China Usung ‘Belt and Road Initiative’, Peneliti: Tak Perlu Ditakuti

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari strategi kerja sama regional "Belt and Road Initiative" (BRI).
PROYEK KERETA CEPAT: Pengunjung melihat miniatur kereta cepat PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada stan Pameran Indonesia Business and Development (IBD) 2017 di Senayan, Jakarta, Jumat (22/9). Pembebasan lahan proyek kereta api cepat baru mencapai 54,5% dan selesai tiga bulan mendatang seiring diterbitkannya penetapan lokasi (penlok) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. (Foto: Ant/Bernadeta Victoria).

Beijing, (Tagar 24/9/2017) – Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari strategi kerja sama regional "Belt and Road Initiative" (BRI).

"Munculnya China sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia melalui inisiatif tersebut merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di kawasan Asia, Afrika, serta Eropa," kata ahli perdagangan internasional dari Akademi China untuk Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Ekonomi Zhu Caihua saat menerima kunjungan wartawan dari negara-negara ASEAN di Beijing, Sabtu (23/9).

China, menurut dia, akan memerankan peran sebagai penggerak roda ekonomi regional seperti halnya Amerika Serikat bagi Kanada dan Meksiko atau Jepang bagi Asia.

"Afrika dan Amerika Latin seperti tertinggal dalam 'pertarungan' ini karena kita tidak bisa mengidentifikasi negara-negara dengan ekonomi paling kuat di dua kawasan tersebut," ujar perempuan yang menjabat Deputi Direktur Institut Perdagangan Luar Negeri pada lembaga yang berafiliasi dengan Kementerian Perdagangan China itu.

Ia menyebutkan, meskipun sempat mendapat persepsi negatif dari negara-negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam saat pertama diperkenalkan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2015, pengaruh China melalui BRI semakin meluas ke beberapa negara Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Di bawah platform BRI, badan usaha milik negara di Indonesia dan China yang tergabung dalam konsorsium PT Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC) saat ini sedang menggarap proyek infrastruktur kereta cepat Jakarta-Bandung yang ditargetkan selesai pada 2019.

"Sebagai seorang akademisi saya melihat perkembangan ini sangat baik karena orang menyadari bahwa dunia mulai berubah, dan China sebagai kekuatan regional yang baru bangkit tidak akan dengan bodoh memulai konflik atau sengketa dengan negara-negara tetangganya," kata Caihua.

Kombinasi Strategi Barat-Timur

Sebelumnya, China berharap "Belt and Road Initiative" (BRI) yang digagas Presiden Xi Jinping pada 2015 dapat dipahami sebagai strategi kerja sama regional untuk negara-negara di kawasan Eurasia serta Afrika, dan bukan sekadar proyek konektivitas yang justru lebih dikenal dengan istilah "One Belt One Road" (OBOR).

"Saya ingin menggarisbawahi bahwa strategi ini tidak hanya mencakup 'one belt' atau 'one road' saja tetapi merupakan platform kerja sama regional," kata peneliti senior Akademi China untuk Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Ekonomi Zhang Jianping di Beijing, Sabtu (23/9).

Menurut dia, hanya dengan memahami konsep tersebut, maka masyarakat internasional dapat memahami pentingnya kerja sama melalui platform BRI untuk sama-sama mendapat manfaat dari pembangunan dan konektivitas.

"Hanya dengan berkembang kita dapat menemukan solusi untuk masalah sosial ekonomi," tutur pria yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Pusat Kerja Sama Ekonomi Regional di lembaga yang berafiliasi dengan Kementerian Perdagangan China itu.

Sebagai model baru kerja sama internasional dan globalisasi inklusif, BRI mengusung konektivitas sebagai kata kunci dalam berbagai sektor seperti perdagangan, pembangunan infrastruktur serta relasi antarmanusia.

"Ini adalah kombinasi strategi Barat dan Timur, bahkan lebih baik daripada perjanjian perdagangan bebas yang terlalu Barat dan jauh dari kawasan kita," kata Jianping.

Menanggapi sentimen negatif beberapa negara terkait BRI, ia memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar karena negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar cenderung memiliki perbedaan opini dan persepsi.

Meskipun tidak bisa memaksa setiap negara untuk menyambut baik inisiatif ini, Jianping kembali meyakinkan bahwa BRI merupakan kunci pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan regional.

"Sebagian besar orang sangat menginginkan pembangunan, mereka berharap memperoleh akses listrik, internet dan air bersih, memanfaatkan energi yang lebih ramah lingkungan serta memiliki kondisi hidup lebih baik," tutur dia.

Sementara itu, hingga 2015, China telah berkontribusi lebih dari 70 persen pembangunan infrastruktur di Asia dengan nilai investasi sebesar 686 miliar dolar AS.

Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), nilai investasi untuk pembangunan infrastruktur di Asia dalam kurun waktu 2016-2020 diperkirakan mencapai 26 triliun dolar AS dengan porsi terbesar pada proyek pembangkit listrik senilai 11,69 miliar dolar AS.

Saat ini, sektor publik mendanai sekitar 92 persen investasi infrastruktur regional termasuk di antaranya 90 persen di Asia Timur yang didanai oleh China dan 62 persen di Asia Selatan. (yps/ant)

Berita terkait