Deddy Sutomo, Benang Merah Antara Ayah Kartini dan Jenderal Soedirman

Jam terbangnya panjang, dari memerankan tokoh Jenderal Soedirman 1979 hingga memerankan ayah Kartini pada 2016. Dua film penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Deddy Sutomo memerankan karakter ayah Kartini dalam film Kartini. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 18/4/2018) - Aktor Deddy Sutomo mengembuskan napas terakhir saat menonton siaran televisi di kediamannya di Puri Flamboyan, Rempoa, Tangerang Selatan, Rabu pagi ini.

"Bapak sedang menonton televisi, persis di sebelah saya. Tiba-tiba seperti orang tersedak dan langsung meninggal," tutur Rendy Surindrapati, putra ketiga Deddy, Rabu (18/4/2018).

Deddy pergi untuk selamanya, namun konsistensinya dalam dunia perfilman akan dikenang selamanya. Dua di antara sekian banyak filmnya adalah Kartini (2016) dan Janur Kuning (1979). Benang merah kedua film ini adalah Deddy memerankan tokoh penting dalam perjalanan sejarah bangsa, sebagai Raden Mas Aryo Sosroningrat, ayah dari Kartini, dan sebagai Jenderal Soedirman dalam film Janur Kuning. 

Walau sudah memiliki jam terbang tinggi di layar lebar, layar kaca hingga panggung pertunjukan, Deddy selalu melakukan riset sebelum memerankan sebuah karakter. Seperti ketika ia memerankan tokoh ayah Kartini, ia belajar keningratan Jawa untuk menghidupkan karakter Raden Mas Aryo Sosroningrat. Ia mengaku ada tantangan tersendiri saat berperan jadi ayah Kartini.

"Beliau juga sosok laki-laki yang bisa dibilang paling dekat dengan Kartini. Ada kedekatan emosional yang sangat kuat antara ayah dan anak di sini," kata Deddy di Jakarta, 14 Maret 2018.

Deddy Sutomo dalam Film Kartini(Deddy Sutomo memerankan tokoh ayah Kartini, sedangkan tokoh Kartini diperankan Dian Sastrowardoyo)

Kedekatan emosional dengan cerita asli dari Kartini di masa lampau jugalah yang membuatnya mau bermain di film ini.

Ia mengenang masa kecilnya yang diwarnai cerita Kartini yang dituturkan oleh kakeknya, mendengarkan cerita mengenai kehidupan orang Jawa pada masa silam. Kisah yang masih diingatnya itu jadi salah satu modal untuk memerankan Raden Mas Aryo Sosroningrat, namun itu saja belum cukup.

"Saya harus mencari dan menggali lagi, bagaimana latar belakang sosial, keningratan, dan tradisi pada waktu itu. Itu tantangannya. Saya banyak belajar dari orang-orang yang lebih paham tentang budaya Jawa pada waktu itu, bagaimana attitude, gerak-gerik dan tindak tanduk seorang bangsawan pada waktu itu," ujar Deddy.

"Sebuah kehormatan buat saya bermain di film ini. Saya yakin film ini akan menjadi catatan sejarah yang penting tidak hanya buat film dan sejarah Indonesia, tapi juga buat generasi muda yang akan datang," lanjutnya.

Kartini, sebuah film biografi dari tokoh perjuangan emansipasi wanita Indonesia. Film ini menjadi penampilan ketiga Kartini di layar lebar setelah biografi RA Kartini (film 1984), dan kisah fiksi asmara Kartini Surat Cinta untuk Kartini (2016). Dian Sastrowardoyo berperan sebagai Kartini.

Film ini menceritakan tentang Kartini yang tumbuh dengan melihat langsung Ibunya bernama Ngasirah (Christine Hakim) yang menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan tidak memiliki darah ningrat dan menjadi seorang pembantu. 

Sang ayah bernama Raden Sosroningrat (Deddy Sutomo) yang sangat mencintai Kartini tidak berdaya melawan tradisi yang sudah turun temurun. 

Sepanjang perjalanan hidupnya, Kartini berjuang untuk menyetarakan hak bagi semua orang baik ningrat ataupun bukan. Terutama hak pendidikan untuk perempuan, Bersama kedua saudarinya bernama Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Kartini berjuang untuk mendirikan sebuah sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan sebuah lapangan pekerjaan bagi semua masyarakat Jepara.

Riset film ini dilakukan hingga ke Belanda karena sumber-sumber tentang Kartini di Indonesia masih terbilang kurang.

Deddy Sutomo dalam Film Janur KuningDeddy Sutomo memerankan tokoh Jenderal Soedirman dalam film Janur Kuning (1979)

Jenderal Soedirman dalam Janur Kuning

Janur Kuning menceritakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaannya yang direbut oleh pasukan sekutu. Latar belakang yang diambil adalah di sekitar peristiwa Enam Jam di Yogya. Tokoh-tokoh nyata yang ditampilkan di sini di antaranya adalah Soeharto, Jenderal Soedirman, dan Amir Murtono. Janur kuning adalah lambang yang dikenakan para pejuang di lengan sebagai tanda perjuangan kemerdekaan tersebut.

Pada bulan September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya. 

Tempo melaporkan pada 2012 bahwa Saleh Basarah dari Angkatan Udara Republik Indonesia telah mempengaruhi dikeluarkannya keputusan ini. Majalah ini menyatakan bahwa Basarah telah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan memintanya untuk tidak menayangkan Pengkhianatan G 30 S PKI, karena film ini telah merusak citra Angkatan Udara Republik Indonesia. Dua film lainnya, Janur Kuning dan Serangan Fajar, kemudian juga dipengaruhi oleh keputusan tersebut.

Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan di balik Serangan Umum 1 Maret 1949, sementara Serangan Fajar menunjukkan dia sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia. Pada saat itu TVRI tampaknya berusaha menjauhkan diri dari mantan presiden Soeharto. Hal ini terjadi semasa periode penurunan status simbol-simbol yang berkaitan dengan peristiwa G30S, dan pada dekade 2000-an awal, versi non-pemerintah dari peristiwa kudeta G30S mudah didapatkan di Indonesia.

Deddy Sutomo memerankan Jenderal Soedirman dalam film Janur Kuning (1979) yang lebih menceritakan tentang serangan umum 1 Maret yang saat itu dipimpin Letkol Soeharto. Hanya saja, film garapan Alam Rengga Surawidjaja itu lebih berpusat ke Soeharto, bukan Soedirman.

Mengutip situs resmi Taman Ismail Marzuki, semasa hidup Deddy selain bermain film juga bergiat di teater. Ia mendirikan Teater Akbar bersama GM Sudharta. Di Yogyakarta, tempat ia belajar teater peran aktifnya pun sangat terasa. Ia membentuk Studi Grup Teater Yogya, pada 1961. Rupanya itu merupakan cikal bakal Bengkel Teater yang digagas WS Rendra dan Arifin C Noer. Dari situlah kemudian Deddy hijrah ke Ibu Kota. Deddy juga pernah duduk dalam kepengurusan Persatuan Artis Film Indonesia. (af)

Berita terkait