UU Antiterorisme, Ini Pasal-pasal Krusial Cegah Terorisme

Ada beberapa pasal krusial dalam undang-undang tersebut yang berusaha mencegah terjadinya tindak terorisme terjadi.
Densus 88 (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 25/5/2018) - RUU Antiterorisme telah disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR, Jumat (25/5).

Dengan adanya landasan UU ini, akan memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penindakan. Bila pada UU sebelumnya, penindakan hanya dapat dilakukan bila teroris telah melakukan aksinya. Maka sekarang dengan adanya UU tersebut, kepolisian sudah dapat bertindak bila ada indikasi terorisme terhadap satu kelompok meskipun masih dalam tahap perencanaan.

Ada beberapa pasal krusial dalam undang-undang tersebut yang berusaha mencegah terjadinya tindak terorisme terjadi.

Pasal 13A
Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Dengan pasal ini kepolisian diberikan wewenang untuk menangkap orang-orang yang melakukan dakwah yang mengajarkan radikalisme karena munculnya teroris berawal dari radikalisme. Dengan adanya UU tersebut, posisi kaum teroris dan pendukungnya yang kerap disebut sel tidur akan semakin terjepit.

Selain itu polisi juga dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, seperti tertera dalam Pasal 28 (1)Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari.

Untuk semakin menguatkan pencegahan, polisi juga diberi wewenang untuk melakukan penyadapan seperti dalam pasal 31 dan 31 A.

Pasal 31
(1)Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:
a.membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan
b.menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme.
(2)Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.

Pasal 31A
Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

Ketua Pansus Terorisme M. Syafi'i mengatakan terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme untuk menguatkan pengaturan yang telah ada dalam UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Menurut dia penambahan sustansi tersebut antara lain adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU nomor 15 tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan dan peran TNI.

"RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara pemberantasan namun juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan," kata Syafi'i.

Dia menjelaskan RUU tersebut juga menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus menjunjung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam dan tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia.

Syafi'i menjelaskan dalam RUU tersebut menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU sebelumnya hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja.

"RUU ini telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi," tuturnya. (Fet/Ant)


Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.