TAGAR.id, Jakarta – Setelah tiga tahun berturut-turut berada dalam periode La Nina, Indonesia berpotensi memasuki periode El Nino yang memicu kekeringan dan bahaya bencana kebakaran hutan serta lahan akibat berkurangnya curah hujan. Yoanes Litha melaporkannya untuk VOA.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi peluang El-Nino moderat pada semester kedua 2023 yang bisa memicu kekeringan akibat berkurangnya curah hujan.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Fachri Radjab, mengatakan pada dasarian II atau rentang waktu selama sepuluh hari kedua pada Mei 2023, anomali suhu muka laut di wilayah Nino Pasifik Tengah dan Timur menunjukkan prasyarat kondisi El Nino.
“Anomali suhu muka laut di dasarian II Mei memang terlihat Nino3 itu mulai terjadi peningkatan suhu muka laut. Yang Nino3.4 juga sudah mulai ada peningkatan anomali suhu muka laut antara 0,5 sampai satu setengah derajat,” kata Fachri Radjab dalam webinar “Antisipasi El Nino dan Kekeringan” secara daring di kanal YouTube Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, Sabtu (20/5).
El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan Suhu Muka Laut ini meningkatkan potensi pertumbuhan awal di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.
Monitoring Hari Tanpa Hujan Berturut-turut oleh BMKG per 10 Mei 2023 menunjukkan sebagai besar wilayah pengamatan masih ada hujan. Wilayah Lampung sudah mengalami jeda hingga 10 hari, sementara sebagian wilayah Pantura dan NTB-NTT sudah mengalami jeda hujan hingga 20 hari.
Prakiraan BMKG menyebutkan pada Juni sebagian besar wilayah Pulau Jawa sudah akan mengalami curah hujan rendah yaitu di bawah 100 milimeter per bulan.
“Di bulan Juli meluas ke Sumatra bagian selatan. Di bulan Agustus hampir seluruh wilayah Indonesia masuk kategori hujan rendah,” kata Fahri Radjab.
Fahri mengingatkan adanya risiko kebakaran hutan dan lahan. Pada Juni 2023 terdapat risiko munculnya hotspot (titik panas) dengan kategori moderat di wilayah Sumatra bagian tengah, sedangkan dari Juli hingga Agustus 2023 terdapat risiko hotspot dengan kategori moderat di wilayah Sumatra bagian tengah, bagian selatan dan Kalimantan bagian barat.
Gerakan Memanen Air Hujan
Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Maryono, menilai perlu ada gerakan besar untuk memanen air hujan, khususnya di wilayah yang saat ini masih terdapat hujan, mungkin sampai akhir Mei. Cara itu dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap bantuan distribusi air bersih pada saat musim kemarau.
Air hujan dapat ditampung di tandon air, sumur, bahkan dengan membuat kolam penampungan beralaskan terpal.
“Di negara maju memanen air hujan bukan lagi dianggap sebagai teknologi kuno, tradisional, ndeso. Kita harus memanen hujan itu keren dan orang-orang negara maju di Australia, Amerika, Jerman itu sekarang banyak menggunakan air hujan sebagai tambahan,” kata Agus.
Agus menjelaskan sumber air di sepanjang alur sungai yang mengering pada saat kemarau dapat ditemukan di tebing dan kaki tebing sungai. Masyakat dapat membuat sumuran di tengah sungai atau membuat instalasi bor air di tengah atau pinggir sungai kering tersebut. (yl/ft)/voaindonesia.com. []