UU Antiterorisme, PSI: Bisa Tindak Kelompok Kombatan, M Syafi'i: Tidak Manusiawi

UU Antiterorisme, PSI: bisa tindak kelompok kombatan, M Syafi'i: tidak manusiawi. "Saya kira sebuah tindakan melanggar HAM kalau orang pulang dari Suriah dianggap teroris," ujarnya.
Ketua Pansus RUU Anti-Terorisme Muhammad Syafii (kanan) menyerahkan berkas laporan pembahasan RUU kepada pimpinan DPR pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018). Rapat Paripurna DPR resmi menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. (Foto: Ant/Dhemas Reviyanto)

Jakarta, (Tagar 25/5/2018) – Ketua Pansus RUU Antiterorisme DPR Muhammad Syafi’i mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang Antiterorisme mengatur ancaman bagi warga negara Indonesia yang menjadi kombatan teroris mengikuti pelatihan militer baik di dalam maupun di luar negeri dengan pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun.

"Kalau setiap orang yang pulang dari Suriah lalu dianggap sebagai teroris, kita tidak punya dasar hukum. Karena itu UU ini membutuhkan definisi terkait motif ideologi, politik dan gangguan keamanan," kata M Syafi'i di Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (25/5).

Syafi'i mengatakan, kalau ada orang pulang dari Suriah bisa diperkirakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan apabila belum terpapar paham radikal bisa diikutsertakan dalam program kontra-radikalisasi.

Menurut Syafi'i, kalau seseorang tersebut terpapar bisa diikutkan dalam program deradikalisasi dan apabila terbukti telah melakukan kejahatan, baru dikenakan hukuman.

"Saya kira sebuah tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM kalau orang pulang dari Suriah sementara kita tidak tahu mereka berbuat apa, lalu ketika pulang dianggap sebagai teroris," ujarnya.

Dalam RUU tentang Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disetujui pengesahannya DPR, dijelaskan dalam Pasal 12B.

Kombatan Bisa Ditindak

Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai, sektor pencegahan merupakan bagian penting dalam UU Antiterorisme yang telah disetujui DPR RI untuk disahkan.

"Hal penting dari UU Anti Terorisme yang baru adalah pencegahan dengan menindak individu yang terlibat jaringan teroris dan aksi teroris di negeri lain agar tidak melakukan aksi teror di Indonesia," ujar Juru Bicara PSI, Mohamad Guntur Romli di Jakarta, Jumat (25/5).

Guntur mengatakan, PSI mengapresiasi disahkannya UU Anti Terorisme oleh DPR. Undang-undang tersebut dinilai penting untuk pencegahan aksi teror (preventif), pemulihan, dan perlindungan korban aksi teror (restoratif) yang tidak ada dalam undang-undang yang lama.

"Meski berlarut-larut sampai dua tahun dan menunggu ada aksi teror lagi, kami tetap mengapresiasi pengesahan UU Antiterorisme sebagai upaya serius untuk mencegah aksi teror (preventif) dan pemulihan (restoratif) pasca-aksi teror yang tidak ada dalam UU Antiterorisme lama," ujar Guntur.

Guntur mengungkapkan, di Indonesia kini ada sekitar 500 mantan kombatan dan keluarga yang bergabung dengan ISIS, baik di Suriah maupun Irak.

Guntur menegaskan, dengan adanya UU Antiterorisme baru, kelompok kombatan itu bisa ditindak.

"Kemudian, klausul pemulihan korban teroris juga hal penting dari UU Antiterorisme yang baru disahkan ini. Yaitu berupa perlindungan korban secara komprehensif, baik bantuan medis, rehabilitasi psikologis, psikososial, santunan ahli waris korban yang meninggal dunia, sampai pemberian restitusi dan kompensasi," jelas Guntur.

Hal lain yang juga progresif, kata Guntur, yakni diaturnya pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Antiterorisme ini disahkan. Artinya pemberian hak juga berlaku bagi korban sejak bom Bali I pada 2002 sampai sampai Bom Thamrin pada 2016. (ant/yps)

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu