Detik-detik Pak Harto Menyatakan Berhenti Sebagai Presiden

Detik-detik Pak Harto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI. Ini catatan Tutut, putri sulung Soeharto.
Detik-detik Pak Harto Menyatakan Berhenti Sebagai Presiden | Presiden kedua RI Soeharto dan putri sulung, Siti Hardijanti Rukmana akrab disapa Tutut Soeharto. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 1/6/2018) - Siti Hardijanti Rukmana putri sulung Presiden kedua RI Soeharto pada waktu luang kadang menuliskan ingatannya, kenangannya bersama orangtuanya. 

Seperti pada 21 Mei 2018 lalu ia membuat catatan kenangan 20 tahun berhentinya Soeharto dari Presiden RI, lihat di sini: Dialog Presiden Soeharto dan Anak-anaknya Sebelum Nyatakan Mundur

Kini Mbak Tutut, begitu ia akrab disapa, kembali membuat catatan detik-detik Pak Harto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI di Istana Merdeka, Kamis 21 Mei 1998 pukul 09.00 Wib. Pada masa itu Siti Hardijanti Rukmana adalah Menteri Sosial RI.   

Ini catatan lengkap Tutut Soeharto yang diberi judul 'Kamu Harus Kuat', dibuat di Jakarta, Kamis (31/5) pukul 02.00 dini hari usai menghadap Ilahi, menanti sahur.

"Pagi itu saya berpakaian rapi dan resmi, karena pagi itu Bapak akan menyampaikan pidato berhentinya dari Presiden di Istana Merdeka. Di Cendana, saya menemui Bapak yang sudah duduk di ruang keluarga.

Bapak melihat saya berpakaian rapi bertanya pada saya, 'Arep nang endi kowe (mau ke mana kamu)?'

'Mau nderek (ikut) Bapak ke Istana,' saya menjawab lirih.

Bapak agak kaget, lalu beliau mengatakan. 'Kamu di rumah saja, ini acara resmi kenegaraan.'

'Tapi saya mau ikut Bapak,' saya bersikeras memohon.

'Lihat di TV saja nanti, kan sama saja, lagipula ini bukan acara keluarga,' Bapak pun bersikeras.

Saya tetap pada pendirian saya. 'Kali ini saya mau ikut Bapak, saya mau menemani Bapak.'

Pak Harto - Mbak TututSiti Hardijanti Rukmana (kanan) Menteri Sosial kala itu, turut mendampingi Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI pada Kamis 21 Mei 1998 pukul 09.00 Wib di Istana Merdeka 

'Kamu nanti nggak kuat mendengarnya,' Bapak menjelaskan.

'Insya Allah saya kuat, Pak. Saya ikut ya, Pak,' saya memohon.

Akhirnya Bapak mengizinkan saya ikut ke Istana. Sampai di Istana, Bapak menuju ruang keluarga sambil menunggu waktu upacara dilaksanakan. Tidak lama kemudian, Ajudan dan Protokol Istana masuk ruangan, memberi tahu bahwa acara segera dimulai. Bapak berdiri lalu berjalan menuju ruang upacara. Saya pun berdiri ikut berjalan di belakang Bapak.

Melihat saya ikut, Bapak berhenti sambil berkata, 'Kamu tunggu di sini saja, Wuk. Biar bapak sendiri.'

Saya jawab. 'Tidak, Pak. Saya ikut. Saya mau menemani Bapak terus.'

'Bapak kan sudah bilang ini acara kenegaraan, jadi kamu tunggu di sini saja.'

'Saya nggak mau Bapak sendiri, saya mau menemani Bapak.'

'Ini bukan acara keluarga, tidak ada keluarga yang boleh ikut, kowe nunggu ning kene wae (kamu tunggu di sini saja). Dan nanti kamu nggak kuat, malah nggak baik jadinya.'

Karena Bapak selalu berbicara bahwa ini bukan acara keluarga, akhirnya saya menyampaikan satu kenyataan yang mungkin bapak lupa:

'Bapak... saya tahu bahwa ini bukan acara keluarga, tapi saya tetap akan ikut Bapak sebagai putri Bapak, tapi Bapak jangan lupa bahwa hingga saat ini saya masih Menteri, Bapak. Jadi saya akan ikut juga sebagai salah seorang pembantu Bapak. Izinkan saya mendampingi Bapak.'

Mendengar jawaban saya, Bapak memandang saya agak lama lalu berkata, 'Ya sudah, tapi kamu harus kuat ya.'

'Insya Allah, Pak,' saya menjawab dengan menahan berlinangnya air mata agar Bapak tidak melihat, karena akhirnya saya bisa menemani Bapakku tercinta yang telah mengabdikan sebagian besar usianya untuk masyarakat, bangsa dan Negara, pada momen yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia tercinta ini.

Bapak kami seorang negarawan yang selalu menjunjung tinggi prinsip aturan, undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia, tapi juga seorang Bapak yang selalu melindungi keluarganya. Beliau sangat mengkhawatirkan perasaan saya menerima kenyataan bahwa Bapak akan berhenti dari jabatan Presiden yang dipilih oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya di MPR-RI. Alhamdulillah beliau bapakku…, terima kasih Tuhan.

Bapak, apa pun yang bapak putuskan, kami anak-anak bapak, akan selalu mendukungmu setulus hati, sepenuh jiwa. Bapak sampaikan kepada kami, jangan berkecil hati akan apa yang terjadi saat itu, karena Allah tidak pernah tidur, suatu saat masyarakat akan bisa menilai sendiri.

Doa kami selalu menyertai Bapak dan ibu, bahagialah bapak dan ibu berdua di atas sana, di surga-Nya. Aamiin. Bapak, Ibu..., we love you." (af)

Berita terkait
0
Kesehatan dan Hak Reproduksi Adalah Hak Dasar
Membatasi akses aborsi tidak mencegah orang untuk melakukan aborsi, hal itu justru hanya membuatnya menjadi lebih berisiko mematikan