Cerita Jakarta: Ali Sadikin dan Petisi 50

Cerita Jakarta: Ali Sadikin dan Petisi 50. Menggugat Presiden Soeharto yang seolah personifikasi Pancasila.
Cerita Jakarta: Ali Sadikin dan Petisi 50 | Ali Sadikin, AH Nasution, dan HR Dharsono. (Foto: Wikipedia)

Jakarta, (Tagar 26/7/2018) - Gubernur DKI Jakarta Letnan Jenderal Ali Sadikin usai menjabat, kerap menyumbangkan olah pikirnya demi Ibu Kota Jakarta, dan secara nasional terhadap Indonesia. 

Ali Sadikin dan SoehartoAli Sadikin dan Soeharto. Sikap kritisnya yang sering dilontarkan terhadap apa yang dipikirnya keliru,  membuatnya sering berseberangan dengan Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Soeharto. Akhirnya, Ali Sadikin menemukan perwira tinggi pensiunan yang sejalan dan sepemikiran dengannya,  kebanyakan adalah prajurit tua dan politisi sejak zaman kemerdekaan. Kelompoknya ini kemudian disebut Petisi 50. (Wikipedia)

Sikap kritisnya yang sering dilontarkan terhadap apa yang dipikirnya keliru,  membuatnya sering berseberangan dengan Presiden kedua Republik Indonesia, Jenderal Soeharto. Akhirnya, Ali Sadikin menemukan perwira tinggi pensiunan yang sejalan dan sepemikiran dengannya, kebanyakan adalah prajurit tua dan politisi sejak zaman kemerdekaan. Kelompoknya ini kemudian disebut Petisi 50.

Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah "Ungkapan Keprihatinan" dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.

Presiden Bukan Personifikasi Pancasila

Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden Soeharto  telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila; bahwa Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila; Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya"; Soeharto menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer; sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi; dan bahwa prajurit dianjurkan untuk "memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto".

Berikut isi lengkap Ungkapan Keprihatinan yang ditandatangani 50 tokoh terkemuka Indonesia sehingga dikenal sebagai Petisi 50.

Dengan berkat rahmat Allah yang Mahakuasa, kami yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:

a) Mengungkapkan prasangka bahwa di antara rakyat kita yang bekerja keras untuk membangun meskipun mereka mengalami beban yang semakin berat, terdapat polarisasi di antara mereka yang ingin "melestarikan Pancasila" di satu pihak dengan mereka yang ingin "mengganti Pancasila" di pihak lain, sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat;

b) Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan sebagai suatu ancaman terhadap lawan-lawan politik. Pada kenyataannya, Pancasila dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu Bangsa;

c) Membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana untuk membatalkan Undang-Undang Dasar 1945 sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya, meskipun kenyataannya hal ini tidak mungkin karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945;

d) Meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa;

e) Memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apa pun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila;

f) Melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada usaha-usaha untuk mengangkat senjata, mensubversi, menginfiltrasi dan perbuatan-perubatan jahat lainnya dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung, kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.

Jakarta, 5 Mei 1980

Tertanda,

H.M. Kamal, Letjen Ahmad Yunus Mokoginta, Suyitno Sukirno, Letjen (purn.) M. Jasin, Ali Sadikin, Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo, M. Radjab Ranggasoli, Bachrun Martosukarto SH, Abdul Mu’thi SH (Bandung), M. Amin Ely, Ir. H.M. Sanusi, Mohammad Natsir, Ibrahim Madylao, M. Ch Ibrahim, Bustaman SH, Burhanuddin Harahap, Dra S.K. Trimurti, Chris Siner Key Timu, Maqdir Ismail, Alex Jusuf Malik SH, Julius Hussein, SE, Darsjaf Rahman, Slamet Bratanata, Endy Syafruddin, Wachdiat Sukardi, Ibu D. Walandouw, Hoegeng Imam Santoso, M. Sriamin, Edi Haryono, Dr. A.H. Nasution, Drs. A.M. Fatwa, Indra K. Budenani, Drs. Sulaiman Hamzah, Haryono, S. Yusuf, Ibrahim G. Zakir, Ezra M.T.H Shah, Djalil Latuconsina (Surabaya), Djoddy Happy (Surabaya), Bakri A.G. Tianlean, Dr. Yudilherry Justam, Drs. Med. Dody Ch. Suriadiredja, A. Shofandi Zakaria, A. Bachar Mu’id, Mahyudin Nawawi, Syafruddin Prawiranegara, SH, Manai Sophiaan, Mohammad Nazir, Anwar Harjono, Azis Saleh, dan Haji Ali Akbar. (Anissa Zahirah)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.