Wawancara Eksklusif Tagar dan Hanung Bramantyo Saat Pandemi

Hanung Bramantyo bercerita banyak kepada Tagar, termasuk beratnya biaya tes swab Rp 2,5 juta per orang, protokol syuting film pada era new normal.
Hanung Bramantyo. (Foto: Dok Tagar TV)

Jakarta Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap perfilman Indonesia, termasuk memukul para pelaku industri film, tak terkecuali Sutradara Hanung Bramantyo. Dampak itu, kata Hanung, bukan hanya terasa selama pandemi, tetapi juga nanti setelah new normal atau normal baru diterapkan di Indonesia. Sebab, meskipun new normal diterapkan, para pelaku industri film tetap harus mengikuti protokol kesehatan. Salah satunya adalah pelaksanaan tes swab yang harganya sangat mahal, per orang Rp 2,5 juta.

Hal itu menurutnya cukup memberatkan. Terlebih untuk produksi film yang harus melibatkan banyak orang di dalamnya. Ia harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 2,5 juta per kru. Padahal tak jarang film-film yang disutradarainya melibatkan 200 kru.

Menurut Hanung, dalam kondisi seperti saat ini, YouTuber menjadi pihak yang tidak terpengaruh. Penghasilan YouTuber yang sudah memiliki jutaan subscriber atau pelanggan, kata Hanung, lebih besar dari gaji seorang sutradara.

Dalam wawancara eksklusif dengan Tagar, Hanung tidak hanya bicara film. Ia membahas banyak hal, termasuk kerja sama dengan sang istri, Zaskia Adya Mecca adalah bagian dari strateginya bertahan di tengah pandemi. Ia juga bercerita bagaimana membuat film pendek bersama anak-anaknya untuk diunggah di YouTube, hingga susahnya 'mengimpor' aktor dan aktris dari Jakarta ke Yogyakarta. Hanung juga bercerita tentang anak yang sedang dalam kandungan Zaskia, anak kelima, yang rencananya sebulan lagi lahir.

Berikut wawancara eksklusif Redaktur Pelaksana Tagar Siti Afifiyah dengan Sutradara Hanung Bramantyo melalui aplikasi Zoom, Jumat, 5 Juni 2020, dikemas dalam format tanya (T) jawab (J).

T: Kita ingin tahu strategi bisnis Mas Hanung pada masa pandemi, kemudian langkah apa yang akan dilakukan pada era new normal? Apakah sudah siap syuting dengan protokol kesehatan. Kan semua industri sekarang ini terpukul ya. Ini tantangan untuk semuanya, bagaimana bisa bertahan dan kemudian tetap berjalan perekonomian. Dari Mas Hanung sendiri bagaimana strateginya?

J: Strateginya ya saat ini sebetulya tidak bisa lain selain hanya di rumah. Ada yang meminta saya syuting tapi saya bilang jaminannya apa? Jadi strategi yang saya jalani ya di rumah memang. Tidak bisa lain, dan bagaimana caranya pertama menyelamatkan kami, keluarga dulu, keluarga yang terdekat. Ibu saya, adik-adik saya, adik-adiknya Zaskia, terus kemudian karyawan, karyawan dari Dapur Film, karyawan dari Meccanism (perusahaan Zaskia). Itu harus kita selamatkan dulu. Terus baru kemudian kita berpikir yang lain, gitu. 

Nah, kebetulan di tengah pandemi ini, apalagi menjelang Lebaran, justru bisnisnya Zaskia itu meningkat. Ya, bisnis online-nya Zaskia meningkat, sekalipun gerai-gerai butik juga beberapa reseller-nya berhenti karena mereka antara online dan offline-nya itu lebih banyak yang offline. Tapi kalau Zaskia itu Mechanism memang berangkat dari bisnis online, kan. Sebelum punya butik. Jadi justru itu yang meningkat.

Ketika itu meningkat, kemudian itu yang bisa kita pakai untuk bertahan. Kalau film enggak bisa, karena film itu... pertama, saya terutama sebagai sutradara. Kalau saya sebagai produser, saya sebagai pemilik film, mungkin saya bisa melakukan negosiasi dengan OTP, saya bisa mencari sponsor untuk penayangan di YouTube. Tapi karena saya bukan pemilik film, saya menunggu situasi normal kembali sehingga saya bisa melakukan syuting, melakukan produksi film di luar, karena melakukan produksi film melalui Zoom begini kan tidak bisa.

Bisa, tapi kan kemudian skupnya terbatas, hanya film-film itu saja. Banyak teman yang sudah melakukan itu. Jadi secara film secara global, secara normal yang diketahui oleh teman-teman semuanya itu otomatis berhenti. Bahkan ada tiga film kami, pertama adalah Tersanjung, sutradaranya saya dan Pandhu Adjisurya, itu berhenti tayang padahal sudah gala premier. Parahnya lagi, kami belum menerima pembayaran termin terakhir, yang mana itu nilainya juga cukup besar. Dan itu adalah pembayaraan dari termin kru sebetulnya. Mau tidak mau perusahaan kami kan harus menanggung. Jadi kami merugi.

Kami harus mengeluarkan biaya per orang Rp 2,5 juta untuk swab tes. Kalikan saja, Rp 2,5 juta kali 100 karyawan, termasuk pemain termasuk ekstras. Itu bisa 200 lebih. 200 kali Rp 2,5 juta itu berapa? Sama halnya saya membayar pemain harian, daily players.

Film Bumi Manusia - Hanung BramantyoHanung Bramantyo menyutradarai film Bumi Manusia yang diangkat dari novel karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

Kedua adalah film Ibunda. Ibunda itu produksi Dapur Film, sutradaranya Jihan Angga. Dia itu pertama kali membuat film layar lebar, Mekah I'm Coming, yang mendapat sambutan yang bagus lewat kritikus meskipun di tengah-tengah penayangan itu terjadi PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Jadi beberapa event, nobar, promo, itu stop. Berhenti. Kalau Mekah I'm Coming itu sudah tayang, sudah beres meskipun tidak mendapatkan penonton yang signifikan.

Nah, dia menyutradarai lagi film berjudul Ibunda, dan itu kurang lima hari lagi selesai, disetop. Karena itu makanya pembayaran termin berikutnya dari investor tidak bisa, karena kan belum komplet syutingnya. Jadi belum bisa kita melakukan invoicing ke mereka.

Yang ketiga, itu produksi film Surga yang Tak Dirindukan 3 bersama MD Pictures, sutradaranya Pritha Gita. Itu juga sama kondisinya dengan Ibunda. Jadi dari tiga produksi kami itu dalam posisi kami belum untung. Bahkan kami nombok, gitu. Dan ini keluar sekitar hampir Rp 2,5 miliar untuk melakukan recovery itu. Maka kalau misalnya PSBB belum dibuka sampai habis Lebaran, eh sori, sampai lewat Juni, maka kami dengan terpaksa harus melakukan unpack employee, mempekerjakan karyawan tapi tidak dibayar, dan kami memberikan kebebasan pada karyawan untuk melakukan terserah. Mau tetap statusnya sebagai karyawan Dapur Film, mau melakukan aktivitas di luar, bekerja serabutan di luar silakan, tapi statusnya masih karyawan Dapur Film. Atau, ya memang memberikan surat pengunduran diri, karena terus terang tidak bisa memberikan  pembayaran apa pun. Jadi itu. Kami pada bulan Juli nanti kalau tidak terjadi keadaan normal kembali, ya akhirnya kami melakukan itu.

Nah, mau ada istilah new normal, tetap itu akan sulit buat kami karena protokol yang diberikan kepada kami orang-orang di lapangan ini sangat ketat. Kami dibatasi sekali di lokasi, tidak boleh jumlahnya lebih dari 50 orang, harus 20 orang.

Artinya itu film-film kecil, film-film sederhana yang bisa dilakukan di sebuah studio. Nah, bagi pemilik-pemilik studio atau bagi produksi film yang bisa dikerjakan di studio, itu bisa berjalan. Misalnya seperti filmnya Reza Rahardian sekarang ini, mau tayang di Vidio, memang dikerjakan oleh 15 orang, di dalam rumah dan itu bisa terkontrol.

Tetapi, bagi produksi film saya yang berikutnya, Gatotkaca, tidak mungkin Gatotkaca itu dilakukan dengan 15 kru saja. Apalagi, Gatotkaca itu kan film action juga, jadi ada adegan fighting. Dan adegan fighting tidak bisa dilakukan di studio. Hanya bisa dilakukan di luar. Bahkan kami ada rencana akan melakukan syuting secara kolosal di Kota Lama, Semarang.

Tapi kita melihat Semarang dan Jawa Tengah tingkat pandemi ini semakin lama semakin naik, belum memperlihatkan gejala penurunan. Itu yang membuat kami kesulitan. Jadi, mau new normal kayak apa pun kami akan kesulitan dan kalau toh kami mengikuti protokol itu, biayanya akan sangat mahal. 

Pertama, kami harus mengeluarkan biaya per orang Rp 2,5 juta untuk swab tes. Kalikan saja, Rp 2,5 juta kali 100 karyawan, termasuk pemain termasuk ekstras. Itu bisa 200 lebih. 200 kali Rp 2,5 juta itu berapa? Sama halnya saya membayar pemain harian, daily players.

Biasanya kan di film itu peran utama,  ada peran-peran yang dialog satu line, misalnya jadi tetangganya, jadi tamu yang berkunjung ke tokoh utama itu, biasanya daily player itu gajinya per hari Rp 2,5 juta. Bayangkan saya membayar daily player, Rp 2,5 juta ke 200 orang. Itu pasti akan ada over budget. Sementara bioskop sekarang tutup, dan hanya dilakukan lewat online. Hanya bisa ditayangkan lewat OTP,  YouTube. Yang YouTube itu free.

Bayangkan, hanya dengan sponsor. Produser pasti akan merugi. Karena, produksi film itu terkecil Rp 3,5 miliar, terbesar itu bisa sampai Rp 24 miliar. Tapi penontonnya enggak tambah. Penontonnya paling banyak itu sampai 6,8 juta penonton, itu hanya dicapai Dilan. Di mana tidak semua film bisa mendapat 6,8 juta penonton.

Kalau semua film Indonesia bisa mendaptkan 6,8 juta penonton, tidak ada masalah itu mau swab 200 orang,  300 orang. Tapi, film seperti Bumi Manusia, yang modalnya dua kali lipat film Dilan, itu hanya mendapat penonton 1,4 juta penonton. Film sekelas Gundala, superhero seperti itu mendapatkan 1,7 juta penonton. 

Jadi tidak serta merta film dengan kualitas spektakuler, dengan pendekatan yang sudah sangat internasional, itu bisa mendapatkan penonton sampai 6 juta. Susah sekali. 

Itu makanya sangat berisiko ketika kita melakukan syuting di luar dengan protokol yang disediakan. Karena itu, makanya yang bisa kita lakukan adalah bertahan. Betul-betul bertahan. Tapi, kita sangat jengkel sekali ketika melihat banyak sekali yang masih keluar rumah, melakukan aktivitas, ngamuk-ngamuk ke petugas, iya kan. Petugas yang menjalankan kewajibannya, menjalankan tanggung jawabnya untuk melarang mereka keluar dari rumah. Kami sangat marah itu sebetulnya.

Sementara, kami Jumatan saja enggak bisa. Itikaf, tarawih, yang biasanya kami lakukan di Masjid Besar Kauman di Yogyakarta, itu menjadi rutinitas saya ketika saya pulang ke Jogja, saya melakukan ibadah itu. Itu enggak bisa. Jadi itu yang membuat kami marah sebetulnya. Jengkel.

Hanung BramantyoHanung Bramantyo di depan Masjid Kauman Yogyakarta, Selasa, 12 Mei 2020. (Foto: Facebook/Hanung Bramantyo)

T: Ini kan vaksin masih belum ditemukan. Kita enggak tahu pandemi sampai kapan. Terus kalau Mas Hanung amati di luar, di Hollywood, itu bagaimana? Mereka ada strategi untuk tetap produktif, mungkin dengan cara penonton bioskop online? Kalau Mas Hanung amati, seperti apa?

J: Saya melihat bahwa semua sama. Semua melakukan lockdown apalagi Hollywood. Kita bisa melihat sekarang dengan jelas, bahwa Amerika tidak setangguh yang ada di dalam film-film kan. Ya, itu. Benar-benar lumpuh.

Di film Gatotkaca itu ada satu pemeran dari Amerika. Saya enggak mau menyebut Hollywood. Dari Amerika.  Cukup dikenal, cuma saya belum berani menyebutkan namanya. Kami sudah melakukan kontak dengan agen, sudah selesai. Sudah tinggal tanda tangan kontrak. Tiba-tiba dia menggantung lagi karena ada peristiwa di Amerika.

Pertama, ada pandemi dulu. Yang kedua, ada protes. yang terakhir, puncaknya adalah kerusuhan yang diakibatkan polisi melakukan pembunuhan baik disengaja maupun tidak disengaja terhadap seorang warga kulit hitam.

Itu membuat dia resah. Akhirnya dia tidak mau memikirkan bisnis dulu. Dia hanya memikirkan keluarganya dulu. Jadi memang betul-betul setop.

Memang, ada beberapa protokol yang sudah disusun. Misalnya dari industri film di India, industri film di Spanyol, di Italia, industri film di Jerman, itu sudah membuat protokol syuting. Itu sudah kami pelajari bersama IFPC (independent film production consultant), asosiasi kami. Itu sudah kami pelajari, dan rata-rata protokolnya sama. Swab test, kedua pakai masker, dan yang ketiga adalah memang terlokalisir. Syuting yang terlokalisir.

Jadi, kalau kita syuting di Kota Lama, ya Kota Lama harus diblok. Betul-betul harus diblok. Harus dipasangi barikade, begitu. Yang masuk di situ hanya orang-orang dari kru, dari kita. Bayangkan itu. Saya ngeblok Kota Lama, itu berapa biayanya. Kalau Hollywood, bisalah melakukan itu. 

Tapi yang terpenting sebetulnya, kami bisa melakukan syuting. Katakanlah kita nekat. Orang penutupan junk food nekat saja boleh kok, kenapa syuting enggak boleh, gitu kan. Kita bisa melakukan itu.

Cuma persoalannya, kalau sudah selesai syuting, sudah selesai kita edit, mau ditayangkan di mana? Bioskop belum ada yang namanya itikad untuk melakukan pembukaan. Kalau toh bioskop dibuka, apakah betul 250 sheet  itu, kursi itu benar-benar akan terisi 250? Jangan-jangan kalau ada protokol covid, maka itu hanya terisi 30 sampai 40 persen, karena harus ada jeda, harus diselang-seling gitu setiap kursi. Itu yang harus menjadi pertimbangan para produser, distributor, dan investor. 

Okupansi dari audiens itu akan turun. Yang tadinya kita optimis, misalnya satu layar okupansinya. Misalnya kami optimis untuk film Gatotkaca itu okupansinya 70 sampai 80 persen. Sekarang kami harus menurunkan okupansi itu menjadi 30 sampai 40 persen. Kalau 30 persen, misalnya biaya kami untuk produksi Gatotkaca Rp 15 miliar, ya enggak masuk. Orang film Mekah I'm Coming yang biayanya Rp 4 miliar sampai Rp 4,5 miliar saja itu rugi bandar. Apalagi dengan modal Rp 15 miliar sampai Rp 16 miliar.

Hanung BramantyoSutradara Hanung Bramantyo (tengah) saat ditemui Tagar di CGV Grand Indonesia. (Foto: Tagar/ Eno Suratno Wongsodimedjo)

T: Kalau ditayangkan di Netflix atau di online, apakah itu bukan jalan keluar, Mas?

J: Netflix mau membeli film Mekah I'm Coming, film Indonesia, ya belum tentulah. Netflix punya standar. Netflix juga enggak mau belanja film-film yang apa namanya..., mereka punya standar sendiri.  Lihat sajalah standarnya Netflix seperti apa? Standar dengan biaya produksi Rp 40 miliar, Rp 20 miliar. Minimal Rp 20 sampai Rp 24 miliar itu.

Memang dibelinya enggak serta merta film Indonesia bisa dibeli Rp 100 miliar gitu. Enggaklah. Tetap, biar bagaimana pun Netflix memang jalan keluar, tapi bukan menjadi jalan keluar satu-satunya, karena mereka juga pasti akan melakukan screening terhadap film-film apa yang bisa ditayangkan. 

Apakah semua film Indonesia yang jumlahnya..., gini lho setiap tahun film Indonesia jumlahnya ada sekitar 200 produksi. Itu bisa meng-coverage semua kru, karyawan yang sifatnya kecil-kecil, kayak PU dan segala macam, tukang ketuk palu di art director, tukang cat, jahit kostum, itu bisa meng-cover. Apakah iya 200 judul itu akan dibeli Netflix semua hanya demi membantu perfilman nasional? Saya kira enggak. 

Dari 200 itu pasti yang dibeli cuma satu, dua, tiga. Terus yang lainnya, seperti OTP Indonesia, apakah dia mau membeli Rp 20 miliar? Mereka membeli itu sangat murah sekali. Bisa Rp 100 juta sampai Rp 200 juta. Kalau Gundala dibeli RP 200 juta, budget-nya Rp 15 miliar. Rugi bandarlah.

T: Kan pemerintah membuat kebijakan, insentif untuk pengusaha. Apakah kebijakan pemerintah itu menyentuh pelaku film, Mas?

J: Kebijakan pemerintah menyentuh pelaku film, tapi pelaku yang kelas menengah ke bawah. Tadi saya sebutkan, sutradara, director of photography, hidup dari mana? Mereka berpikir bahwa, ya sutradara kan kaya. Sutradara itu kan duitnya banyak. Siapa bilang? Saya kalau tidak, kalau tidak bekerja sama dengan istri saya yang memiliki bisnis online, tidak bisa ngapa-ngapain. Saya cuma bisa di rumah.

Saya hanya bisa mengerjakan sebuah film dari rumah, bersama anak-anak saya, ya film pendek. Enggak komersillah, orang tayangnya di YouTube dan orang bisa dengan gampang mengakses YouTube secara free

Kalau toh dapat duit, kan dapat duit dari monetizing YouTube. Itu tergantung dari subscriber-nya, tergantung dari jumlah  penonton. Viewer saya, alhamdulillah memang sebagai YouTuber awal begini sekitar 800 ribu viewers untuk film pendek anak-anak kami, begitu.

Tapi itu enggak ada value yang sifatnya gede, misalnya satu monetizing bisa Rp 15 juta. Yang bisa Rp 15 juta sampai Rp 100 juta itu kalau yang subscriber-nya itu kayak Atta Halilintar, Baim Wong, 20 juta subscriber. Itu baru bisa. Per bulan Rp 100 juta, Rp 200 juta. Bahkan sebulan itu bisa Rp 500 juta. Itu bisa gitu lho.

Makanya sekarang orang-orang yang dulunya pada nyinyir terhadap YouTuber-YouTuber. Apaan sih itu YouTuber-YouTuber, bikin konten kayak gitu apa segala macam. Merekalah yang bisa hidup sekarang, di tengah pandemi ini.

Kami-kami ini yang membuat sebuah film, yang konon katanya sangat intelek, berbudaya gini. Makan aja tuh berbudaya kalian itu di dalam rumah, enggak bisa ngapa-ngapain. Ya kan.

Hanung BramantyoHanung Bramantyo. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

Akhirnya kemudian dalam posisi seperti ini yang bisa kita lakukan betul-betul kita introspeksi diri. Betul-betul belajar. Betul-betul menyadari bahwa ternyata film itu hanya sebagai sebuah kebutuhan yang sebetulnya tidak penting-penting amat, gitu kan.

Bahkan gini lho. Biasanya kami itu menonton film seminggu sekali. Setiap kali ada film baru muncul kita akan selalu nonton. Baik itu film Indonesia maupun film luar. Apalagi film Indonesia. Apalagi film tersebut adalah film teman-teman kami. Itu selalu nonton.

Nah, ketika budaya kami menonton di bioskop dialihkan ke handphone, istri saya enggak pernah nonton. Even itu Netflix sekalipun, enggak. Jadi saya juga kaget.

Kalau saya nonton Netflix, nonton Klikfilm, nonton Iflix segala macam, karena saya pengin nonton. Ternyata saya waktu itu belum nonton filmnya Fajar Nugros, gitu kan. Akhirnya saya nonton di situasi yang seperti ini, akhirnya saya nonton. Saya belum nonton filmnya Monty Tiwa, saya belum nonton filmnya teman-teman semua, akhirnya saya nonton melalui Iflix dan segala macam itu.

Tapi, buat istri saya yang bukan orang film, nonton film itu adalah di bioskop. Bayangkan itu, ada banyak, ada berapa orang itu, dan saya pikir juga banyak orang seperti istri saya.

Finance saya yang seorang hijabers juga, itu juga sama. Sering nonton film, boro-boro nonton film di handphone, gitu kan. Kebutuhan di rumah aja sudah ribet. Harus ngepel, harus masak dan segala macam. 

Jadi ternyata menonton film di bioskop itu bukan menonton cerita, tapi adalah sebuah ritual. Sebuah, apa ya..., sebuah perjalanan komunal antara keluarga, antarteman, ya kan. Tempat hangout. Itu ternyata yang menjadi persoalan.

Jadi mereka belum tentu menonton film itu bener-bener mengapresiasi film itu, tapi film menjadi sebuah medium untuk merekatkan. Baik merekatkan suami istri, pasangan yang sedang berpacaran, merekatkan bapak sama anak, segala macam. Itu. Melalui media film, melalui media bioskop.  Ternyata itu, gitu lho.

Jadi itu satu hal yang baru yang saya dapatkan di tengah pandemi ini. Makanya di pandemi ini positifnya adalah kami akhirnya belajar lagi. Belajar jadi manusia, belajar untuk mengingat kembali apa yang pernah dipelajari pada waktu sekolah.

Saya membuat film bersama anak-anak kami, saya kembali menjadi mahasiswa lagi. Saya pegang kamera sendiri, saya ngedit sendiri, saya nge-direct orang yang bukan aktor, kan gitu. Anak-anak saya kan bukan aktor. Bahkan anak-anak saya itu orang yang tidak suka dengan pekerjaan bapaknya, yang di lapangan, kotor, panas. 

Setiap kali saya minta untuk syuting, misalnya syuting di Jogja atau syuting di Jakarta. Misalnya syuting di Jakartalah, saya telepon istri saya. Saya bilang, ayo dong satu minggu datang ke lokasi syutingnya bapakmu. Enggak mau. Ngapain. Enggak mau mereka.

Nah, di sini saya mulai belajar men-direct orang yang bukan aktor. Capek ya capek. Tapi itu yang kita lakukan, dan alhamdulillah viewers-nya bagus, anak-anak jadi suka dan mereka nagih. Akhirnya jadilah episode kedua, episode ketiga. Nah dari situ kemudian baru dapat sponsor. Ada yang mau apa namanya... bundling dengan produk. Itu semua dari siapa? Ya dari istri saya.

Produk-produk yang tadinya inline dengan istri saya akhirnya dilimpahkan pada suaminya. Jadi memang di sini kemudian muncul kesadaran baru bahwa ternyata suami istri itu bisa bekerja sama. Dan harus dipaksa untuk bekerja sama.

Kalau dulu kan ritualnya selalu jam delapan jam sembilan pagi setelah mengantar anak-anak semua, sudah, istri saya ke mana, saya ke mana. Nanti ketemu lagi jam sembilan malam. Jam  sembilan malam cuma cerita, kamu ngapain saja. Enggak ada urusan masing-masing. Sekarang itu kayak dipaksa  untuk barengan.

Hanung BramantyoHanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

T: Oke, itu sisi positif dari pandemi. Tadi Mas Hanung juga bilang kan, dalam proses introspeksi, jadi tahu skala prioritas, ternyata film bukan sesuatu yang sangat penting. Apakah dari situ ada isyarat untuk berpindah bisnis, gitu?

J: Kalau berpindah bisnis sih saya enggak, karena saya tidak bisa bisnis. Saya enggak seperti istri saya. Yang akan saya lakukan ya tetap membuat film, tetapi mungkin saya akan sering membantu istri saya dalam mengembangkan bisnis dia, entah itu menjadi membantu dia dalam melakukan komersialisasi lewat visual produknya dia, membuat iklan, membuat vlog, karena ternyata kanal YouTube itu adalah kanal yang ditonton di Indonesia, paling banyak setelah televisi. Dan isinya YouTube itu beragam sekali. Ada film pendek, ada tutorial apa, banyak sekalilah di situ.

Jadi kemudian ini adalah sebuah ladang baru, kanal baru. Saya yang paling menarik adalah begini, saya bisa menciptakan sesuatu dan  itu menjadi milik saya. 

Kalau sebelum ini, saya kan kehujanan, kepanasan di luar, menghadapi preman, menghadapi sakit, pandemi seperti ini juga. Kami kan kadang-kadang syuting kan menghadapi virus banyak, ada DBD, ada typus, ya kan.

Tapi setelah kami selesai membuat film, kami hanya mendapatkan tepuk tangan. Iya kalau dapat tepuk tangan. Kalau misalnya filmnya dicaci maki, kan cuma dapat caci maki. Itu punya siapa? Punya yang punya duit dong.

Itu kan sama halnya kayak saya bikin rumah. Rumahnya sudah saya desain bagus-bagus segala macam, ternyata yang nempatin yang memiliki orang, dan saya dari luar cuma bisa bilang pada anak saya, 'Itu rumah bagus itu yang bikin bapakmu lho, Le (nak)'.

Kalau di YouTube, saya bikin sendiri, dengan ide saya sendiri, dan itu milik saya. Dan saya enggak tahu, apakah nanti, dalam jangka 10 tahun sampai 15 tahun, ide-ide yang ada di YouTube saya itu bisa dibeli sama orang. 'Ternyata viewers kamu selama 20 tahun ke depan menjadi 10 juta. Boleh enggak sih ide dari film kamu itu kita beli?' Who knows? Siapa tahu? Dan itu kan legacy untuk anak-anak saya.

Sekarang, kayak Ayat-ayat cinta. Saya dikenal sebagai sutradara Ayat-ayat Cinta, yang box office, gitu kan. Tapi  film itu milik siapa? Bukan milik saya.

T: Kalau penghasilan dari YouTube dibandingkan dengan penghasilan dari membuat film, perbandingannya  seperti apa, Mas?

J: Kalau kita mendapatkan subscriber di atas satu juta hingga dua juta subscriber, itu Rp 30-40 juta sebulan, dapat kita. Dibandingkan dengan jadi sutradara, ya gedean YouTube-lah.

Sutradara itu gajinya paling besar sekitar Rp 200 juta sampai Rp 300 juta, iya kan. Ya, ada yang mematok Rp 1 miliar, ada yang mematok Rp 500 juta sampai Rp 800 juta, ada. Tapi itu tidak semua film.

Gaji saya saja di film Miracle Number Seven itu sekitar Rp 400 juta sampai Rp 500 juta. Itu saja gaji yang di mana orang melihat saya sebagai sutradara yang sudah menghasilkan box office, misalnya gitu lho. 

Tetapi ingat, Rp 500 juta itu kalau dibagi per bulan. Sementara produksi film, kalau untuk sekelas Miracle, Bumi Manusia, itu sekitar 1,5 tahun. Bayangkan, Rp 500 juta dibagi 12 bulan, berapa? Nilainya berapa?

Memang keren. Kayaknya itu keren, sebagai sutradara itu namanya terpampang di mana-mana, gitu kan. Tapi kalau itu di-monetize, hasil kebutuhan sehari-hari, enggak cucuk (cukup).  Apalagi sutradara dengan gaji Rp 200 juta, Rp 100 juta. Sementara banyak sekali sutradara yang tidak  pernah mendapatkan kesempatan untuk masuk box office sebesar enam juta penonton seperti Fajar Bushtomi,  tujuh juta penonton seperti Anggi Umbara.

Bahkan Anggi Umbara mendapatkan tujuh juta penonton itu hanya Warkop, ya kan. Warkop DKI satu dan dua. Selebihnya kan tidak. 

Saya mendapatkan tiga juta penonton, empat juta penonton, hanya beberapa film. Ayat-ayat Cinta, Habibie Ainun. Rudy Habibie saja dua juta penonton. Kemarin Habibie Ainun saja dua setengah juta penonton. 

Sultan Agung cuma 30 ribu, 40 ribu penonton. Kartini, yang di-review bagus, positif. Itu 500 ribu penonton. Lebih rendah daripada Benyamin yang dikritik habis. Benyamin Biang Kerok itu 700 ribu penonton. 

IFA Huawei Film AwardsHanung Bramantyo. (Foto: Tagar/Rommy Yudhistira)

T: Sebuah film dikatakan bagus itu kalau ditonton minimal berapa orang, Mas?

J: Ya sebanyak-banyaknya. Artinya begini, tergantung kita jual-belinya berapa. Misalnya, modalnya berapa. Misalnya modalnya itu sekitar Rp 4 miliar, total ya, baik produksi dan promosi Rp 4 miliar. Ya dikalikan saja. Rp 4 miliar itu  biaya balik modal saja itu sekitar 200 ribu penonton. Itu baru balik modal. Nanti kalau sudah dapat 200 ribu penonton, itu kan untung dari 200 ribu penonton. 

Tapi kembali lagi, yang untung siapa? Sutradara? Enggaklah. Yang untung ya yang punya film. Produser, investor, itu yang untung.

T: Mas Hanung lebih sering berperan sebagai sutradara atau produser?

J: Saya berperan sebagai sutradara. Kalau berperan sebagai produser, itu apa namanya, film saya, Hijab, saya berperan sebagai produser. Mekah I'm Coming saya sebagai produser, Tanda Tanya saya sebagai produser, gitu. Habibie Ainun saya sebagai co produser, bukan sebagai sutradara. Jadi kita dapat empat juta penonton, saya mendapatkan bonus.

T: Untuk posisi sebagai sutradara atau produser, mana yang lebih menguntungkan buat Mas Hanung?

J: Sebetulnya yang paling menguntungkan adalah sebagai produser, sebab produser itu keuntungannya dia memiliki filmnya, dia memiliki cerita, copyright. Itu.

Dibandingkan menjadi sutradara. Itu yang sedang saya raih sebetulnya. Tapi menjadi seorang produser juga risikonya besar. Kenapa? Karena dia harus membuat uang. Dari investor yang diserahkan kepada produser, itu harus kembali dan menguntungkan. Kalau tidak, ya selesai hidupnya.

Misalnya saya membuat satu film, punya ide bikin film Sultan Agung. Terus kemudian saya nemuin investor. Investornya A. Dia kasih uang ke saya sejumlah yang saya sebutkan Rp 4 miliar untuk membuat film Sultan Agung.

Tiba-tiba saya produksi kemudian saya jual. Saya berhubungan dengan XXI, saya berhubungan dengan pengusaha-pengusaha sinema untuk menayangkan film ini, saya berhubungan dengan sponsor untuk men-support film ini. Saya berhubungan dengan OTP untuk menjual film ini, dengan televisi untuk menjual film ini, dan terangkum semuanya. Income-nya sebasar Rp 10 miliar, Berarti ada keuntungan dong Rp 6 miliar. 

Oke, kemudian saya rilis dengan promosi sebesar-besarnya saya rilis. Ternyata mendapatkan itu Rp 10 miliar. Ya Rp 6 miliar saya terima. Rp 4 miliar saya balikin ke investor dan interest, kita bagi hasil. 

Tapi yang terbesar keuntungannya adalah produser, karena dia yang membuat, dia yang memasarkan, dia  yang bekerja, dia bisa mendapatkan 60 persen dari pembagian bagi hasil itu setelah balik modal.

Tapi kalau ternyata tidak laku, cuma dapat Rp 1 miliar, jadi kan buntung kan. Investor itu menjadi tidak percaya pada saya. Mau saya ngomong apa pun, enggak percaya.

Tapi ketika saya mendapatkan Rp 10 miliar, dengan jumlah penonton satu juta penonton, misalnya. Itu kan terekam di mana-mana. Itu investor langsung cari saya. 'Mau dong saya duit saya kamu puterin'. Tanpa saya harus mengemis, menelepon investor. Investor pasti akan cari saya. Gitu.

Kalau sutradara enggak. Sutradara itu cuma menunggu ditelepon sama produser saja. Ketika dia punya hubungan baik dengan produser, ya pasti dia akan terus dipakai, digunakan pikirannya dan tenaganya. 

Terima duit buat honorarium, setelah itu, selesai. Dia hanya bekerja, terima uang dan dia enggak ada risiko. Enggak ada risiko kerugian apa pun. tapi produser, memiliki risiko kerugian. Apalagi kalau produser duitnya pakai duitnya dia juga, jadi produser selaku produser juga menjabat sebagai eksekutif produser, misalnya begitu.

Habibie Ainun 3Film Habibie & Ainun 3. (Foto: MD Pictures)

T: Apakah ada rencana untuk serius di YouTube dalam situasi seperti sekarang ini?

J: Belum tahu juga. Karena gini, kalau YouTube itu, yang saya tahu, mereka itu harus selalu posting.  Apa pun, harus selalu posting. Kayak televisi. Kayak logika televisi. Kalau televisi itu, bayangkan televisi dalam satu hari off, gitu, langsung ditinggalkan to sama viewers-nya. Sama, YouTubers juga mungkin begitu.

Jadi setiap hari harus ada postingan, harus ada program. Sehingga penonton itu bertanya, besok lagi mengeuarkan apa ya Atta Halilintar. Besok lagi Hanung ngeluarin apa ya? Gitu. Jadi memang betul-betul YouTube itu kayak kanal televisi.

Saya pernah datang ke rumah Atta. Di situ itu masing-masing kamarnya kayak studio-studio televisi. Mereka punya alat sendiri. Mereka punya editor sendiri. Mereka punya karyawan sendiri. Ada karyawan sendiri. Masing-masing anak punya karyawan dua atau tiga. Editor, kameramen, gitu.

Saya pernah melakukan interview dengan Atta. Jadi tiap hari kamu membawa kamera? Iya, Mas. Saya enggak bisa membayangkan kalau itu terjadi pada diri saya. Privasi saya ada di mana terusan? Tiap hari saya harus ngomong. Tiap hari saya harus ngesyut anak-anak saya, bikin film sama anak-anak saya. Tiap  hari, itu kan stripping kan sebetulnya. Waduh. 

Saya saja meinggalkan tradisi sinetron yang waktu itu masih syuting sehat, satu episode lima hari empat hari. Nah itu saja saya tinggal. Apalagi yang stripping. Stripping betul-betul saya tinggal. Ini saya diminta... kalau menjadi YouTuber, setiap tiga hari sekali posting. Istri saya bilang, setiap tiga hari sekali posting-lah. Apa pun itu, posting.

Sementara saya kan harus berpikir kualitas. Yang saya posting harus apa. Harus punya value apa, gitu. Istri saya terus bilang, lu masih mikirin value di YouTube. Gimana itu?

Waduh, kalau saya enggak mikirin value, bagaimana legacy saya. Kan gitu. Ya, itu kekurangan dari orang-orang yang seperti sayalah.

Hanung BramantyoHanung Bramantyo dan keluarga. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

T: Mas Hanung, orang-orang film di Indonesia atau di luar, yang mampu bertahan, yang bisa dicontoh. Itu ada enggak sih? Yang bagus, gitu. Dalam situasi sulit tapi bisa melakukan sesuatu terobosan?

J: Belum ada.

T: Mas Hanung, Dapur Film berapa karyawannya?

J: 15 orang tadinya. Itu meliputi tim kreatif, tim produksi dan sutradara. Kami memiliki dua sutradara yang kami bayar in house. Salah satunya adalah Jihan Angga, dan Pandhu Adjisurya. Itu in house. Terus ada kreatif, ada tiga kreatif. Ada dua penulis skenario yang masih baru yang akan kita bimbing. Terus finance, office boy. Ada 15. Akhirnya sekarang kami harus off dulu.

Kebetulan memang untuk saat ini, kantor Dapur Film dan kantor Meccanism akan menyatu di dalam satu kantor baru. Nah, kantor baru itu sudah kami rancang dua tahun dan dalam tahap selesai. Dan selesainya pas sekarang pandemi ini.

Jadi, pada saat pandemi ini justru saat kami melakukan introspeksi. Yang kedua adalah kami melakukan restrukturisasi perusahaan lagi, karena kantornya baru sekarang. Di Jakarta.

Itu rencana sudah sejak lama. Istri saya berpikir bahwa ngapain sih kita sewa-sewa kantor melulu. Yang mana sewa kantor itu nominalnya juga besar. Satu kantor itu, Dapur Film bisa setahunnya Rp 250 juta. Kantornya istri saya juga Rp 250 juta.

Bayangkan setiap tahun kita mengeluarkan uang sebesar Rp 500 juta. Kenapa sih kita enggak membuat saja. Alhamdulillah bisnis dari istri saya kan semakin naik, stabil, bahkan jarang sekali mengalami penurunan. Stabil. Akhirnya kemudian saya jadi ke sana, gitu lho. Jadi tertopang. Terbantu oleh itu.

Bisa diceritakan bisnis Zaskia?

J: Fashion, hijab. Sudah itu aja. Kebetulan memang dia seorang fashion designer yang otodidak ya. Jadi tidak sekolah. Dia punya taste di bidang fashion. Dia punya bisnis, satu, Meccanism, itu dia sendiri, dia bersama kakaknya.

Yang kedua adalah ZM, dia bersama adiknya, Haikal dan Tania. Terus kemudian ada Zam, kosmetik, lipstik. Punya tiga perusahaan dan tiga perusahaannya jalan. Sementara saya hanya satu, Dapur Film. Sama Mamake, Mamake di Jogja. 

Itu memproduksi. Kita memproduksi. Kita betul-betul mencipta. Semua ciptaan sendiri. Termasuk lipstik Itu, kami menciptakan sendiri. Kami bikin brand, terus kami datang ke pabriknya, ya kan. Di awalnya saya memang nemenin itu. Nge-build bareng. Hijab juga seperti itu. Awalnya saya turun tangan langsung. 

Bahkan membuat filmnya juga. Tapi setelah jalan begini, saya lebih sibuk ke film, gitu. Jadi kami datang sendiri ke pabriknya, kami memilih sendiri bentuknya kayak apa. Kita mencipta memang. 

Zaskia Mecca dan Hanung BramantyoHanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca. (Foto: Instagram/Zaskia Adya Mecca)

T: Mengenai karyawan Dapur Film ini, Mas, apakah selama di rumah saja, mereka proses kreatif tetap berjalan? Membuat skenario dan sebagainya?

J: Ya. Kami tetap melakukan konsolidasi kreatif, seperti membuat program-program baru. Kami juga sedang mau melakukan negoisasi dengan beberapa OTP untuk sebuah ide-ide yang dikerjakan di dalam rumah, gitu.

Apalagi kami punya studio. Di Gamplong studio, itu kan ada beberapa set peninggalan dari film sebelumnya, itu bisa kita lakukan syuting di sana. Nah, ini sekarang sedang proses negosiasi. Tapi sekali lagi, kami hanya bisa melakukan itu di Jogja, sementara OTP-OTP itu membutuhkan pemain bintang. 

Nah, di sini kemudian kami merasa sulit dan tidak adil atas pembagian wilayah Jakarta sebagai pusat bisnis, dan kemudian daerah-daerah yang dianggap bukan pusat, gitu kan. 

Ini yang membuat kami merasa tidak adil. Tidak adilnya apa? Kami di Jogja banyak sekali kameramen, banyak sekali art director, banyak sekali aktor-aktor bagus kelas Landung Simatupang, Rosa Rosadi, itu di sini banyak. Tetapi, ada semacam aturan yang tidak tertulis bahwa film itu harus dimainkan oleh bintang.

Sementara isinya orang-orang bintang itu ada di Jakarta semua. Sementara untuk membawa ke Jogja juga terlalu berisiko kan. Jadi itu. Kita nge-lag di situ sebetulnya, yang terjadi di sini.

Saya enggak berpikir tentang nasibnya film Hollywood, nasibnya film Korea, enggak ada untungnya buat saya. Yang kami pikirkan adalah bagaimana kami ini di Jogja dengan banyak sekali sumber daya manusia di bidang film, bagus-bagus, mereka bisa syuting, ya kan. Dan bagaimana hanya mengimpor pemain dari Jakarta ke Jogja.

Sori banget saya menyebutnya impor, karena Jakarta sudah kayak negara sendiri, gitu kan. Jadi itu yang susah.

Kami sedang negoisasi, bagaimana ya sekelas Reza Rahadian, bisa enggak ke Jogja, sehari dua hari buat bikin film dan segala macam. 'Bisa saja, Mas. Asal ada protokolnya, asal ada pesawat.

T: Mas Hanung di Jogja sampai pandemi selesai atau selamanya di Jogja?

J: Ya tentunya sampai pandemi selesai. Ini saja saya kebingungan, bagaimana saya harus ke Jakarta  karena (Zaskia) harus melahirkan di Jakarta. Bukan apa-apa, karena dokternya Zazkia kan dokternya di Jakarta memang.

Dari anak pertama dan kedua itu pakai dokter yang sama. Satu, dua, tiga sama dokter yang sama. Hanya Pri saja yang beda. Nah, ini kami kepengin, sudah janjian dengan dokter tersebut, Dokter Musa namanya. Itu sudah diperiksa dan kami mau melahirkan dengan beliau. Tapi persoalannya, kami ketakutan sekarang. Masuk Jakarta kami takut.

Zaskia Adya MeccaZaskia Adya Mecca, istri Hanung Bramantyo, cek kehamilan anak kelima di tengah situasi pandemi Covid-19. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

Tentang kehamilan (kelima Zaskia) pada saat saya mendengar, saya kabar positif dari Zazkia, terus terang saya kaget, dan Zaskia ternyata juga kaget. Dan ternyata kabar tentang kehamilan itu justru tidak langsung dikabarkan ke saya, tapi Zazkia konsultasi dengan kiri kanan, kiri kanannya, termasuk dengan mamanya. Bukan langsung disampaikan ke saya, tapi ke teman-teman dekatnya dia, dan kepada mamanya.

Saya orang yang ketiga yang mendapatkan kabar itu, dan terus terang saya kaget. Dan sebagaimana saya kaget, Zaskia juga kaget. Sedih dan menangis pada saat itu. Karena sebetulnya, kenapa sedih? kenapa menangis? Karena sebetulnya kami punya rencana tahun ini haji bersama. Jadi ketika ada bayi di dalamnya, pasti... apalagi pada saat kita haji nanti bayi itu baru berumur dua bulan, ya kan. Jadi tidak memungkinkan.

Itu yang membuat Zaskia sedih, dan sempat kepikiran pada saat itu... saya bertanya pada Zaskia, gimana, mau dilanjutkan atau tidak? Karena mumpung ini masih belum tiga bulan. Jadi pada saat itu Zaskia baru telat selama 10 hari mens, artinya 40 sampai 50 hari keterlambatannya.

Menurut kami, menurut yang saya pelajari, dari sisi agama maupun dari sisi kesehatan, itu ada dua mazab yang mengatakan itu apa ya. Penggagalan janin itu diperbolehkan selama janin itu masih berumur di bawah tiga bulan. Karena kalau janin itu sudah berumur di atas tiga bulan, janin itu sudah memiliki roh.

Kalau belum berusia tiga bulan, janin itu masih bernama Fetus. Fetus itu embrio yang rohnya masih mengikuti ibunya. Ketika itu digagalkan, itu masih belum disebut abortion. Itu menurut dua mazab yang saya pelajari.

Dua mazab lainnya, Syafii dan Hambali, mengatakan yang sangat keras. Apa pun itu tetap abortion. Apa pun umurnya. Tapi dua mazab yang lain mengatakan yang berbeda. Dua mazab itu diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang mengalami perkosaan.

Jadi karena kondisinya tidak siap, takut memberikan apa namanya, takut mengancam si bayi itu ketika dia dewasa, maka kemudian itu bisa untuk digagalkan, dan itu belum disebut abortion. Yang disebut abortion itu adalah pembunuhan. Ini bukan pembunuhan karena janinnya masih menyatu dengan si ibu.

Hanung BramantyoHanung Bramantyo dan anak-anaknya. (Foto: Instagram/@hanungbramantyo)

Kami menggunakan terminologi itu dan kami menggunakan terminologi kesehatan, dan ternyata kesehatan juga hal yang sama. Bahkan tidak heran dalam terminologi Jawa, ketika masa tiga bulan ada semacam upacara pada saat itu. Upacara untuk menyambut si jabang bayi ini, yang sudah memiliki roh. Itu kalau di Jawa ada upacaranya.

Berdasarkan terminologi itu, kami mencoba menggagalkan dan konsultasi tentunya dengan dokter. Kami adalah pasangan yang resmi. Apalagi dokternya juga sudah kami kenal, yang sudah membantu kami di anak pertama, kedua, dan ketiga.

Keputusan kami akhirnya berubah karena pendapat dari dokter tersebut. Dokter Musa mengatakan, memang ada dua pendapat yang mengatakan hal yang sama. Dua mazab yang memperbolehkan penggagalan itu. Tapi ingat, mazab itu dikeluarkan pada masa ketika teknologi tentang kehamilan masih belum secanggih sekarang.

Mungkin sekarang masih belum bisa menemukan satu indikasi bahwa janin di bawah usia tiga bulan itu belum memiliki roh. Tetapi bagaimana kelak 20 tahun kemudian, ketika ada sebuah alat yang bisa mendeteksi bahwa ternyata fetus itu bernyawa.

Saran dari dokter, jika mau menggagalkan sebaiknya yang menggagalkan adalah zat yang memberi. Siapa itu? Ya Allah. Karena yang menghamili Zaskia itu bukan Hanung Bramantyo. Yang menghamili Zaskia itu memang Hanung Bramantyo, tapi yang memberikan itu menjadi hamil itu sebenarnya Allah.

Jadi biarkan semua kembali kepada Allah. Begitu kata dokternya. Jadi kita tunggu saja selama tiga bulan ini.

Nah kebetulan pada saat itu Zaskia memang rajin olahraga, beraktivitas secara mandiri, nyopir, berjalan, naik turun tangga, itu dilakukan terus. Dengan harapan itu memang dalam tiga bulan terjadi penggagalan itu. Makanya Zaskia tidak diam di dalam rumah.

Tapi pada akhirnya, tiga bulan justru janin itu malah menguat. Artinya apa? Artinya memang Allah sudah memberikan ketentuannya. Kami tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya kemudian ya sudah. Dengan itikad yang baik akhirnya kita biarkan ini.

Itu terjadi delapan bulan yang lalu. Jadi bukan karena pandemi terus hamil, enggak. Delapan bulan yang lalu. Jadi pada saat Zaskia dan keluarga kami pernah mengalami sakit dan masuk rumah sakit, itu kondisinya memang sudah hamil.

Pernah waktu awal pandemi, di bulan Maret, Zaskia dan keluarga menyetir mobil sampai ke Jogja dalam keadaan hamil. Makanya waktu itu kami panik sekali. Bahkan saya sudah ada di Jogja untuk syuting, kemudian Zaskia menyusul. Jadi survive kami pada saat pandemi, karena kami sudah PSBB di Jogja, kami kemudian memilih rumah sakit yang memang bukan rujukan corona.

Alhamdulillah memang di Jogja rumah sakitnya memang sudah canggih. Jadi saya menemukan rumah sakit, menemukan dokter yang cukup nyaman. Tapi, meskipun begitu, dalam hati kecil kami tetap berharap pengin lahir di Jakarta. Itu menjadi kenyamanan kami. Tapi kita belum tahu. Kita mengikuti arah, kita serahkan semuanya kepada Allah. Yang penting kita berdoa, kita berhajat, kita menyampaikan keinginan kita, nanti Allah yang menentukan.

Kalau toh nanti harus lahiran di Jogja, ya kita tidak ada persoalan. Toh saya lahir di Jogja, adik-adik saya juga lahir di Jogja, teman-teman saya juga. Bahkan pada saat pandemi ini juga banyak sekali yang lahir di Jogja dan semuanya dalam keadaan selamat. Saya pikir itu. 

Hanung BramantyoHanung Bramantyo dan anak-anaknya main bola di tengah hujan saat menjalani kehidupan di rumah saja di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Instagram/Hanung Bramantyo)

Profil Hanung Bramantyo

Hanung Bramantyo lahir di Yogyakarta, 1 Oktober 1975. Ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, tapi ia tidak menyelesaikannya. Kemudian ia mempelajari film di Jurusan Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.

Film yang Disutradarai Hanung Bramantyo

  • Brownies (2004)
  • Catatan Akhir Sekolah (2005)
  • Jomblo (2006)
  • Lentera Merah (2006)
  • Kamulah Satu-Satunya (2007)
  • Legenda Sundel Bolong (2007)
  • Get Married (2007)
  • Ayat-Ayat Cinta (2008)
  • Doa yang Mengancam (2008)
  • Perempuan Berkalung Sorban (2009)
  • Get Married 2 (2009)
  • Menebus Impian (2010)
  • Tendangan dari Langit (2010)
  • Sang Pencerah (2010)
  • ? (Tanda Tanya) (2011)
  • Perahu Kertas (2012)
  • Cinta Tapi Beda (2012), bersama Hestu Saputra 
  • Perahu Kertas 2 (2012)
  • Gending Sriwijaya (2013)
  • Soekarno: Indonesia Merdeka (2013)
  • Hijab (2015)
  • 2014 (2015), bersama Rahabi Mandra
  • Talak 3 (2016), bersama Ismail Basbeth
  • Rudy Habibie (2016)
  • Surga yang Tak Dirindukan 2 (2016)
  • Kartini Legacy (2017)
  • Jomblo Reboot (2017)
  • Seteru (2017)
  • Benyamin Biang Kerok (2018)
  • The Gift (2018)
  • Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta Mooryati Soedibyo (2018)
  • Bumi Manusia (2019)
  • Habibie & Ainun 3 (2019)
  • Tersanjung The Movie (2020) (bersama Pandhu Adjisurya)
  • Satria Dewa: Gatotkaca (2020)
  • Miracle in Cell No. 7 (2020)

Film yang Diproduseri Hanung Bramantyo

  • Menebus Impian (2010)
  • Pengejar Angin (2011)
  • Hijab (2015)
  • 2014 (2015)
  • Mencari Hilal (2015)
  • Ayat-ayat Adinda (2015)
  • Turis Romantis (2015)
  • Talak 3 (2016)
  • Pesantren Impian (2016)
  • Jomblo Reboot (2017)
  • Mekah I'm Coming (2020)

Film yang Dibintangi Hanung Bramantyo

  • Jomblo (2006), sebagai koki
  • Lentera Merah (2006), sebagai Dewan Alumni 65
  • Get Married 2 (2009), sebagai pemarkir mobil
  • Get Married 3 (2011), sebagai orang buta
  • Perahu Kertas (2012), sebagai tamu di pameran lukisan Galeri Warsita
  • Habibie & Ainun (2012), sebagai Sumohadi
  • Cinta Tapi Beda (2012), sebagai pelanggan kafe
  • Slank Nggak Ada Matinya (2013), sebagai Pak Teguh
  • Youtubers (2015), sebagai sutradara

Penghargaan Hanung Bramantyo

  • Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2005
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2007
  • Pemenang Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2007
  • Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2009
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2011
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2011
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2012
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2013, bersama Hestu Saputra
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2014
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2017
  • Nominasi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia 2019

(PEN)

Baca juga:

Berita terkait
Hanung Bramantyo Ceritakan Kehamilan Zaskia Mecca
Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama Tagar, Hanung Bramantyo mengaku kehamilan Zaskia Adya Mecca tidak direncanakan.
Hanung-Zaskia, Bikin Film Sama Anak Saat di Rumah Aja
Hanung Bramantyo-Zaskia Adya Mecca mengajak anak-anak bikin film pakai hape, saat menjalani kehidupan di rumah aja pada masa pandemi Covid-19.
Saat Hanung Bramantyo Singgah di Masjid Kauman Jogja
Hanung Bramantyo singgah di Masjid Kauman Yogyakarta. Masjid ditutup, dalam azan terselip ajakan salat di rumah. Ia merasakan ada yang hilang.