Jakarta - Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) masih saja menjadi perdebatan. Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara berpendapat, UU Minerba berpotensi merugikan negara dari total kemungkinan pendapatan yang bisa diperoleh dari keseluruhan kepemilikan kekayaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. "Kerugian tersebut karena dari revisi UU Minerba seharusnya keuntungan bisa untuk negara, namun jika selalu dikuasai perusahaan swasta, ini akan menghilangkan potensi untung bagi negara," katanya di Jakarta, Jumat, 10 Juli 2020 seperti diberitakan dari Antara.
Dalam perhitungan Marwan, sumber daya dan cadangan batubara yang saat ini dikuasai tujuh kontraktor Perjanjian Karya Pertambangan Batubara (PKP2B) masing-masing adalah 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata sumberdaya batubara adalah 4000 kcal/kg GAR, dengan nilai HBA (Harga Batubara Acuan) adalah US$75 dolar per ton dan nilai tukar dolar adalah sekitar Rp 14.000 per dolar, maka nilai bruto aset sumber daya batubara tersebut adalah Rp13.730 triliun. Sedangkan nilai bruto aset cadangan batubara yang dikuasai kontraktor PKP2B, dengan menggunakan perhitungan yang sama, adalah Rp 2.102 triliun.
Keuntungan yang sangat besar ini akan dapat dinikmati secara bersama oleh rakyat, jika kontrak PKP2B tidak diperpanjang, dan sesuai amanat konstitusi pengelolaan tambang diserahkan kepada BUMN/BUMD.
Baca Juga: Diskusi Online PMKRI, UU Minerba untuk Pengusaha Tambang
Dalam 3-4 tahun terakhir, dari cadangan terbukti batubara di atas, tujuh kontraktor PKP2B diperkirakan memproduksi sekitar 210 juta ton per tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar 10 dolar per ton, maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 28 triliun.
"Keuntungan yang sangat besar ini akan dapat dinikmati secara bersama oleh rakyat, jika kontrak PKP2B tidak diperpanjang, dan sesuai amanat konstitusi pengelolaan tambang diserahkan kepada BUMN/BUMD," tutur Marwan.
Marwan bersama Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) mengajukan pengujian UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ke Mahkamah Konstitusi. Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, Kamis, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi, Bahrul Ilmi Yakup dan kawan-kawan mempersoalkan Pasal 35 ayat (1) dan (4) yang dinilai berlawanan dengan nilai desentralisasi serta bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (5) UUD NRI 1945.
Ada pun Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat". Sementara ayat (5) berbunyi, "Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Selain itu, pasal UU Minerba itu disebut berlawanan dengan materi muatan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur hanya urusan pemerintahan absolut yang menjadi urusan pemerintah pusat sepenuhnya dalam Pasal 9 ayat (2). Urusan pemerintahan absolut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Simak Pula: UU Minerba Ancam Kerusakan Tata Ruang Jatim
Selanjutnya, menurut pemohon, pasal itu juga berkonflik dengan norma dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Berdasarkan dalil tersebut, pemohon mengusulkan agar perizinan berusaha dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau provinsi sesuai kewenangan masing-masing. []