Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 26 Januari 2023. Redaksi.
Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id – Seorang ibu di Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel) menyeduh kopi instan saset dan menyuapkannya dengan sendok ke bayinya yang berumur tujuh bulan. Ini jadi viral di media sosial beberapa hari di bulan Januari 2023.
Bisa jadi tontonan itu merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus itu yang muncul ke masyarakat karena bisa saja ada kasus-kasus lain dalam berbagai bentuk.
Kondisi yang hampir mirip terjadi di tahun 1980-an ketika banyak ibu memberikan susu kental manis kepada bayinya. Mereka melakukan hal itu karena, kata mereka, air susu ibu (ASI) kurang atau tidak ada.
Celakanya, kadar gula di susu kental manis berdampak buruk pada bayi yaitu menyebabkan diare yang berujung pada kematian.
Nah, alasan itu di Makassar, Sulawesi Selatan, itu pun sama saja dengan pandangan ibu-ibu yang memberikan susu kental manis kepada bayinya.
Padahal, kalau ibu-ibu meminum susu kental manis dan kopi susu instan tentu merangsang produksi ASI.
Lagi pula amatlah tidak masuk akal kalau disebut-sebut ASI ibu-ibu tidak ada karena alasan ekonomi.
Pertama, suami ibu-ibu itu merokok satu sampai dua bungkus sehari. Ini bisa menghabiskan uang antara Rp 20.000 – Rp 30.000 per hari.
Kedua, untuk meningkatkan ASI bisa memanfaatkan tanaman di pekerangan atau pot, seperti daun katuk, dan makanan harian yang terjangkau yaitu temped an tahu serta sayuran.
Ketiga, suami, istri dan anak-anak mempunyai HP yang memerlukan pulsa atau paket data. Ini jelas memerlukan uang yang juga tidak sedikit.
Memang, perlu mengubah paradigma berpikir masyarakat dengan cara-cara yang realistis tanpa harus dibumbui dengan norma, moral dan agama. Pakailah pijakan empiris dengan balutan medis.
Beberapa kali jadi narasumber pelatihan menulis berita HIV/AIDS di Jayapura, Papua, penulis selalu dihadapkan dengan pernyataan ini: Pemerintah tidak mau mengembangkan buah merah sebagai obat AIDS!
Rupanya, ada yang memasarkan sari buah merah dengan promosi dan iklan sebagai ‘obat AIDS’ lengkap dengan model (seorang perempuan pengidap HIV/AIDS). Celakanya, perempuan ini belakangan meninggal dunia karena berhenti minum obat antiretroviral (ARV).
Ketika saya diajak dr Zulazmi Mamdy, MPH (waktu itu staf pengajar di FKM UI) jadi narasumber pelatihan wartawan di Jayapura, saya ceritakan tentang buah merah. Kami diskusi yang pada akhirnya menemukan jawaban empiris: Kalau benar buah merah bisa mengobat penyakit AIDS, maka sejatinya tidak ada orang Papua yang mengidap HIV/AIDS.
Syukurlah, belakangan saya tidak pernah lagi dihadapkan dengan pernyataan terkait buah merah.
Ketika mengikuti pendidikan fungsional jurnalistik di LP3Y Yogyakarta (1982-1983), seorang mentor, Pak Marzuki, menceritakan tentang seorang antropolog, cewek Amerika Serikat, yang meneliti untuk disertasinya di sebuah desa di Pulau Jawa.
Di desa itu banyak penduduk yang rabun. Secara medis itu terjadi karena ada pantangan yang melarang warga memakan telur bulat. Belakangan, antropolog itu menemukan realitas sosial bahwa kalau telur bulat dibawa dari selamatan boleh dimakan habis.
Nah, untuk mengatasi rabun diadakan selamatan secara beruntun sehingga warga memakan telur secara berkesinambungan. Ini merupakan rekayasa sosial dengan pijakan ilmiah di social settings.
Begitu juga dengan prevalensi darah tinggi sebuah daerah, juga di Pulau Jawa. Banyak warga memelihara ayam dan bebek. Telurnya mereka jual ke pasar. Uangnya dipakai beli ikan asin. Padahal, dengan makan telur bisa dihindarkan faktor pemicu darah tinggi (garam). Sebaliknya, warga memperoleh protein hewani dengan memakan telur.
Maka, untuk mengatasi jalan pikiran sebagian warga yang memilih memberikan susu langsung ke bayi daripada mereka yang meminumnya, atau lebih baik memakan teluar daripada ikan asin maka perlu juga rekayasa sosial antara lain melalui penyuluhan.
Rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) dukung pembentukan pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) adalah sebagai ujung tombak untuk penyuluhan kesehatan. Soalnya, dengan penyuluhan tentulah warga bisa mengetahui penyebab penyakit.
Pada awalnya pusat-pusat kesehatan masyarakat, dikenal luas sebagai Puskesmas, dibangun di semua penjuru Tanah Air sebagai ujung tombak promosi (promotif) kesehatan yaitu mendorong perubahan perilaku masyarakat agar hidup sehat melalui pencegahan penyakit (preventif).
Tapi, yang terjadi kumudian Puskesmas justru jadi pusat pengobatan (kuratif) seperti layaknya rumah sakit lengkap dengan fasilitas rawat inap pula. Tentu saja fungsi sebagai penyuluhan tidak efektif lagi.
Menanggapi langkah polisi yang sigap di Sulsel memeriksa ibu yang memberikan susu instan ke bayinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara di acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Banggakencana) dan Penurunan Stunting di Kantor BKKBN di Jakarta Timur, 25 Januari 2023, dengan mengatakan: Penyuluhan, penyuluhan, penyuluhan ….
Sayang, Pak Jokowi agaknya tidak melihat fakta Puskesmas sudah jadi rumah sakit sehingga dokter dan tenaga medis sibuk memberikan pelayan medis kepada pasien.
Dalam wawancara di beberapa kesempatan dengan pakar kesehatan masyarakat UI, Prof Dr Ascobat Gani, MPH, Dr PH, juga jelas dia sebutkan bahwa Puskesmas bukan sebagai tempat berobat, tapi sebagai ujung tombak mendidik masyarakat agar hidup dengan perilaku yang terhindar dari penyakit.
Disebukan bahwa Posyandu bisa ambil alih penyuluhan. Tapi, secara empiris ini tidak efektif karena warga akan melihat petugas Posyandu sama saja dengan mereka.
Tentu saja akan berbeda jika yang memberikan penyuluhan dokter yang bagi banyak orang mempunyai kedudukan yang lebih di masyarakat.
Sudah saatnya pemerintah mengembalikan fungsi Puskesmas menjadi ujung tombak penyuluhan (promotif) kesehatan bukan tempat pengobatan (kuratif) semta. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id