Wawancara Tagar dan Pegiat Medsos Abu Janda Permadi Arya

Permadi Arya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi, pegiat media sosial, melawan teror dengan humor. Ini wawancara Tagar dengannya.
Permadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

Jakarta - Permadi Arya dikenal sebagai aktivis, pegiat media sosial dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. Ia bangga sebagai seorang Nahdliyin, sebutan bagi kalangan Nahdlatul Ulama. Ia anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama. Ia berdiri paling depan, melawan radikalisme, terorisme. 

Nama Abu Janda Al-Boliwudi, kata Permadi, adalah pelesetan dari nama teroris ISIS Abu Jandal yang membuat video ancaman beberapa tahun silam, ditujukan kepada Moeldoko saat menjabat Panglima TNI. 

"Videonya saya parodikan lucu-lucuan, untuk apa? Untuk melawan teror dengan humor," ujar Permadi.

Permadi juga dikenal sangat mendukung pemerintahan Jokowi. Walaupun demikian, kata Permadi, tidak seluruh keluarganya pro kepada dirinya, ada juga yang kontra.

Penjelasan Permadi Arya tersebut disampaikan dalam wawancara eksklusif dengan Tagar. Dalam wawancara ini, Permadi Arya berbicara banyak hal. Mulai dari keamanannya tinggal di perumahan Kodam, sayembara penggal leher terhadap dirinya saat ia memparodikan Bahar Smith, tentang kesamaaannya dengan anggota Front Pembela Islam (FPI), hingga tentang kemungkinan buzzer teriak buzzer dalam kasus video Bintang Emon.

Menurutnya, dirinya dan anggota FPI memiliki persamaan, yakni sama-sama anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Yang membedakan hanya doktrinnya. Dirinya mendapat doktrin Nahdlatul Ulama (NU), sementara anggota FPI mendapat doktrin Rizieq Shihab.

"Bedanya laskar FPI sama Banser apa? Enggak ada bedanya. Itu kita sama-sama anggota ormas Islam, gitu kan, yang membela apa yang kita yakini, kebenaran. Cuma beda doktrin, gitu kan. Saya doktrin NU, dia doktrinnya doktrin Habib Rizieq, basic-nya kan enggak ada bedanya aku sama mereka, gitu. Kalau aku rasa sih itu," kata Permadi.

Berikut wawancara lengkap Redaktur Khusus Tagar Yossi Girsang bersama Permadi Arya melalui aplikasi Zoom, Jumat, 19 Juni 2020, ditulis dalam bentuk tanya (T) jawab (J).

T: Posisi Anda di mana sekarang?

J: Ini posisi lagi di suatu tempat yang sangat nyaman.

T: Daerah mana nih? Daerahnya Pak Ridwan Kamil atau daerahnya Pak Anies Baswedan?

J: Di Bandung. 

T: Mungkin awal-awal dulu nih, Mas. Banyak netizen yang sangat..., ada mungkin yang jadi followers-nya Mas Permadi atau ada juga yang mungkin mencari-cari informasi Mas Permadi. Asal-usul keluarga, orang tua, itu sebenarnya dari mana, Mas?

J: Aku? Maksudnya etnisitas aku? Kayaknya dari atribut yang saya pakai kalau saya bikin vlog, termasuk yang saya pakai sekarang, enggak perlu saya jelaskan lagi, kan sebenarnya? Jadi apa namanya, keluargaku ya pokoknya wong Indonesia, kan gitu kan. Yang cinta NKRI. Ini mau ngomogin keluargaku atau ngomongin aku sebenarnya? Yang pasti keluargaku ini sebagian ya ada yang pro sama aku dan ada yang kontra juga. Jadi jangan pikir semua keluargaku itu pro sama aku juga.

T: Berarti aslinya dari Jawa berarti?

J: Meskipun tinggal di Bandung tapi kan KTP masih KTP Jakarta. Jadi kemarin pas Pilkada DKI 2016 aku masih nyoblos di Jakarta, karena KTP masih KTP Jakarta meskipun tinggal di Bandung. Dari 2008 aku tinggal di Bandung.

Jadi kemarin lagi Pilkada DKI, contoh ya. Keluargaku juga enggak semuanya... aku kan... seperti tahulah... Mungkin Tagar tahu aku sama Bang Denny Siregar termasuk pendukung Pak Ahok kemarin kan di Pilkada DKI. Keluargaku tidak semua coblos Pak Ahok. Banyak juga coblos yang ono, gitu. Jadi enggak usah bahas keluargaku. Keluargaku tidak relevan itu.

T: Baik... baik... baik. Berarti selama 2008... dari 2008 ya di Bandung? Masa kecil di Bandung juga?

J: Enggak... aku Jakarta. Aku SMA di Jakarta. Jadi aku dari kecil itu di Jakarta. Cuma aku pindah ke Bandung 2008 karena dapat orang Bandung. Ceritanya begitu. Jadi tinggal di sini sudah lama sekali.

T: Tapi mulai jadi pegiat media sosial tahun berapa?

J: Kurang lebih bersamaan dengan Denny Siregar lah. Jadi aku sama Bang Denny ini kan sama-sama tergerak... kalau Bang Denny kan penulis, aku kan lebih suka bikin vlog-vlog singkat gitu ya. Bang Denny juga sudah napak tilas mengikuti jejakku jadi vlogger juga. Cuma Bang Denny dari dulu memang formatnya lebih serius gitu, ya. Kalau aku kan semihumor.

Dulu, jadi kita mulai bareng-barenglah, sekitar 2015 gitu. Cuma waktu itu aku belum seriusin. Bang Denny juga aku rasa sama. Kita mulai dikenallah, mulai followers-nya banyak itu 2016. Aku sampai 2016 aku masih kerja di perusahaan. Jadi aku belum full time di sini. Aku kerja di perusahaan Jepang. Di Jakarta.

Sudah gitu, aku sudah mulai dikenal, mulai sering nongol di media... eh, bukan nongol di media. Lebih tepatnya pernah bikin artikel di portal beritalah. Rupanya ada yang sharing ke bosku. Bosku kan enggak mengerti. Bosku apa namanya... orang Jepang enggak mengerti, dipikirnya aku Islam radikal hahaha.... Dipikirnya aku teroris. "Kamu sedang melakukan apa? Kamu ini apa-apaan?" katanya.

Akhirnya waktu itu aku disuruh pilih. Kamu pilih kariermu atau pilih ya itu kerjaanmu itu. Karena waktu itu aku sudah mulai dapat job, ya sudah aku resign dari kantor. Jadi resmi per 2017 aku full time di sini. Jadi kalau dibilang aku full time di sini itu dari 2017. Berarti tiga tahun. Dan aku rasa Bang Denny juga kurang lebih samalah. Dia full time jadi Denny Siregar ya sekitar 2016-2017 lah, pas zamannya Pak Ahok itu.

Permadi AryaPermadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Nah, itu dimulai dari YouTube ya? Atau dari Twitter?

J: Enggak. Kalau aku... aku dari 2015 itu memang aku sudah selalu... sudah selalu apa ya? Jadi ada manusia yang dilahirkan..., manusia itu dilahirkan dengan berbagai macam bakat. Nah aku ini sama Allah, sama Tuhan dikasih bakat viral. Jadi kalau aku... bku bikin apa-apa, enggak tahu kenapa selalu viral. Jadi aku ini sejarahnya seperti itu. Aku tidak pernah merencanakan jadi Abu Janda ini, enggak pernah. Cuma tiba-tiba aku bikin video, videonya viral.

Jadi waktu itu tahun 2015 awal-awal aku viral, aku pernah bikin video mengolok-olok, ngeledek ISIS, bayangin. 2015 ketika orang sedang takut-takutnya sama ISIS. Semua orang takut sama ISIS, aku bikin video ngeledek ISIS. Seperti juga ketika kemarin aku bikin video ngeledek si Bahar Smith. Jadi memang aku tuh punya sejarah... aku tuh berani mengolok-olok atau ngeledek yang orang enggak berani ngeledek gitu lho. Sebenernya itu sih. Jadi aku tuh selalu apa... pakai unsur humor. Beda sama Bang Denny. Bang Denny tuh kan serius kan. Kalau aku tuh selalu pakai unsur humor. Jadi, mungkin kemarin apa namanya... Bang Yossy lihat yang terakhir aku viral, contohlah. Yang aku sampai... sampai viralnya sampai ada sayembara mau menggal aku. Itu kan aku ngeledekin si Bahar Smith kan.

Kalau Bang Yossy lihat videonya, sebenernya videonya itu humor. Humor saja... aku bilang, "Ini tahi lalatnya di kiri, saya tahi lalatnya di kanan", gitu kan. Jadi... tapi karena memang figur-figur yang aku apa namanya... yang aku parodikan itu memang figur-figur yang mereka anggap seperti dewa, gitu kan. Ya kayak Rizieqlah, sekarang Rizieq sudah enggak ada, Bahar Smith kayaknya mau jadi suksesi, mau gantiin si Rizieq mungkin jadi imam besar. Jadi kayaknya... jadi pengkultusannya itu luar biasa. Kalau kita memparodikan atau ya... nyentillah, atau nyolek tokoh-tokoh yang mereka kultuskan sebagai figur yang apa... suci, gitu kan. Itu mereka suka ekstra marah, gitu.

T: Anda transisi dari 2015 masih bekerja nih di perusahaan Jepang. Diberikan pilihan ini mau lanjut karier di sini atau mau lanjut penggiat di media sosial. Namanya kita bekerja kan ada income kan? Maksudnya kita bekerja di perusahaan Jepang kan setiap bulan sudah pasti, sudah jelas. Kalau di penggiat media sosial kan belum pasti. Tahun 2017 resign ini, Mas, untuk income atau pendapatan itu apakah bisa dari media sosial itu?

J: Ya hidup sih. Aku ini biar gini-gini aku nih diundang ke Jepang jadi pembicara. Diundang ke Australia jadi pembicara. Diundang ke... kalau domestik enggak usah dibilang lagi kan. Ini aku yang keluar negerinya saja yang aku bilangin. Kemarin terakhir aku diundang ke Hongkong sebelum ada corona. Jadi aku selalu ada undangan kayak gitu, lumayan. Aku sekali diundang jadi pembicara, ya... ya not bad lah, se... gaji fresh graduate kalahlah sekali honornya itu.

T: Jadi mayoritas income itu dari situ ya, Mas? Karena ada informasi-informasi yang kita dengar, katanya ada yang men-support Mas Permadi, ataupun semacam Bang Denny Siregar. Ada enggak sih? Katanya ada konglomerat di belakang atau ada orang kuat di belakang, gitu?

J: Enggak ada itu. Ngapain konglomerat? Kepentingannya apa coba konglomerat dukung hahaha.... Dukung kita koar-koar kepentingannya apa, coba?

Kita tidak pernah membela satu apa... enterpreise. Kita tidak pernah membela satu industri, kita tidak pernah membela satu bisnis. Kepentingannya apa konglomerat support kita di belakang? Aku sama Bang Denny ini ya, klarifikasi... aku pakai ini untuk klarifikasi. Aku sama Bang Denny ketika kampanye Pilpres 2019 kemarin memang kita bagian dari tim Pak Jokowi. Tetapi itu cuma sampai selesai Pilpres, itu saja.

Enggak ada itu ibaratnya buzzeRp-buzzeRp. Hoaks itu. Yang dibilang saya dan Denny Siregar masih di-sustain... masih diapa... masih dipelihara dalam tanda kutip sebagai buzzeRp, itu enggak benar. Karena kita kemarin sempat dilibatkan. Bukan saya saja. Satu tim besar yang salah satunya itu terdiri dari saya dan Denny Siregar. Tapi itu cuma sampai pilpres. Usai pilpres selesai.

Permadi AryaPermadi Arya dengan kostum memparodikan Bahar Smith, membuat seseorang tak dikenal, sangat marah hingga membuat sayembara memenggal kepalanya. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Jadi sekarang ini Mas Permadi enggak ada posisi apa gitu di pemerintahan atau di government?

J: Enggak ada. Ngapain pemerintah mempekerjakan saya? he he he. Wong kerjanya cuma cuap-cuap tok di media sosial ha ha ha... enggak bisa kerja ini orang. Bisanya cuma cuap-cuap tok ha ha ha.

T: Tapi buktinya, Mas. Setiap sampeyan itu posting video atau posting tulisan, kata-kata, itu kan hampir semuanya viral kan?

J: Memang kan kemarin sempat ada riset kan. Aku pernah baca. Ini riset, artikel bukan aku yang bikin. Tapi itu membandingkan antara impact media mainstream dibandingkan dengan influencer, gitu kan. Jadi aku kemarin... aku tuh sempat punya page yang akhirya diblokir oleh Facebook itu. Ya, itu juga karena panasnya persaingan pilpres itu. Jadi ketika pilpres, itu diblokir, terus apa namanya... karena ada report yang nyampai ke Amerika dan kebeneran report-nya itu kebeneran dari pegawai internal Facebook yang kerja di Singapura, yang ternyata kader partai oposisi. Jadi aku enggak perlu sebut namanya, lagian itu sudah tutup, sudah close book. Anyway dia tipp off ke Amerika, ngasih tahu bahwa katanya saya ini bagian dari apa namanya... sindikat fake news dan Amerika tentunya percaya karena dia dapat dari internal. Akhirnya diblokir.

Tapi, intinya yang saya pengen nyampaiin adalah sebelum saya diblokir itu, page saya yang followers-nya enggak jauh beda dari Denny Siregar, itu followers-nya setengah juta lebih, hampir 600 ribu followers-nya. Itu setiap saya posting video, average view, average view-nya itu ditonton oleh dua juta sampai tiga juta. Standar itu.

T: Artinya lebih besar dari followers juga sebenarnya ya?

J: Jadi kemarin yang saya baca artikelnya itu membandingkan impact influencer dengan apa namanya... media mainstream. Menurut artikel itu, katanya media mainstream itu average satu artikel, satu headline itu, katakanlah berita apa gitu. Itu average satu headline itu paling di-hits antara 50 ribu sampai 100 ribu. Average-nya itu ya. Per satu artikel. Koreksi kalau aku salah ya. Tapi menurut artikelnya seperti itu. Sedangkan videoku bisa ditonton dua juta sampai tiga juta viewers gitu. Jadi memang sudah ada pergeseran, makanya semua pada terjun, Deddy Corbuzier, semua pada terjun jadi konten kreator semua, karena memang impact-nya luar biasa influencer ini memang.

T: Mas Permadi, gimana belajarnya? Maksudnya, kok bisa setiap konten yang diposting, di-share itu kok bisa viral ya? Apa tipsnya?

J: Aku tadi di awal sudah bilang sama Bang Yossy, aku nih... manusia diberikan anugerah yang berbeda-beda dari Tuhan, aku nih kayaknya sama Tuhan dikasih bakat viral. Jadi aku tidak pernah merencanakan, tidak pernah mengkonsep, tapi tidak tahu kenapa setiap aku bikin video selalu viral. 

Bahkan yang terakhir, video yang aku ngeledek, mengolok-olok Bahar Smith, cuma gitu doang. Aku cuma pakai kaus yang sama sama dia, gitu kan. Kan dia videonya viral tuh, habis dibotakin kan. Dia terus pakai ikat kepala merah, baju, kaus. Kaus merah, pakai ikat kepala. Aku cuma ikutin itu doang. Aku ikutin gaya ngomongnya, ternyata viral gitu lho. 

Jadi apa sih? Aku juga enggak mengerti ha ha ha... kenapa selalu viral. Tapi mereka... tapi kok menurutku sebenarnya lebih ke ininya sih... kalau misalnya di-breakdown, kenapa videoku bisa viral. Bukan karena teknik bikin kontennya, bukan karena materi kontennya, tapi karena ya memang seperti aku bilang, aku ini muslim... aku ini sosok yang memang berani mengangkat topik yang orang enggak berani, gitu lho.

Kalau misalnya ada tokoh Islam radikal... jangan Islam radikallah, Islam garis keraslah kita sebut ya. Tokoh Islam garis keras yang dipuja, dijunjung gitu, oleh kelompok intoleran, gitu. Yang orang tentunya mikir seribu kali gitu, untuk apa namanya... nyolek gitu. Aku berani. Jadi aku rasa mungkin itu sih. Yang bikin viralnya itu karena ya enggak ada yang berani. Yang berani cuma aku, gitu lho. Aku waktu dulu, lagi banjir. Pertama kali Anies (Baswedan) jadi gubernur itu kan banjir gede. Aku bikin video ngeledek Aa Gym itu. Itu viral sekali itu video. Saking viralnya sampai ada video-video balasan dari warga Bandung.

Jadi intinya marahlah. Aku dibilang menistakan ulamalah, apalah, segala macamlah. Padahal aku cuma ngeledek gitu doang. 'Assalamualaikum, Aa Gym'. Terus di belakang gua kan banjir kan. 'Alhamdulillah ya, Jakarta ini karena pemimpinnya sekarang diridai sama Allah, jadi diberkahi sama air yang berlimpah ya, Aa Gym ya. Kalau ini sih bukan banjir. Kalau ini mah limpahan air yang berlimpah, rezeki dari Allah'.

Itu viral banget. Aku dibilang itulah, suul adab, kurang ajar sama ulama. Mungkin itu. Mungkin itu resep viralku. Resep viralku ada... yang berani melakukan itu ya cuma aku, gitu lho.

Permadi AryaPermadi Arya seorang Nahdliyin, bagian dari Nahdlatul Ulama, anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Nah, itu Mas. Bicara keberanian ini Mas. Berarti kan ada risiko, Mas. Namanya kita mem-posting sesuatu yang orang lain punya pengikut yang tidak suka, gitu ya. Apalagi tadi kita bicara ulama, kan pengikutnya besar itu, Mas. Mas Permadi tinggaal di Bandung nih ceritanya. Gimana nih keamanan Mas Permadi sama keluarga?

J: Ya. Saya... saya sekadar informasi saja, saya tinggal di Kompleks Kodam, jadi ya sudahlah. Jadi tidak ada yang berani ha ha ha... tidak ada yang berani satronin ke rumahku. Mungkin itu alasannya kenapa saya selama 10 tahun ini aman-aman saja. Ya karena saya tinggal di daerah... ini... daerah ha ha ha. Tapi anyway, ya itulah... Seperti gitulah. Jadi kalau soal keamanan... gini lho, saya dan Denny Siregar ini kenapa bisa melakukan ini karena kita ini muslim. Simpel. Karena kita ini muslim.

Kalau... memang hanya muslim yang bisa kritik Islam. Hanya seorang muslim yang bisa kritik ulamanya. Jadi ya, ibaratnya kalau pakai slogannya Pak Prabowo waktu Pilpres 2019, kalau bukan kita ya siapa lagi. Iya kan? Kalau bukan aku yang kritik ya siapa lagi? Kalau bukan Bang Denny Siregar siapa lagi? Siapa lagi? Harus muslim yang buka suara. Kayak saya, kayak Bang Denny. Apalagi kalau kita mengkritik ya itu, kelompok intoleran, apa... radikalisme... ulama yang radikal, gitu kan.

Itu karena sensitif sekali, karena itu rentan SARA, gitu kan. Apa namanya... kita ngangkat... kita kritik radikalisme, itu mau enggak mau pasti jatuhnya SARA, gitu lho. Jadi kalau itu dilakukan oleh nonmuslim, ya memang di negara ini enggak mungkin. Bisa kena pasal 156a penistaan agama, penodaan agama, langsung. Tapi karena saya Islam... loh, saya saja yang Islam, yang muslim, saya bukan sekadar muslim lho. Saya ini kader dari ormas Islam terbesar di Indonesia. Kader NU, Nadhlatul Ulama. Anggota Banser.

Pernah saya dilaporkan pasal 156a, penodaan agama. Gemblung enggak? Seorang muslim, saya dilaporkan menistakan agama Islam. Kan gemblung ha ha ha. Absurd sekali kan? Tapi, ya itulah. Itu sekadar gambaran bahwa... apa... ini yang saya dan Denny Siregar lakukan ini memang tidak bisa dilakukan oleh kalian, yang nonmuslim. Ya cuma kita yang bisa lakukan ini.

T: Oke. Mas, kenapa sangat mendukung Pak Jokowi?

J: Loh... kita ini warga sipil, Mas. Kita ini tidak punya bedil. Kita ini tidak punya apa-apa. Yang... kita ini tidak punya apa-apa. Warga sipil ini, rakyat jelata ini tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa. Yang kita punya cuma suara. Yang bisa kita lakukan cuma satu. Kita cuma bisa memastikan orang yang akan membela kita. Kita pastikan itu yang memimpin kita. 

Vote... voting, hak suara kita cuma itu yang kita punya. Jadi ketika saya dan Bang Denny Siregar mendukung Pak Jokowi, ya karena kita tahu alasannya Pak Jokowi adalah pemimpin yang cinta keberagaman, yang cinta perbedaan, yang sangat berbhineka. Sesimpel itu.

Karena kita memang... saya dan Bang Denny Siregar memang pembela bhineka tunggal ika terdepan. Kita di garda depan, kita. Membela keberagaman, membela perbedaan. Kita ini orang muslim yang... sori ya... mungkin kalau Bang Yossy juga tahulah kiprahnya Banser itu seperti apa. Kita sampai dikasih gelar penjaga gereja karena kita setiap tahun kita jaga... memang kita suka jaga gereja di acara Natal, dan itu ada alasan kuat. Karena dulu... dulu itu hampir setiap tahun acara Natal ada gereja yang dibom sama Islam radikal. Sama teroris.

Jadi kita punya alasan kuat, jadi memang sudah... saya sudah didoktrin seperti itu sebagai anggota Banser. Saya harus membela yang lemah, harus membela umat minoritas, harus membela etnis minoritas. Berapa kali kasus persekusi yang terjadi ketika Rizieq buron ke Arab itu gara-gara kasus chat esek-esek. Kasus persekusi marak sekali karena FPI menyatroni netizen yang ngeledek Rizieq di apa... di media sosial. Kan yang dipersekusi rata-rata... maaf ya, etnis minoritas di Jakarta. Etnis minoritas di Jakarta.

Siapa yang turun? Banser yang turun. Kita selalu yang turun. Kita yang... kayak ada satu persekusi waktu itu yang Banser turun itu apa... ada anak kecil Chinese di daerah Cideng kalau enggak salah. Itu dipersekusi sama FPI, terus tim legalnya Banser turun, mediasi ke keluarga, terus kasih apa namanya... kasih bantuan hukum ke keluarga, akhirnya keluarga merasa diapa... dibacking sama Banser, akhirnya berani bikin laporan ke polisi. Anggota FPI nya masuk kan. Sampai sekarang belum keluar.

Jadi yang kayak gitu-gitu... memang... memang saya didoktrinnya seperti itu. Saya harus... selama masih ada intoleransi, selama masih ada persekusi kepada umat minoritas, kepada etnis minoritas, selama masih ada persekusi terhadap ibadah umat minoritas, ya saya dan Denny Siregar akan selalu... saya sebagai muslim dan Bang Denny Siregar sebagai muslim juga akan selalu buka suara, akan selalu vokal. Karena memang itu, itu yang kita peduli. Dan balik lagi ke yang tadi, relevansinya apa ke yang tadi? Ya relevansinya dengan kenapa kita dukung Pak Jokowi, ya karena itu... karena kita tahu Pak Jokowi ini pemimpin yang mengayomi. Mengayomi semua. Enggak cuma kelompok-kelompok mayoritas saja, tetapi juga mengayomi umat minoritas, mengayomi etnis minoritas.

Pak Jokowi itu adalah sosok pemimpin yang seperti itu. Meskipun pada kepemimpinan Pak Jokowi masih banyak... apa namanya ya... belum sempurna begitu. Kayak kemarin kan banyak kasus-kasus persekusi yang kemarin masih marak, gitu, meskipun tidak semarak... meskipun tidak sesering dahulu.

Kita ambil contoh simpel saja. Sejak Pak Jokowi menjadi presiden, pernah enggak kita lihat yang namanya FPI sweeping-sweeping warung lagi, kan enggak pernah. Itu kan jelas itu. Itu kebijakan Pak Jokowi itu. Semenjak Pak Jokowi, enggak pernah lagi mereka bisa sweeping-sweeping warung, sweeping-sweeping apa namanya... restoran dan segala macam, dengan... dengan dalih apa sih... bulan Ramadan. Mereka baru keluar langsung dihadang Pak Polisi, kan. Suruh balik lagi ke markas, ke kandangnya mereka. 

Permadi AryaPermadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Artinya, sebelum Pak Jokowi, sering dong?

J: Apa?

T: Sebelum Pak Jokowi sering dong, artinya?

J: Oh jelas. Jelaslah. Sebelum Pak Jokowi setiap bulan Ramadan itu kita selalu di-tontonin sama tontonan FPI itu menggeruduk rumah makan, menggeruduk apa namanya... restoranlah, segala macamlah. Ya, itulah... itu bukti nyata bahwa perubahan itu ada. Dan itu... perubahan itu terjadi di eranya Pak Jokowi. Ya, termasuk itu salah satu yang membuat Pak Jokowi itu sangat-sangat dibenci oleh kelompok intoleran yang beroposisi. Sampai... sama... Pak Jokowi... kita tahu kan kemarin saat Pak Prabowo memutuskan untuk rekonsiliasi sama Pak Jokowi, jauh sebelum Pak Prabowo diangkat jadi Menhan, Pak Prabowo sudah mengajak seluruh pendukungnya untuk rekonsiliasi.

Kita tahu apa yang terjadi. 212 dan FPI malah mengutuk Pak Prabowo. Katanya Pak Prabowo mengkhianati perjuangan mereka. Apalah gitu kan. Kita sudah tahu kelompoknya yang mana yang selalu bikin gaduh. Bikin apa namanya... bikin ramai ha ha ha. Bikin bising di negeri ini. Alasannya ya itu, alasannya karena di eranya Pak Jokowi mereka sudah tidak bisa seenaknya persekusi. Apa namanya... rumah makan lagi. Sudah tidak bisa seenaknya geruduk warteg lagi, gitu kan. Saya enggak tahu, saya enggak mau menuduh. Tapi mungkin ada penghasilan mereka dari situ yang hilang.

Terus juga... bukan itu saja. Kan persekusi rumah ibadah juga enggak mudah. Enggak semudah itulah. Memang masih ada tapi enggak semarak dulu, gitu. Persekusi warga agama minoritas yang sedang ibadah, gitu kan. Itu kan... semuanya lebih baguslah. Aparat lebih hadir dibanding dulu. Di eranya Pak Jokowi. Dan itu alasannya kenapa Pak Jokowi dibenci sekali, makanya marak sekali apa... ya kita tahulah, ujaran kebencian, hate speech, hasutan permusuhan terhadap Pak Jokowi kan terutama, terhadap pemerintahan. 

Kan kita tahu itu datangnya dari mana. Dari kelompok-kelompok itu-itu saja. Isu-isu PKI, isu-isu komunis, ini segala macam, antek China dan segala macam. Isunya ya digoreng sama kelompok itu-itu lagi, itu-itu lagi. Ya karena itu. Salah satunya juga kan kita tahu kenapa. Karena HTI dibubarkan. Pada era siapa? Ada enggak yang berani bubarin HTI? Enggak ada. Padahal itu jelas-jelas makar itu. Doktrin khilafah itu sama dengan doktrinnya ISIS.

Aku punya video itu, emirnya ISIS, Abu Bakar Al Baghdadi ngomong soal khilafah-khilafah, tegakkan khilafah. Lalu apa bedanya sama si HTI. Cuma bedanya si HTI enggak menenteng AK-47, itu saja bedanya. Dia lebih inteleklah. Cuma kan sama yang diperjuangkan, menegakkan khilafah, mendirikan negara Islam, mengganti sistem republik atau mengganti falsafah negara Pancasila yang sudah ada. Jelas. Jelas itu kelompok makar, makanya dibubarkan. Dan era siapa dibubarkannya? Era Pak Jokowi.

Jadi kalau ditanya kenapa saya dukung Pak Jokowi? Jelas. Saya sama Denny Siregar ini yang ada di garda terdepan melawan intoleransi, melawan radikalisme. Jadi kalau ada sosok seperti Pak Jokowi yang berani bubarin, off course kita dukung lho. Bukan karena kita dibayar.

Permadi AryaPermadi Arya pintar main musik. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Artinya, Mas, Pak Jokowi kan nanti sampai 2024 ya. Akan ada pemilu lagi di mana Pak Jokowi tidak bisa maju lagi. Artinya nanti Mas Permadi, terus Bang Denny Siregar, akan selalu bersebelahan dong... akan selalu berseberangan dong dengan kelompok yang tadi Mas Permadi sebutkan, tidak akan pernah satu dong ya?

J: Ya sekarang gini sajalah Bang Yossy. Ini sebenarnya polarisasi... polarisasi apa... terpecahnya... terbelahnya menjadi kubu ini kan sudah dari Pilpres 2014. Pilpres 2014 yang mendukung Pak Prabowo, yang dukung Pak Jokowi ya itu-itu saja. Gitu kan. Terus akhirnya nyambung ke Pilkada DKI ketika ramai kasus Ahok, Pak Ahok. Yang dukung Pak Ahok itu-itu saja. Ormas Islamnya itu-itu saja. Terus juga sama yang waktu itu, yang kita... yang pro 212, yang ikut 212 kita tahu orangnya itu-itu saja. Nyambung lagi ke Pilpres 2019. Yang dukung Pak Jokowi itu-itu saja. Yang kemarin di 212 ada di Pak Prabowo, yang kemarin kita menolak 212 ada di Pak Jokowi. Jadi, ini sudah panjang. Ini ceritanya sudah panjang sekali ini. Sudah lama sekali polarisasi ini sebenernya.

Jadi, kalau misalnya Bang Yossy bilang apakah 2024 kita masih akan berseberangan, kalau menurutku sih masih terlalu dini ya, karena kita juga enggak tahu dengan tidak adanya Pak Jokowi di Pilpres nanti kan ini bener-bener ini kontestasi pilpres ini, kalau menurutku belum ketebak banget ya. Meskipun sudah ada tokoh-tokoh yang digadang-gadang bakal jadi... kayak Pak Anies segala macam, ada Pak Ganjar ini, tapi kan ini... aduh... kalau menurutku ini masih terlalu jauhlah. 

Kita tahu yang namanya pilpres itu urusan logistik, dan belum tentu Pak Anies itu punya logistik, dan belum tentu ada parpol yang nanti mau dukung logistik ke Pak Anies. Kita sudah tahulah yang sudah ready logistik untuk pilpres sampai sekarang baru dua tokoh, yaitu Bang Sandi (Sandiaga Uno), kita tahu dia punya logistik untuk kontestasi tanpa harus minta sana-sini, tanpa harus ngemis sana-sini. Atau juga contohnya Mas Agus Yudhoyono. Saya yakin Demokrat sudah punya logistik. Siap untuk mengusung Mas Agus di Pilpres 2024 tanpa harus apa namanya... minta sana-sini, tanpa harus mengemis sana-sini.

Jadi kalau di mata saya sebenarnya yang sudah siap logistik untuk nyapres di 2024 baru dua sosok. Baru Bang Sandi sama Mas Agus Yudhoyono. Jadi, tokoh-tokoh yang sekarang ini digadang-gadang ini kalau menurutku sih masih tentatiflah. Belum tentu Pak Anies mendapatkan logistik buat capres nanti, karena besar sekali itu logistiknya. Sudah gitu, Pak Ganjar, aku dengar informasinya meskipun belum A1, tapi aku dengar arahannya dari PDIP Puan dengan Pak Prabowo. Jadi kan Ganjar sekarang yang begitu harum digadang-gadang untuk Pilpres kan kalau nanti keputusan PDIP Puan dan Prabowo, Ganjar bye bye gitu kan. Jadi menurut saya sih belum ketebak sekali ini.

Denny SiregarPermadi Arya (kanan) dan sahabatnya, Denny Siregar. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Tapi kalau di hatinya Mas Permadi siapa nih? Di hatinya Mas Permadi siapa nih yang cocok?

J: Saya sih enggak mau berteori, tapi kalau analisa saya yang sudah siap logistik untuk nyapres di 2024 ini baru dua sosok yang saya bilang tadi. Baru Bang Sandi sama Mas Agus. Aku enggak tahu, aku berharap, berdoa, moga-moga Bang Sandi mau... apa... mau nyapres sama Mas Agus. Entah Bang Sandi capresnya, wapresnya Mas Agus atau sebaliknya Mas Agus capresnya, wapresnya Bang Sandi. Bayangin itu keren sekali kan. Dua sosok muda, ganteng, kaya, Sandi-AHY, wiih keren banget Indonesia kalau punya presiden dan wapres dua pemuda ganteng yang kaya raya. Yah, itu cuma ini ajalah....

T: Artinya menurut Mas Permadi siap ya kalau ternyata memang betul ini persiapannya, maka siap untuk jadi tim sukses ya?

J: Lho... ya ini kan... makanya aku bilang ini masih cair sekali. Masih lama 2024 itu. Masih lama, masih cair sekali. Aku dengar Gatot Nurmantyo, aku dengar juga punya ambisi ikut kontestasi. Mungkin ya, mungkin ini sih cuma perkiraan aku. Mungkin nanti kalau memang Pak Anies itu bisa menemukan parpol yang akan dukung beliau, mungkin nanti bisa jadi sama Pak Gatot mungkin, kayaknya itu... Karena itu yang sangat-sangat apa... meng-endorse dua sosok itu kan kelompoknya sama. Kita tahulah. Yang gencar meng-endorse Pak Anies juga kelompoknya sama dengan kelompok yang gencar endorse Pak Gatot Nurmantyo.

Jadi mungkin. Mungkin. Ini perkiraanku, jikalau memang mereka dua-dua mendapat logistik ya mungkin Anies-Gatot, atau Gatot-Anies, gitu kan. Itu satu pasang. Terus nanti yang kalau informasi yang beredar ini, meskipun baru gosip, belum A1, Pak Prabowo katanya mau sama Mbak Puan. Jadi nanti ada Prabowo-Puan, ada Anies-Gatot, ada... harapan saya, ada Sandi dan AHY. Ini perkiraanku saja. Loh perkiraanku ini. Ini perkiraanku. Kalau ada kemungkinan tiga pasang itu. Anies-Gatot, Prabowo-Puan, AHY-Sandi. Ini harapan saya.

Kalau itu sampai terjadi, sudahlah. AHY dan Sandi, jelas. Kalau konfigurasinya seperti itu. Kalau formasinya seperti itu.

T: Tapi kan survei-survei ada lagi tuh. Ada nama Pak Ridwan Kamil, Pak Mahfud MD, itu gimana?

J: Itu dia saya bilang, Bang Yossy. Yang namanya pilpres itu... itu butuh logistik yang besar sekali itu. Kan, kita tahulah apa yang terjadi di Pilpres 2019 ketika Andi Arief ngamuk-ngamuk menyebut Prabowo jenderal kardus. Itu kan kita tahu kenapa. Karena sudah salaman dengan Demokrat mau wapresnya, Mas AHY, Mas Agus. Tiba-tiba Sandi datang belakangan tiba-tiba berubah kesepakatan. Tiba-tiba jadiin Sandi apa namanya... jadi wapres.

Ya saya dengar informasinya, belum A1, masih desas desus, rumor katanya karena Bang Sandi bilang ke Pak Prabowo, 'Kalau lu jadiin gua wapres, lu enggak usah keluar duit. Semua logistik dari gue'. Makanya keluarlah itu kardus satu triliun apalah yang waktu itu kan ramai kan di medsos kan. Jadi, balik lagi. Lu mau siapa... mau gadang-gadang siapa pun sekarang, mau Ridwan Kamil kek, siapa. Belum tentu. Bahkan Anies sekalipun belum tentu nanti 2024 bisa dapatkan logistik untuk nyapres. Karena besar sekali. Dan belum tentu lho parpol mau keluar duit buat mereka. Seharum apa pun elektabilitas mereka.

T: Perkiraan Mas Permadi, itu berapa sih sebenarnya logistik untuk jadi presiden itu?

J: Ya, jadi sekarang gini sajalah, yang kemarin ramai, yang kemarin isunya ramai di Pilpres 2019, itu Bang Sandi kan diisukan... ini viral ya di medsos. Katanya bawa dua kardus, satu kardusnya 500 M, berarti kan satu T. Enggak tahu. Saya mungkin... mungkin... Ya jelas T-T-anlah. Jelas T-T-an. Pasilah.

T: Secara resmi kan Bang Sandi bilang mengeluarkan duit cukup besar ya. Memang kan ada laporan kan memang kan? Tapi angka yang satu triliun itu kan seingat saya sih enggak pernah disebutkan ya. Tapi miliaran rupiah, iya.

J: Ya ini kan saya bilang ini yang viral di medsos, gosipnya. Gosip ya. Jadi gosipnya kan sampai triliunan gitu lho. Tapi kalaupun iya benar, saya pikir sih mungkin sajalah. Besar sekali, wong katanya jadi anggota DPR aja apa... nyaleg saja itu bisa miliaran puluhan miliar habisnya. Jadi bupati saja untuk pilkada aja bisa puluhan ratusan miliar katanya logistiknya, harus keluar duit.

Jadi ya, kalau jadi presiden itu... mau nyapres itu logistiknya sampai triliun ya mungkin saja sih. Bukan enggak mungkin.

Permadi AryaPermadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Oke...oke... tapi, Mas... kita agak balik sedikit ke awal. Pernah enggak sih secara fisik ada yang melukai pas di jalan atau di mana gitu, Mas Permadi?

J: Ya... ya seperti Bang Yossy tahu, banyak ancaman ke saya. Bahkan yang terakhir ramai itu saya bikin video yang apa namanya... yang memparodikan Bahar Smith itu kan sampai ada sayembara mau penggal saya kan. Bayangin lho, sayembara penggal saya, bayangin. Jadi ya kalau saya menyikapinya setelah tiga tahun saya melakukan ini yang penting saya hati-hati. Hati-hati dalam arti gini lho... karena saya suka bikin video, jadi... terus saya suka tampil di TV, muka saya cukup dikenal. Cukup dikenal ya, jadi memang ya kalau saya jalan itu orang mengenalilah. Jadi... sayanya harus hati-hati. Selama ini saya hati-hati. Selama saya pergi ke tempat-tempat yang kira-kira enggak ada kelompok itu... yang nyariin saya, ya aman.

Contohnya saya di Jakarta, misalnya saya pergi ke mal gitu kan, ya aman. Tapi kalau misalnya saya main-main ke markasnya FPI ya jangan dong ha ha ha. Itu nyari penyakit, gitu kan. Ha ha ha.

T: Body guard atau apa gitu? Ada punya body guard atau pendamping, gitu?

J: Enggaklah. Enggak. Aku itu tinggiku 182, aku itu lumayan besar orangnya. Di video juga Bang Yossy bisa lhat. Ada itu videoku terakhir, aku taruh di IG, itu kelihatan sekali. Aku bikin video joget sama orang-orang, aku paling tinggi sendiri. Aku tinggi sekali. Jadi mungkin... mungkin ada satu dua kali aku ketemu, berpapasan dengan orang yang anti sama aku gitu. Tapi mungkin pas dia ngelihat saya, oh ternyata gede juga orangnya ya. Kalau berantem belum tentu menang. Mereka cuma ngeliatin dari jauh doang, sambil cemberut, gitu kan. Enggak berani nyamperin ha ha ha. Jadi sejauh ini enggak pernah ada yang sampai nyamperin... 'Eh berantem yuk', enggak pernah. Tapi kalau ngeliatin dari jauh sambil muka sebal, ada lah. Beberapa kalilah.

T: Soalnya kan kita tahu kan, kasus yang Pak Wiranto dulu kan mengerikan ya. Maksudnya kan tiba-tiba turun dari mobil, gitu. Artinya kan, namanya kita terkenal terus dalam tanda kutip punya musuhlah gitu. Kan enggak tahu tiba-tiba sudah di... dipukul atau gimana, gitu Mas.

J: Waduh. Kalau itu kan memang... gini lho, yang menyerang Pak Wiranto itu kan apa namanya... kan memang masih ada afiliasi sama ISIS ya. Jadi itu teroris itu, benar-benar teroris itu. Kalau aku ini kan sebenarnya... aduh... mungkin teroris ini enggak bakal menarget apa namanya... target seperti aku yang apa... siapa nih...Abu Janda ini sopo sih? Yang ditarget teroris ya target-target high profile seperti Pak Wiranto, gitu kan. Ya jelas, gitu kan. Ngapain teroris narget Abu Janda he he he. Enggak ada strategisnya, enggak ada keuntungan strategis matiin Abu Janda.

Lagian yang gedeg sama aku kan palingan cuma FPI, gitu lho. Jadi laskar-laskar... mereka kan bukan teroris. Mereka kan orang juga sama kayak kitalah. Bedanya laskar FPI sama Banser apa? Enggak ada bedanya. Itu kita sama-sama anggota ormas Islam, gitu kan, yang membela apa yang kita yakini, kebenaran. Cuma beda doktrin, gitu kan. Saya doktrin NU, dia doktrinnya doktrin Habib Rizieq, tapi basic-nya kan enggak ada bedanya aku sama mereka, gitu. Kalau aku rasa sih itu.

Intinya, yang enggak suka sama saya ya orang-orang beradab juga kok. Orang-orang yang sekolah, punya keluarga, jadi enggak bakal melakukan hal yang sampai.... Aku kasih contoh, aku pernah... aku diundang ILC aku pernah. Terus waktu itu ILC itu kan selalu ada audience kan, ada audience. Jadi audience-nya di depan dikasih meja-meja bundar gitu, dan kebeneran waktu itu yang diundang itu ya apa namanya, suporternya oposisi semua. Suporternya kubu yang berlawanan sama saya. Jadi di meja depan itu saya lihat ada FPI satu meja, ada pengacara apa gitu, pengacara... pokoknya 212... ya itulah, pokoknya grup sana semua.

Terus tahu enggak apa yang terjadi? Ketika selesai itu kan, biasa kan si penonton itu ke depan, ke mimbar, ke forum pengen selfie dengan narasumbernya. Ada laskar FPI nyamperin saya, terus dia bilang, 'Bang aku FPI, Bang. Akhirnya aku bisa juga ketemu sama Abang. Selfie ya Bang, kita'. Malah mengajak selfie. Jadi kadang-kadang menurutku ini medsos ini... kita panas ini cuma di medsos saja, karena pada akhirnya kita ini orang-orang beradab semua yang pernah makan bangku sekolah semua, enggak bakal sampai jadi teroris gitu lho.

Permadi AryaPermadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. Saat namanya trending Twitter. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Tapi yang membuat sayembara, sori... yang kepala-kepala tadi itu, itu Mas Permadi laporkan?

J: Ya itu kan aku sudah melakukan pengecekan. Ternyata orangnya tidak tinggal di Indonesia. Tinggal di Malaysia. Makanya dia berani bikin video itu. Dia tahu kalau dia tinggal di sini bisa kena pasal. Jadi ya gimana. Saya laporkan ke polisi juga polisi mau gimana? Mau minta ekstradisi? maksudnya polisi masih banyak... Pak polisi itu masih banyak urusan yang harus diurus. Makanya saya kalau enggak penting-penting banget saya enggak lapor ke polisilah. Kasihan, kerjaannya sudah banyak. Suruh ngurusin urusan yang lebih penting, gitu lho. Enggak usah ngurusin urusan Abu Janda ha ha ha.

T: Mas, ini ada pertanyaan yang lagi hot nih, yang lagi dibahas di banyak media. Tentang... mungkin agak apa sedikit ya... karena kita tahu Mas Permadi membela sangat dengan pemerintah ya. Kan tahu nih akhir-akhir ini ada komika nih, stand up komedian, Bintang Emon, yang bikin apa dua menit video. Intinya itu menyinggung persoalan ini... Novel Baswedan yang...

J: Ya... dia nyindir... yang dia sindir itu adalah apa namanya... proses persidangannya lebih tepatnya.

T: Gimana itu menurut Mas Permadi?

J: Sah-sah saja sih aku pikir. Memang yang disayangkan kemarin itu, setelah dia bikin apa... video viral itu nyindir hakim ya... Tuntutan yang disindir kalau enggak salah, yang cuma setahun itu. Sayangnya beberapa hari ada serangan ke dia dan langsung di-framing, langsung diopinikan bahwa yang menyerang dia ini sudah pasti dari pemerintah, buzzer dari pemerintah. Ini sangat-sangat menyesatkan bagi saya, ya. Karena tidak ada bukti itu. Tidak ada bukti bahwa yang menyerang itu buzzer pemerintah. Tidak ada bukti bahwa yang menyerang itu misalnya pendukungnya Pak Jokowi, itu tidak ada.

Mereka hanya membuat framing itu, membuat opini itu. Hanya opini semata. Tapi ya karena yang diserangnya adalah tokoh yang sangat-sangat viral. Viral seviral-viralnya Bintang Emon itu, akhirnya netizen, seluruh netizen akhirnya terbawa kepada framing itu. Langsung percaya, bahwa ini yang menyerang... oooh ini pasti apa namanya... tindakan balas dendam karena tidak terima disindir. Itu kan jelas-jelas sangat sesat. Menyesatkan itu. Karena itu bisa siapa saja. Maaf ya... sori ya... itu bisa siapa saja. Kita tahu zaman sekarang ini sudah zamannya apa namanya... aku lupa... istilahnya apa itu... ada istilahnya itu... apa namanya... flag... Aku lupalah istilahnya apa.

Intinya apa namanya itu... itu sudah suatu metoda konter intelijen yang sudah kita kenal, yang sudah dikenal itu, bertahun-tahun sudah menjadi metoda umum yang dipakai, terutama... jadi kalau ada suatu bentuk serangan kepada suatu tokoh itu, mmm... disengaja dilakukan untuk mendiskreditkan apa... kubu yang berhadapan dengan tokoh yang diserang itu, padahal yang menyerang belum tentu dari kubu yang berhadapan dengan dia, gitu.

Permadi AryaPermadi Arya, pegiat media sosial yang awalnya populer dengan nama parodi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Artinya kan ini... pemerintah dirugikan dong dalam hal ini, Mas? Kenapa enggak. Dulu kasus juga Deddy Corbuzier kalau enggak salah, yang anaknya di-bully atau difitnah itu, bisa ketemu juga nih orang yang mem-posting sampai ketemu kalau enggak salah kan?

J: Ini kan masalahnya kan yang posting ini adalah akun bodong. Akun bodong yang identitasnya tidak jelas, followers-nya tidak jelas. Tapi yang menarik ini adalah ketika akun bodong ini posting, tiba-tiba influencer yang followers-nya besar-besar tiba-tiba meramaikan, dan mereka meramaikan dalam satu narasi. Seperti sudah dilatih, seperti sudah janjian, seperti sudah di-prepping, seperti sudah diarahkan, bahwa ini akun bodong ini adalah buzzer pemerintah.

Jadi saya yang menarik ini justru kenapa akun bodong yang tidak signifikan, tidak penting, mengangkat... yang followers-nya pun cuma puluhan, sangat-sangat tidak signifikan dan sangat tidak penting konten yang dia angkat sama akun bodong ini. Tapi tiba-tiba dalam satu harmonisasi yang ter... apa namanya... terstruktur, TSM, terstruktur sistematis dan massif tiba-tiba influencer-influencer tiba-tiba serentak. Serentak dan dalam harmoni mengangkat postingan akun bodong ini dan disertai dengan satu narasi yang kompak. Satu komando bahwa ini adalah perbuatan buzzer pemerintah. Ini yang menarik justru.

Jadi yang menarik bukan akun bodongnya itu. Tapi kenapa ada satu narasi dalam satu komando yang menggerakkan seluruh influencer ini, untuk semua teriak hal yang sama. Ini justru yang menarik. Jangan-jangan mereka. Itu yang justru... ada arahannya itu.

T: Itu ada nama-nama di Twitter itu yang terkenal lho Mas, kayak Bang Panji Pragiwaksono.

J: Lha iya. Ya memang mereka... dengan mereka jadi selebritis, mereka tidak apa... dapat kartu bebas ini... kartu bebas buzzer? Siapa bilang? Mereka juga bisa jadi buzzer kok, meskipun kita sulit untuk membuktikan ini. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa jadi buzzer. Mereka bisa jadi buzzer. Bisa-bisa ini buzzer teriak buzzer. Buzzer teriak buzzer. Menuduh orang buzzer padahal mereka yang buzzer.

T: Jadi ini ya... jadi kompleks malah ya?

J: Enggak kompleks. Sebenernya simpel. Justru enggak kompleks. Ini sebetulnya masalahnya simpel. Akun bodong tidak signifikan diangkat secara serentak, secara masif dalam narasi yang satu komando oleh influencer-influencer, selebritis-selebritis, selebtwit-selebtwit secara kompak, seperti ada yang mengarahkan.

Jadi ini sebenarnya simpel. Intinya, kemarin pemerintah dirugikan dengan narasi ini. Padahal tidak ada bukti. Tidak bisa dibuktikan bahwa akun itu adalah akun buzzer pemerintah, tidak ada bukti. ini semua cuma opini belaka. Opini belaka. Sesat menyesatkan. Tidak ada bukti bahwa itu buzzer pemerintah.

T: Iya ya... jadi ini ya... soalnya kan... bisa dibilang, contoh simpel ya, teman-teman stand up komedi begitu banyak yang membela Bintang Emon, itu kan seolah-olah kayak semua merasa... bahkan kemarin kita sempat wawancara beberapa... ada juga perwakilan... bukan perwakilan... Ada komika juga, mereka akhirnya terbentuk mindset bahwa ya pemerintah kita ini melarang demokrasi.

J: Ya itu makanya. Itu memang narasi yang mau dibentuk kan seperti itu. Aku jadi... aku baru ingat, sekarang aku pengen ngomong tadi yang aku lupa. Itu namanya Fallsflag. Fallsflag itu adalah tindakan konter intelijen yang menyerang salah satu tokoh yang beroposisi dengan kubu yang dilakukan bukan oleh kubu oposisi tersebut, tapi dilakukan oleh orang, bagian dari circle lingkaran dia sendiri. Gunanya untuk mendiskreditkan kubu dari tokoh yang diserang tersebut.

Jadi, itu bisa siapa saja yang menyerang. Bisa jadi itu orangnya Pak Novel Baswedan yang menyerang, sengaja untuk mendiskreditkan pemerintah, karena memang yang punya kepentingan untuk pemerintah didiskreditkan ya Novel Baswedan.

Jadi itu bisa siapa saja. Tidak ada bukti itu buzzer pemerintah. Bisa dari orang suruhannya Novel Baswedan, bisa jadi. Tidak ada. Tidak ada bukti bahwa itu buzzer pemerintah. Itu yang namanya operasi fallsflag. Operasi fallsflag. Bisa Google.

Permadi AryaPermadi Arya berpose di depan foto Presiden Jokowi. (Foto: Instagram/@permadiaktivis2)

T: Mungkin pertanyaan terakhir, Mas. Sudah enggak terasa kita hampir sejam nih ya, diskusinya. Mmm... Mas Permadi, tadi kan jelas sekali Anda mengatakan bahwa Anda adalah pendukung garis kerasnya Pak Jokowi. Mungkin pertanyaannya adalah, kira-kira apa harapan dari pemerintah Jokowi, yang mungkin saat ini Mas Permadi lihat masih perlu diperbaiki?

J: Saya sama Bang Denny Siregar sebenernya kan kita ini... kalau Bang Denny Siregar mungkin dia cakupannya, topiknya lebih luas. Kalau yang namanya Permadi Arya, Abu Janda, yang saya angkat ini tidak... tidak jauh dari intoleransi dan radikalisme. Jadi sebenarnya saya tidak berpolitik seperti Bang Denny Siregar. Bang Denny Siregar bisa bikin konten membahas NasDem, membahas Hanura. Aku enggak. 

Sebetulnya aku enggak pernah membikin konten politik. Yang aku bahas cuma radikalisme dan intoleransi. Jadi yang aku tahu cuma itu. Jadi kalau misalnya Bang Yossy tanya yang kurang dari Pak Jokowi, ya menurutku dari apa yang aku tahu sebagai pegiat media sosial yang antiradikalisme dan antitoleransi, ya saya berharap di eranya Pak Jokowi ini aparat bisa lebih hadir. 

Karena seperti kita tahu, masih ada letupan-letupan intoleransi meskipun sudah jauh berkurang dibanding dulu. Tapi kita tahu kemarin ada persekusi umat Kristiani yang sedang ibadah April 2020 kemarin, di Cengkareng, eh sori, di Cikarang, itu umat kristen, warga mereka tidak mengundang siapa pun, keluarga saja, internal lagi ibadah. TIba-tiba dihentikan paksa oleh warga. Kan itu menyedihkan sekali kan.

Dan ternyata pelakunya tidak dihukum apa pun, damai, materai lagi. Itu saja yang aku komplain dari apa namanya... dari eranya Pak Jokowi. Mungkin masih bisa lebih diperbaiki. Tapi aku paham, Indonesia ini negara yang sangat besar, banyak sekali orang yang harus diurus. Tidak bisa aparat ini membuka mata dan mitigasi ke setiap lokasi di setiap tempat karena ini negara yang sangat besar. 

Tapi aku berharap itu bisa diperbaiki lagi. Jangan sampai lagi apa namanya... kalau ada pun minimal. Minimal. Aparat hadir, cepat bergerak, dan melakukan mitigasi, dan kalau bisa ya pelaku persekusi ini ya jangan cuma damai materai saja, tapi ya dapat hukuman yang sesuai dengan pasal yang berlaku agar memberikan efek jera kepada kelompok intoleran yang lain sebelum mereka melakukan persekusi ibadah umat minoritas, biar mereka mikir dua kali gitu, 'Ini kalau gua persekusi, gua bisa masuk penjara', gitu.

Tapi ya karena jarang sampai dihukum, akhirnya mungkin mereka tidak ada efek jeranya, gitu. Jadi itu yang aku harapkan. Jangan sampai ada lagi kasus-kasus seperti yang ramai, ya... tiga kasus yang ramai terakhir inilah, yang di Cengkareng, April 2020, terus apa namanya... persekusi gereja di apa namanya... Gereja Katolik di Tanjung Balai Karimun, terus yang heboh, larangan Natal di Damsa Raya, itu yang tiga terakhir itu. Kalau bisa jangan ada lagilah. Itu saja sih yang aku harapkan.

T: Nah, sebagai penutup nih Mas Permadi, kira-kira apa pesan yang mau Anda berikan kepada penonton Tagar dan juga kepada netizen atau warganet yang nantinya menonton video bincang-bincang kita ini. Silakan.

J: Ya, pokoknya saya pengen bilang... pesannya adalah, ya... kalau followers saya tahu apa yang saya lakukan... apa ya... itu dia, balik lagi. Saya ini pegiat media sosial yang vokal terhadap intoleransi dan radikalisme. Saya cuma kepengin bilang kalian netizen is the king. Oke. Netizen adalah raja, jadi kalianlah yang sebetulnya punya suara paling besar ketika kemarin Bintang Emon difitnah. 

Kalian kan yang meramaikan sampai akhirnya membuat riak begitu besar, sampai akhirnya media mainstream pun ikut apa namanya... tidak bisa... tidak kuasa untuk mengabaikan. Jadi tetep netizen adalah raja. Keep posting, selalu ya selalu posting, jangan pernah menyerah kalau memang kalian punya nilai-nilai yang kalian perjuangkan, karena media sosial ini sudah jadi media... sdah jadi media... bersuara gitu lho. Kalian... suara kalian signifikan. Suara kalian itu netizen itu signifikan. Kalian is the king, kalian adalah raja. 

Permadi AryaPermadi Arya. Foto tahun 2017. Permadi menyebut ini masa normal, belum menjadi Abu Janda Al-Boliwudi. (Foto: Dok Pribadi)

Profil Permadi Arya

Permadi Arya lahir di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, 14 Desember 1976. Ia menikah tahun 2005, kemudian bercerai pada 2018, mempunyai dua anak, laki-laki lahir 2007, perempuan lahir 2010.

Riwayat Pendidikan Permadi Arya

  • Sertifikat English Level 12 (tertinggi) ATT Language Center, Singapore, Oktober 1995
  • Sertifikat English Advance 3 (tertinggi) The British Council, Singapore, April 1996
  • Sertifikat English Business 2 (tertinggi) The British Council, Singapore, Mei 1996
  • D3 Computer Studies, IP: 3,50 Informatics IT School, Singapore (validasi University of Cambridge UK), April 1997
  • S1 (ext) Business & Finance, IP: 3,33 University of Wolverhampton, UK. Wolverhampton, Inggris, September 1999

Riwayat Karier Permadi Arya

  • Kepala Bagian Settlement PT Trimegah Sucurites Tbk (Perusahaan Pialang Saham Jakarta), Desember 1999-Desember 2003
  • Officer Corporate Banking PT Bank Niaga Tbk, Januari 2004-Januari 2008
  • Kepala Bagian Client Admin Philip Securities Singapore, Januari 2008-Januari 2009
  • Manajer Lapangan KP Batubara PT Inter Steel Indonesia Coal Mining KM 167 Sungai Danau, Kalimantan Selatan, Agustus 2009-Juni 2015
  • Asisten Manager Perusahaan Jepang PT AdCrux Onoff Group Japan Permata Senayan Blok E-18, Jakarta, Juni 2015-Februari 2017

Aktivitas di Nahdlatul Ulama

Menjadi anggota Barisan Serbaguna Ansor (Banser) Nahdlatul Ulama, Permadi Arya mengikuti kaderisasi atau pendidikan khusus.

  • Pendidikan Kepemimpinan Dasar (PKD) Ansor
  • Pendidikan Kepemimpinan Lanjutan (PKL) Ansor
  • Pendidikan Latihan Fisik Dasar (Diklatsar) selama tiga hari untuk menjadi Banser
  • Pernah menjadi instruktur PKD Ansor

(PEN)

Baca juga:

Berita terkait
Wawancara Eksklusif Bersama Daood Debu
Jurnalis Tagar berhasil melakukan wawancara khusus bersama Daood Debu tentang perjalanan kariernya di dunia musik, hingga bersolo karier.
Wawancara Eksklusif Adian Napitupulu
Wawancara eksklusif Tagar dengan Adian Napitupulu di rumah dinasnya di kompleks DPR RI Kalibata, dari A sampai Z tentang berbagai isu terkini.
Wawancara Eksklusif Budiman Sudjatmiko
Bincang-bincang Tagar bersama Budiman Sudjatmiko tentang Inovator 4.0 Indonesia, berbagai isu terkini, kiprahnya di politik, dan kehidupan pribadi.