BBM Naik, BEM se-Jabar Minta Pemerintah Segera Insaf

BBM naik, BEM se-Jabar minta pemerintah degera insaf. “Kami sepakat meminta pemerintah untuk segera insaf, segera memperbaiki seluruh kebijakan migas demi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” ujar Fanniar.
Anggota Komisi IV Fraksi Partai Golongan Karya dan Partai Amanat Nasional DPRD Jawa Barat (Jabar) M Hasbullah Rahmad. (Foto: Tagar/Fitri Rachmawati)

Bandung, (Tagar 5/7/2018) - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jawa Barat meminta pemerintah segera menurunkan harga BBM non subsidi. Pasalnya, kenaikan BBM non subsidi akan berdampak terhadap langkanya BBM bersubsidi karena masyarakat yang biasa menggunakan BBM non subsidi dipastikan beralih ke BBM yang lebih murah. Sehingga, akhirnya berpengaruh terhadap terkereknya harga-harga.

Kenaikan harga BBM non subsidi secara tidak langsung ini semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia. Ditambah dengan nilai rupiah yang melemah, daya beli masyarakat yang menurun, hingga masif-nya tenaga kerja asing yang membuat rakyat Indonesia sulit bersaing dan menambah pengangguran. “Ini bukti bahwa Presiden Jokowi telah mengkhianati rakyat,” tutur Presiden BEM Rema UPI, Fauzan, Bandung, Kamis (5/7/2018).

Menurut Fauzan, terhitung pada tahun 2018 hingga hari ini, pemerintah melalui PT Pertamina telah empat kali menaikkan harga BBM. Terakhir 1 Juli 2018, BBM non subsidi mengalami kenaikan salah satunya Pertamax.

“Berdasarkan daftar harga terbaru yang dirilis Pertamina, harga Pertamax di wilayah Pulau Jawa dan Bali yang sebelumnya Rp 8.900 per liter naik Rp 600 menjadi Rp 9.500 per liternya. Kenaikan harga BBM non subsidi ini sama sebagaimana di wilayah Indonesia lainnya,” kata dia.

Hal senada disampaikan oleh Fanniar, Presiden Mahasiswa Universitas Siliwangi. Atas kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut, terang dia, mahasiswa yang tergabung dalam BEM se-Jawa Barat memprotes keras, dan meminta pemerintah segera menurunkan harga BBM non subsidi yang dinilai tidak pro terhadap masyarakat.

"Kenaikan harga BBM non subsidi nantinya berdampak terhadap semakin langkanya premium di pasaran, akhirnya akan menyebabkan naiknya harga komoditas,” terangnya.

Menurutnya, naiknya harga-harga komoditas tentunya berdampak terhadap daya beli masyarakat dan akan semakin menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan.  “Untuk itu, kami sepakat meminta pemerintah untuk segera insaf, segera memperbaiki seluruh kebijakan migas demi kesejahteraan masyarakat Indonesia,” ujar Fanniar.

Selain itu, BEM se-Jabar pun sepakat meminta Pemerintah Pusat untuk berhenti menipu rakyat dengan melakukan pencitraan, dengan membuat kebijakan yang berorientasi kesejahteraan dan kedaukatan rakyat tetapi fakta di lapangan nyatanya tidak seperti itu.

"Pada akhir periode ini seharusnya Pemerintah berhenti menipu rakyat dengan melakukan pencitraan dan harus fokus membuat kebijakan yang berorientasi kesejahteraan dan kedaulatan rakyat,” tegas dia.

Ketua KEMA UNPAD, Izmu menambahkan apa pun alasan pemerintah dalam menaikkan harga BBM non subsidi ini. Kebijakan ini tetap saja menyengsarakan rakyat banyak, dan realitas di lapangan tidak semua masyarakat pun menerima atas kebijakan ini.

“Baru setengah perjalanan di 2018 ini, terhitung sudah dua kali pemerintah menaikkan harga BBM tanpa sosialisasi menyeluruh sehingga terkesan sangat mendadak," tambahnya.

Untuk itu BEM se-Jawa Barat menuntut Presiden Joko Widodo beserta jajaran kementerian terkadat untuk segera menyiapkan langkah mitigasi untuk mengurangi dampak dari kenaikan harga BBM non subsidi tersebut, terutama pada kelompok masyarakat menegar supaya tidak menambah beban rakyat.

BBM Non Subsidi Naik, Wajar

Sementara itu, Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golongan Karya dan Partai Amanat Nasional (PAN), M Hasbullah Rahmad menilai, kenaikan harga BBM non subsidi wajar mengingat harga tersebut penyesuaian dari naiknya harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik, yang sudah mencapai rata-rata 75 dolar per barel.

“Kalau yang naik BBM bersubsidi seperti premium jelas Kita berkeberatan, mengingat BBM bersubsidi memang diperuntukkan bagi masyarakat miskin, kalau yang naik yang non subsidi ya wajar saja mengikuti harga minyak dunia,” tuturnya.

Berbeda dengan kenaikan harga BBM non subsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex yang memang selain harganya ditentukan oleh mekanisme pasar, juga jenis BBM non subsidi ini pun diperuntukkan masyarakat kelas menengah atas atau orang kaya. Jadi, pihaknya menilai kenaikan harga BBM non subsidi tidak akan berpengaruh kepada masyarakat miskin.

“BBM non subsidi mengikuti mekanisme pasar, apabila ada naik kurang dari Rp 600 atau bahkan Rp 1.000 ya wajarlah, toh ini yang naik jenis BBM yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah atas bukan yang biasa dibeli oleh masyarakat miskin,” tegas dia.

Namun demikian, untuk meredam keresahan sebagian masyarakat, pihaknya mengimbau PT Pertamina untuk melakukan pengawasan dengan menggandeng aparat.

“Hal ini untuk mencegah banyak orang membeli BBM bersubdisi untuk keperluan lain dengan volume yang tinggi, menggunakan mobil yang sudah dimodifikasi dan cara lainnya, yang akhirnya BBM bersubdi untuk masyarakat miskin malah dikonsumsi oleh masyarakat yang mampu,” ujarnya.

Pengawasan tersebut, kata Hasbullah, bisa dilakukan di SPBU terutama di daerah perbatasan yang rawan penyelundupan atau wilayah industri untuk mencegah BBM bersubsidi digunakan keperluan industri.

“Selain itu, kita berharap PT Pertamina pun bisa mengawasi mata rantai distribusi untuk mencegah keterlambatan pengiriman. Sehingga, kelangkaan untuk BBM bersubdi dapat dicegah dan apabila tetap langka, ini jelas permainan spekulan karena selama ini sistem di PT Pertamina cukup baik,” tutupnya. (fit)

Berita terkait