Anak Indonesia Dibayangi Pernikahan Dini

Anak Indonesia dibayangi pernikahan dini. Indonesia peringkat 7 dari 10 negara dengan angka pengantin anak tertinggi di dunia.
GERAKAN BERSAMA STOP PERKAWINAN ANAK: Sejumlah siswa membawa poster saat mengikuti Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Taman Budaya Mataram, NTB, Minggu (10/12). Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia dan urutan kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus Perkawinan Anak, sementara data Koalisi Perempuan Indonesia, NTB menjadi provinsi di Indonesia dengan angka pernikahan anak tertinggi sebanyak 41,56 persen anak perempuan usia 10-19 tahun. (Foto: Ant/Ahmad Subaidi)

Jakarta, (Tagar 22/7/2018) - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mencanangkan Indonesia Layak Anak (Idola) 2030 sebagai sasaran antara untuk mewujudkan Generasi Emas 2045.

Untuk mewujudkan Idola 2030, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah merintis program Kabupaten/Kota Layak Anak, yang bersifat dari bawah ke atas, mulai dari Desa/Kelurahan Layak Anak dan Kecamatan Layak Anak.

Program Kabupaten/Kota Layak Anak memiliki 24 indikator yang intinya merupakan upaya-upaya perlindungan anak dan memberikan kepentingan terbaik anak berdasarkan Konvensi Hak Anak.

Namun, permasalahan-permasalahan yang terjadi dan dihadapi anak-anak Indonesia masih terus menjadi ancaman bagi pencapaian Idola 2030, salah satunya permasalahan pernikahan anak.

Pernikahan anak masih saja terjadi di berbagai daerah, yang pemberitaannya menjadi perhatian masyarakat. Peristiwa terakhir yang sempat diberitakan media terjadi di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Pernikahan tersebut terjadi antara seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun dengan seorang bocah perempuan berusia 15 tahun. Pernikahan tersebut dilakukan secara siri dan tidak didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

Sebelumnya, masyarakat juga sempat digegerkan dengan pemberitaan di media massa tentang pernikahan dua pelajar SMP di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Pernikahan dini itu dilakukan karena si bocah perempuan disebut-sebut takut tidur sendiri lantaran sudah tidak memiliki ibu, sedangkan bapaknya kerap keluar kota untuk bekerja.

Pernikahan dua bocah itu kemudian ditolak oleh KUA setempat, meskipun sempat mendapatkan dispensasi atau izin dari pengadilan agama.

Council of Foreign Relations mencatat Indonesia merupakan peringkat tujuh dari 10 negara dengan angka absolut pengantin anak tertinggi di dunia dan merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Padahal, pernikahan dini jelas menimbulkan permasalahan bagi anak-anak. Selain itu, pernikahan dini merupakan salah satu pelanggaran hak anak.

Menurut penelitian yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, tercatat 94,72 persen perempuan usia 20 tahun hingga 24 tahun berstatus pernah menikah yang melakukan pernikahan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38 persen.

Pernikahan AnakPernikahan anak SMP di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. (Foto: SINDOnews/Arisman Majid)

Dampak Panjang 

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan pernikahan dini memiliki dampak yang panjang bagi anak, yang pada ujungnya akan melestarikan kemiskinan.

"Anak dinikahkan akhirnya akan putus sekolah. Anak memiliki anak, tentu perlu bekerja untuk menghidupi anaknya. Yang terjadi kemudian adalah pekerja anak," kata dia mengutip Antara.

Oleh karena putus sekolah dan tidak memiliki pendidikan tinggi, akhirnya anak tersebut bekerja apa adanya. Dampaknya, anak tersebut tidak mendapatkan upah yang layak sehingga akhirnya akan hidup dalam kemiskinan.

Pemerintah sudah memiliki komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia. Selain meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

"Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak mengharuskan negara memberikan kepentingan terbaik bagi anak-anak. Pernikahan bukan kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.

Oleh karena itu, pernikahan anak harus dicegah.

Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Lisa Woro Srihastuti Sulistianingrum mengatakan pencegahan pernikahan anak harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.

"Upaya pencegahan pernikahan anak harus dilakukan secara holistik, integratif, tematik, dan spasial. Harus melibatkan banyak pihak karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri," kata dia.

Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's), semua negara diminta untuk mencegah dan menghentikan seluruh praktik yang berbahaya bagi anak.

Pernikahan anak merupakan ancaman bagi masa depan anak, sehingga perlu dicegah.
Pemerintah, melalui banyak kementerian dan lembaga telah melakukan banyak upaya untuk mencegah pernikahan anak.

"Kami perlu menyusun strategi nasional pencegahan pernikahan anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah membuat kajiannya. Paling tidak memiliki strategi dulu, baru diturunkan dalam rencana aksi," tuturnya.

Sebagai bentuk komitmen negara, selain ratifikasi Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan anak juga sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2020.

Pengadilan Agama Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan pengadilan agama merupakan benteng terakhir untuk mencegah pernikahan anak.

"Karena pernikahan di bawah umur harus mendapatkan izin atau dispensasi dari pengadilan agama, pengadilan agama jangan mudah memberikan izin," kata dia.

Pengadilan agama dan KUA, ucap dia, memang memiliki ranah yang berbeda. Pengadilan agama merupakan bagian dari yudikatif, sedangkan KUA yang berada di bawah Kementerian Agama merupakan eksekutif.

Bila pengadilan agama sudah mengizinkan dua anak menikah, KUA tidak boleh menolak untuk menikahkan mereka.

Untuk mencegah pernikahan anak kembali terulang, KPAI mendorong pendewasaan usia minimal pernikahan karena peningkatan kualitas sumber daya manusia akan bisa dicapai bila pernikahan tidak dilakukan pada usia yang terlalu muda.

Pihaknya mendorong usia pernikahan ditingkatkan dari sebelumnya perempuan 16 tahun menjadi 18 tahun, sedangkan laki-laki dari 18 tahun menjadi 21 tahun.

Oleh karena itu, KPAI mendukung DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.

Menurut Retno, usia minimal pernikahan yang diatur dalam undang-undang itu sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.

"Sejak 1974 itu sudah lama sekali. Memang perlu direvisi. Mungkin dulu orang tua kita menikah di usia muda masih relevan. Namun, di era sekarang sudah tidak lagi relevan," tuturnya.

Retno mengatakan perknikahan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak. Pernikahan anak, apalagi anak dengan anak, juga kerap menimbulkan permasalahan.

"Bila anak menikah dengan anak, nanti secara ekonomi bagaimana. Pernikahan itu seharusnya bukan sekadar cinta, bukan sekadar ada teman tidur. Tujuan pernikahan lebih mulia dari itu," katanya.

Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi