Untuk Indonesia

Waktu yang Salah Anies Baswedan dan Nadiem Makarim

Dua pemimpin terlahir di waktu yang salah. Anies Baswesdan cocok di era terbelakang, Nadiem Makarim saat Indonesia belum siap sistem digitalisasi.
Anies Baswedan dan Nadiem Makarim. (Foto: Tagar/Istimewa)

Oleh: Benardo Sinambela*

Baru-baru ini, saya berjalan di kawasan Jalan Salemba Raya, Jalan Diponegoro hingga ke Cikini. Kagetnya saya melihat banyak pohon ditebangi pihak Pemda DKI Jakarta, pimpinan Gubernur Anies Baswedan. 

Rasa kaget tidak hanya menimpa saya saja, ternyata tindakan penebangan pohon-pohon ini juga membuat kaget seantero pengguna media sosial. Foto-foto sisa batang pohon yang sudah ditebang viral mewarnai lini masa media sosial. Pemda DKI Jakarta berdalih itu demi kepentingan publik.

Selain masalah penebangan pohon, Anies Baswedan juga disorot rame-rame oleh netizen mengenai rancangan anggaran dan belanja Pemda DKI Jakarta yang tidak masuk akal. 

Contoh yang paling banyak disorot tentang rancangan harga belanja pengadaan Lem Aibon, yang menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai nominal Rp 126 miliar. Begitu juga dengan anggaran pengadaan pulpen, masih menurut ICW, jumlahnya mencapai angka Rp 678,87 miliar.

Jumlah yang sangat fantastis. Anies Baswedan berdalih itu kesalahan sistem e-budgeting. Celakanya lagi, Anies Baswedan menilainya sistem yang 'tidak smart'.

, dia bisa melakukan pengecekan dan verifikasi. Dia (sistem) bisa menguji," begitu kata Anies menanggapi."Ini ada problem sistem-nya digital, tetapi tidak smart. Kalau smart system, dia (e-budgeting) bisa melakukan pengecekan dan verifikasi. Dia (sistem) bisa menguji," begitu kata Anies menanggapi.

Menyalahkan sistem digital yang sudah terbukti manfaatnya bertahun-tahun tidaklah bijaksana. Seharusnya, bawahannya yang dicek, dikasih sanksi tegas karena terjadi mark-up anggaran yang tidak wajar.

Sebelum netizen ramai-ramai mengomentari kasus banyaknya pohon yang ditebang, serta banyaknya temuan anggaran siluman di rancangan anggaran dan belanja prioritas oleh Pemda DKI Jakarta, juga ramai perbincangan tentang gagasan Nadiem Makarim, mantan CEO Gojek yang baru saja diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) oleh Presiden RI Joko Widodo. 

Gagasan itu terkait rencana kebijakan penerapan teknologi untuk mempercepat peningkatan kualitas pendidikan agar merata dan efisien.

Karena gagasan itu, Nadiem Makarim mendapat peringatan–yang menurut saya dapat dikategorikan peringatan keras- dari Jokowi pada saat rapat terbatas bidang pembangunan manusia dan kebudayan, 31 Oktober 2019 di Kantor Presiden.

"Pak Mendikbud tolong dilihat betul negara kita bukan hanya Jakarta, bukan hanya Jawa, dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote, ada 17.000 pulau, 514 kabupaten/kota. Lihatlah yang ada misalnya di Halmahera, lihatlah yang ada di Rote, lihatlah yang ada di Wamena," kata Jokowi mengingatkan Nadiem Makarim supaya lebih jeli dan bijak dalam menentukan kebijakan digitalisasi sistem pendidikan di Indonesia secara berkeadilan, supaya tidak ada ketimpangan di wilayah yang masih tertinggal dan belum terakses internet, bahkan aliran listrik.

Kedua sosok pemimpin ini terlahir di waktu yang salah

Sebagai presiden yang rajin melakukan blusukan hingga ke daerah terpencil dan tertinggal, tanpa memandang maju atau tidaknya daerah tersebut, Jokowi pasti sangat memahami realitas ketimpangan pembangunan di Indonesia. 

Nadiem Makarim wajar saja belum memahami itu, karena pemahaman dan pengenalannya akan Indonesia masih sebatas di wilayah perkotaan saja, terlebih pekerjaan sebelumnya sebagai CEO Gojek hanya sebatas memecahkan problem transportasi perkotaan.

Dalam perspektif ini, saya sependapat dengan masukan Jokowi, bahwa membangun sistem pendidikan tidak cukup hanya memikirkan wilayah perkotaan yang sudah maju dan bergelimang fasilitas pendukung, tetapi juga wilayah pedesaan yang tertinggal, yang masih terisolasi dari akses internet, aliran listrik, infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan yang teranaktirikan. Sistem itu sendiri harus dibangun secara berkeadilan, dapat menunjang peningkatan pendidikan di semua wilayah Indonesia.

Kembali ke persoalan DKI Jakarta, wilayah paling maju dan paling bergelimang fasilitas. Rasanya hari ini DKI Jakarta dipimpin orang yang salah, berpikiran terbelakang dan kolot, tidak siap dengan sistem digital yang transparan dan modern.

Di tengah-tengah semua orang berpikir untuk menerapkan sistem digitalisasi dalam pengelolaan pemerintahan daerah demi kemudahan dan percepatan pelayanan masyarakat, serta di tengah semua orang berpikir untuk melestarikan alam dan lingkungan, menggalakkan gerakan go green dan penataan ruang perkotaan yang ramah lingkungan karena dampak kekhawatiran akan pemanasan global, pencemaran udara dan lingkungan, Anies Baswedan malah mencela sistem e-budgeting dan menebangi pohon. Ini tindakan dan kebijakan yang sangat primitif, terbelakang dan memalukan.

Ramai-ramai melempar kecaman atas tindakan dan kebijakan Pemda DKI Jakarta rasanya tidaklah cukup, berharap ke depan ada kelompok masyarakat yang menggugat Pemda DKI Jakarta ke pengadilan, karena menebang pohon tidak diperkenankan sembarangan. 

Itu semua diatur di Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, dalam Pasal 12 berbunyi "Setiap orang atau badan dilarang memotong, menebang pohon atau tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan, jalur hijau dan taman". Pelanggaran pasal tersebut dipidana dengan kurungan penjara maksimal 180 hari atau denda Rp 50.000.000.

"Entah apa yang merasukimu Pak Gubernur Anies Baswedan!" begitu tanggapan seorang netizen milenial dalam komentarnya menanggapi polemik kebijakan Pemda DKI Jakarta baru-baru ini, yang semakin hari semakin aneh saja. Bisa ditebak, bisa jadi netizen ini adalah salah satu korban kepanasan terik sinar matahari saat berjalan kaki di trotoar megah namun dipenuhi parkir dan pedagang kaki lima tersebut menuju Stasiun KAI Cikini.

Inilah perbedaan kebijakan mencolok antara Anies Baswedan dengan Nadiem Makarim. Anies yang tidak siap dengan sistem digital e-budgeting serta menebangi pohon rindang di Jakarta, dan Nadiem yang ingin menerapkan kebijakan berbasis digital dalam pemerataan pendidikan namun Indonesia belum siap menerima secara merata.

Kedua sosok pemimpin ini terlahir di waktu yang salah. Anies Baswesdan kelihatannya lebih siap menjadi pemimpin di era terbelakang sebelum zaman modern, zaman di mana sistem digitalisasi belum ada. Sedangkan Nadiem Makarim terlalu cepat lahir, di mana pembangunan belum tersentuh dengan merata, saat Indonesia belum siap secara merata menerima kebijakan sistem digitalisasi.

Untuk semua milenial pejuang lingkungan, transparansi, keadilan dan pemerataan pembangunan, dan para pejuang antikorupsi, yuk kita pelototin terus kebijakan pemerintah. Kita bantu mereka mengambil kebijakan yang terbaik, demi Indonesia yang lingkungannya terjaga, maju, adil dan bersih dari praktik korupsi.

Terakhir, tidak suatu kebetulan juga banyak kesamaan antara Anies Baswedan dan Nadiem Makarim. Setidaknya, ada tiga kesamaan besar di antara mereka berdua, yaitu sama-sama ada garis keturunan Arab, sama-sama lulusan universitas dari Amerika Serikat, dan tidak kebetulan juga pernah menempati jabatan yang sama, yaitu Mendikbud.

Hanya ada kemungkinan pembedanya bagi kedua sosok tersebut, apakah nasibnya akan sama-sama dipecat Jokowi sebagai menteri dalam kurun waktu masa jabatan tidak lebih dari dua tahun? Jawabannya menarik untuk ditunggu.[]

*Ketua Bidang Media, Komunikasi dan Informasi PP GMKI M.B 2018-2020

Berita terkait
Mengungkap Kedekatan Anies Baswedan-Surya Paloh
Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati menjelaskan maksud manuver politik Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Retorika Anies Baswedan dan e-Budgeting yang Salah
Minggu lalu isu pulpen sebesar Rp 128 miliar dan lem aibon sebesar Rp 82 miliar dalam RAPBD DKI menyeruak ke publik. Anies Menyalahkan sistem.
Menanti Formula Nadiem Makarim di Dunia Pendidikan
Penunjukan Nadiem Makarim merupakan keputusan yang sangat berani dari Bapak Presiden Jokowi untuk dunia pendidikan.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.