berakhirnya perang dengan cepat berarti kerugian,” jelasnya.
Dengan pengiriman tentara Korea Utara untuk membantu Moskow, perang di Ukraina dapat berimplikasi geopolitik yang lebih luas, pada saat ketegangan meningkat di Semenanjung Korea.
Trump juga harus berurusan dengan Israel, yang tampaknya berfokus pada tujuan maksimalis daripada gencatan senjata, tidak hanya dengan Hamas di Gaza, tetapi juga dengan Hizbullah di Lebanon. Kedua kelompok tersebut merupakan proksi Iran.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, “Kami melihat ancaman Iran dalam semua komponennya dan bahaya yang ditimbulkannya. Kami juga melihat peluang besar bagi Israel di bidang perdamaian dan perluasannya.”
Trump berjanji akan bersikap keras dalam hal perdagangan, terutama terhadap China. Dalam ucapan selamatnya kepada Trump, Presiden China Xi Jinping menyerukan hubungan yang “stabil, sehat, dan berkelanjutan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning.
“Xi Jinping menyatakan bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa China dan Amerika Serikat mendapat manfaat dari kerja sama dan menderita karena konfrontasi,” imbuhnya.
Trump juga berjanji untuk memberlakukan tindakan keras dalam hal imigrasi, dan berjanji untuk mendeportasi massal imigran yang tidak berdokumen. Pada hari Senin, ia menepati janjinya, menunjuk Tom Homan, mantan pelaksana tugas Direktur Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS (Immigration and Customs Enforcement/ICE) sebagai border czar atau pejabat tertinggi urusan perbatasan yang baru. (lt/ab)/voaindonesia.com. []