Jakarta - Uni Eropa resmi menyusul lima negara maju, yaitu Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura masuk dalam jurang resesi ekonomi imbas pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju tersebut mengalami resesi setelah dua kuartal berturut-turut mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Berikut masing-masing kontraksi ekonomi enam negara.
- Uni Eropa minus 11,9 persen pada kuartal II 2020 dan minus 3,2 persen pada kuartal I 2020.
- Amerika Serikat minus 32,9 persen pada kuartal II 2020 dan minus 5 persen pada kuartal I 2020.
- Jerman minus 10,1 persen pada kuartal II 2020 dan minus 2,2 persen pada kuartal I 2020.
- Korea Selatan minus 3,3 persenpada kuartal II 2020 dan minus 1,3 persen pada kuartal I 2020.
- Singapura minus 0,7 persenpada kuartal II 2020 dan 41,2 persen pada kuartal I 2020.
- Hong Kong minus 12,6 persen pada kuartal II 2020 dan 0,7 persen pada kuartal I 2020.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tumbuh mencapai 2,97 persen dan diprediksi akan mengalami kontraksi pada kuartal II 2020 di kisaran minus 3,5 persen hingga minus 5,1 persen dengan titik tengah minus 4,3 persen.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah terancam masuk jurang resesi seperti negara-negara maju tersebut?
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan Indonesia sudah dipastikan terancam resesi. Namun, terjadi pada kuartal III dengan perkiraan perlambatan pertumbuhan kisaran minus 1,3-1,7 persen.
"Indonesia sudah dipastikan akan mengalami resesi pada kuartal III 2020 dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dibawah 1 persen," ucap Bhima Yudhistira kepada Tagar, Selasa, 4 Agustus 2020.
Faktor utama penyebab kontraksi ekonomi Indonesia, kata dia sama dengan negara-negara lain di dunia yang tak mampu mengendalikan angka penambahan kasus positif Covid-19. Berdasarkan update Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Indonesia, Senin, 3 Agustus 2020 total kasus positif sebanyak 113.134 dan menduduki peringkat ke-23 di dunia versi worldometers.
Di sisi lain, ia menilai stimulus pemerintah untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) belum efektif karena beberapa alasan. Menurut Bhima, selain pencairannya terhambat birokrasi, ada masalah dalam konsep stimulus.
"Misalnya stimulus UMKM, kenapa harus andalkan perbankan? Padahal 98 persen UMKM adalah sektor mikro dan ultra-mikro yang unbankable," tuturnya.
Jika pemerintah menggelontorkan stimulus UMKM melalui bank, dapat dipastikan UMKM akan lebih lama menerima bantuan pemerintah. Pasalnya, bank pastinya sangat hati-hati untuk berikan subsidi bunga pinjaman karena mempertimbangkan kredit macet.
"Sementara UMKMnya menunggu bantuan pemerintah," kata dia.
Lebih lanjut, pemulihan ekonomi menurut dapat dilakukan pemerintah jika penanganan terhadap kasus Covid-19 dapat diselesaikan dengan baik. Tapi tidak mungkin pemulihan ekonomi terjadi kalau penanganan pandemi nya tidak serius. []